http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=perspektif%7C-49%7CX Kamis, 15 Februari 2007 *Berpoligami di Hari Kasih Sayang *
Oleh: *Adriana Venny* Berikut adalah sms saya terakhir kepada Ade Armando, Dosen FISIP UI, salah satu anggota Komisi Penyiaran Indonesia, penulis Jurnal Perempuan, narasumber dalam sosialisasi YJP tentang "Remaja Perempuan Melek Media" dan narasumber kampanye 16 hari "Anti Kekerasan terhadap Perempuan": Selasa, 13 Februari 2007: sms ke No. HP Ade Armando: 0818-1794… *Halo Mas Ade, ini Venny dari YJP, maaf saya mau nanya apa benar Mas Ade berpoligami?* *Dijawab dari No. HP Ade Armando:* *Benar.* Sms saya selanjutnya: *Sejak kapan? Kok Mas Ade tega banget sih? Apa itu berarti anda tidak akan memperjuangkan lagi isu perempuan di KPI?* …. Rabu pagi, 14 Februari 2007 *Jawaban dari No.HP Ade Armando:* *Maaf baru baca. Kalau anda menganggap saya jahat, tentu saya nggak bisa bilang apa2. Masing2 orang punya jalan hidup masing2. Oh ya saya dalam waktu dekat nggak di KPI lagi.* Sms saya selanjutnya: *Bukan salah anda Mas. Ini salah UU Perkawinan di Indonesia yang tidak seperti di negara2 lain melarang poligami untuk melindungi hak perempuan. Doakan perjuangan kami Mas. Salam untuk Mbak Nina.* *Jawaban dari No.HP Ade Armando:* *Terimakasih. Saya doakan anda semua.* Sms saya selanjutnya: *Mudah-mudahan amandemen UU Perkawinan berhasil dan kami tidak perlu lagi kehilangan penulis JP yang bagus seperti anda.* …. Nampaknya itulah salam perpisahan kami dengan seorang ex feminis laki-laki, meski itu bukan perpisahan yang pertama. Beberapa tahun lalu kami juga terpaksa mengucap selamat jalan kepada Masdar Mar'soedi, seorang *public figure* laki-laki yang memahami gerakan perempuan, namun lalu memutuskan untuk berpoligami. Kenapa kami terpaksa harus mengucapkan selamat tinggal adalah karena kepercayaan gerakan perempuan bahwa praktek poligami melanggar hak-hak perempuan dan hak asasi manusia secara universal. Yakni bahwa: *Negara harus membuat peraturan-peraturan yang tepat termasuk pembuatan undang-undang untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita.* (Pasal 2f UU RI No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita-CEDAW) *Negara peserta wajib membuat peraturan yang tepat untuk mengubah pola tingkah laku social dan budaya pria dan wanita dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotip bagi pria dan wanita.* (Pasal 5a UU RI No.7 tahun 1984) *Setiap manusia dilahirkan bebas dan sama kedudukannya dalam martabat dan hak.* (Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) Pertanyaan selanjutnya: bagaimana dengan orang biasa jika seorang yang sehari-harinya mengajar di universitas terkemuka, mengenyam pendidikan tinggi di manca negara, bahkan ahli di isu kesetaraan gender pula, menjawab alasan berpoligami yang paling dangkal yaitu bahwa masing-masing orang punya jalan hidup sendiri-sendiri. Hal lain yang biasanya yang menjadi alasan laki-laki Indonesia untuk berpoligami adalah ingin punya anak atau anak laki-laki. Seolah-olah komitmen, cinta, kesetiaan, bukanlah satu hal yang layak diperjuangkan. Dan tidak ada apa-apanya dengan obsesi punya anak kandung atau bahkan dibanding nafsu syahwat yang paling-paling cuma 2 menit berereksi: tidak beda jauh dengan kambing atau monyet. Pertanyaan yang lalu menjadi absurd di hari kasih sayang: Apakah kita memang tidak bisa menuntut kesetiaan laki-laki, sementara perempuan justru selalu dituntut untuk setia? Lalu cinta macam apa yang seperti itu? Cinta yang selalu menuntut pengorbanan perempuan tapi tidak menuntut apapun dari laki-laki, adalah cinta yang mengerikan. Jika demikian, waspadalah wahai para perempuan. Karena ternyata konsep cinta yang selama ini kita pahami adalah timpang dan merugikan. Cinta yang menjadi dasar perkawinanpun tidak cukup melindungimu dari praktek ini, buktinya UU Perkawinan di Indonesia memperbolehkan kali-laki berpoligami, itu mengapa UU tahun 1970 ini sangat mendesak untuk diamandemen. Sebelum kekasihmu yang sekarang ini suatu saat akan menuntut untuk boleh berpoligami. Namun sayapun salut karena masih ada beberapa laki-laki Indonesia yang selalu setia dengan pasangannya sampai selamanya apapun yang terjadi, meski tidak punya anak, bahkan meski pasangannya sakit keras. Sayangnya jumlahnya hanya satu dari sejuta. Namun satu dari sejuta itu lalu memberi makna yang terdalam bagi kita sebagai manusia. Bahwa nilai-nilai cinta, kesetiaan, rasa hormat dan saling menghargai jauh lebih berharga ketimbang nafsu untuk kawin lagi. Karenanya tidak terlalu berlebihan jika hari kasih sayang tahun ini kita persembahkan bagi para laki-laki yang masih menggunakan akal sehatnya, yang tetap berkomitmen untuk setia, menghormati pasangannya dan percaya bahwa jalinan kasih sayang hanya bisa terwujud dalam relasi yang setara.* Adriana Venny, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan