Wah, Bung Chandra, saya tidak hanya tersenyum, tapi ngakak sampai keluar gas dari perut. Maaf!.
Sangat mengherankan, kok masih ada kelompok intelektual yang masih akan membangunkan perjuangan klas di Indonesia. Apa sudah lupa jaman perjuangan klas di Indonesia yang dikobar-kobarkan oleh PKI (baik secara terus terang manupun secara dia-diam) telah menuai bencana 3 juta manusia menjadi tulang-tulang berserakan di segala penjuru. Tentu orang-orang yang mengalami hidup pada masa menjelang G30S merasakan bagaimana panasnya udara perjuangan klas, sehingga menimbulkan reaksi hebat dan dendam kesumat dari golongan anti-komunis. Maka setelah pecah peristiwa G30S, situasi itu digunakan mereka untuk menghabisi para "pejuang klas" tersebut, apalagi dibantu militer. Padahal mereka itu kebanyakan adalah manusia-manusia tidak berdosa, hanya karena termakan propaganda perjuangan klas yang tidak bertanggung jawab dan keblinger = tidak mau tahu (tidak tahu?) situasi dan kondisi Indonesia yang memerlukan PERSATUAN NASIONAL untuk membina negara/bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur (Jangan alergi ya!). Sangat jenial, arif dan bijak, Bung Karno selalu memperingatkan "Jangan mengobar-ngobarkan perjuangan klas". Sebab hal itu akan memperlemah persatuan nasional dan hanya menguntungkan kaum nekolim, yang mengincer Indonesia. Bung Karno sendiri tidak menegasikan adanya klas-klas, tapi dalam tahap perjuangan Indonesia (Revolusi Nasional Demokratik), tidak boleh dipertajam pertentangan klas tersebut. Tetapi kalau hal itu tidak disadari, ya silahkan ngorok terus sambil mimpi indah tentang kemenangan perjuangan klas buruh, dan tidak perlu bangun dari tidurnya supaya tidak melihat kenyataan di mayapada runtuhnya sistem sosialis/komunis produk perjuangan klas buruh di dunia. Dewasa ini klas buruh sendiri sudah menemukan bentuk perjuangannya, yang berbeda dengan ajaran Marxisme/Komunisme. Jadi jawaban saya Perjuangan Kelas (seperti yang diajar Marx, bukan?): tidak relevan, terutama di Indonesia. Salam, Dyah RW --- In [EMAIL PROTECTED], T Chandra <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Tulisan yang menggelitik banget tapi juga membuat beberapa orang pasti tersenyum simpul. Apalagi akhir atao kesimpulannya. Kite ngorok aje yuk (tentu lebih baik sama bini), biar kapitalis gak punya buruh! Hihihi, di Indonesia aja ada katanya 40 juta menganggur. Terserah deh apa namanya tapi perjuangan kelas enggak usah dong dijadikan momok "kiri". Tapi biar begitu esai ini lucuu banget deh, juga ada paedahnya untuk mulai bicara lagi sekait diskursus class straggle kan 30 tahun dilarang Suharto, lama-lama bisa ketemu hakikatnya apa sih PK itu? Mbak May, tolong dong kirim salam buat bung Shohib, dan seringanlah kirim postingan begini untuk umpan diskusi TCh May Teo [EMAIL PROTECTED] wrote: Perjuangan Kelas, Masihkah relevan? Oleh: Shohib Masykur (Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, UGM, salah satu anggota Tim Kerja Lafadl) Maret 16th, 2007 - Dalam tulisannya yang termuat dalam buku Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, ed.: 2006) dengan judul Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia, Hilman Farid mengatakan bahwa selama ini analisis berbasis kelas tidak mendapatkan tempat dalam diskursus ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Dia menyebut tiga alasan untuk ini. Pertama, adanya sentimen anti-komunisme yang amat kuat pada diri para intelektual Orde Baru. Kedua, adanya pembagian ilmu sosial ke dalam berbagai disiplin yang berbeda di mana masing-masing memiliki garis-garis pembatas yang jelas dan pasti (ekonomi, sosiologi, ilmu politik, hukum, dan lain-lain). Ketiga, adanya embedded statism dalam ilmu sosial yang mengasumsikan negara-bangsa sebagai unit analisis sehingga terdapat kecenderungan untuk mengarahkan pembahasan pada kebijakan nasional ketimbang kenyataan sosial konkret yang tidak terpaku secara rigid dalam garis-garis batas administratif. Pengabaian kelas ini tentu saja patut disayangkan mengingat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia isu kelas menjadi salah satu motor penggerak bagi perlawanan yang muncul dari kaum pribumi terhadap pemerintah kolonial. Mengutip Sjahrir, Dita Indah Sari dalam Prisma (No. 7-1995) mengatakan bahwa gerakan buruh yang berwatak kelas telah memberikan watak kelas dalam perjuangan pembebasan nasional di Indonesia. Namun, lanjutnya dengan mengutip Vedi R. Hadiz, gerakan buruh itu tidak memungkinkan untuk menjadi kekuatan pokok karena kurangnya basis material. Pasalnya, mayoritas rakyat Indonesia waktu itu masih hidup di sektor pertanian dan terbelakang. Lebih jauh dari sekedar persoalan kondisi obyektif sebagaimana dipahami Hadiz, Dita mengatakan bahwa kegagalan dari gerakan buruh tersebut juga terutama disebabkan oleh adanya kesalahan pokok kaum kiri saat itu dalam melihat tahapan perjuangan kelas buruh negeri-negeri jajahan. Menurutnya, kelas buruh di Indonesia waktu itu terlalu bersifat kekiri-kirian karena terlalau banyak dipengaruhi oleh ide-ide sosialisme. Watak yang terlampu kiri ini membuat mereka tidak sadar bahwa tahapan perlawanan pembebasan nasional adalah muara dari perjuangan pembebasan nasional Indonesia. Dalam programnya, PKI menempatkan perjuangan menuju sosialisme sebagai esensi dari perjuangan pembebasan nasional. Akibatnya, mereka gagal menggalang dukungan yang lebih luas dari masa di luar buruh. Inilah yang menurut Dita menjadi penyebab utama gagalnya gerakan buruh pada waktu itu. Saat ini, dengan munculnya jargon-jargon semacam the end of history dan the end of ideology, agaknya banyak orang beranggapan bahwa analisis kelas tidak lagi relevan untuk membaca fenomena ekonomi-politik kontemporer. Kemenangan neo-liberalisme dalam sebuah proses globalisasi neo-liberal membuat buruh semakin tidak memiliki daya tawar di hadapan pemilik modal. Pasalnya, pemilik modal bisa dengan mudah memindahkan lokasi produksinya guna mencari buruh yang lebih sesuai dengan keinginan mereka, yakni buruh yang apolitis dan mudah ditundukkan. Di samping itu, kemenangan demokrasi liberal juga dipandang membuat diskursus mengenai kelas tidak lagi menarik hati. Alih-alih melalui konflik, perjuangan kepentingan saat ini lebih menggairahkan jika dilakukan melalui proses dialog. Munculnya gerakan sosial baru (new social movement) juga mengiringi peminggiran politik kelas. Gerakan sosial baru ini tidak lagi memelandaskan perjuangannya pada sentimen kelas, tetapi lebih kepada isu-isu yang sifatnya spesifik: gerakan lingkungan, gender, kaum homosexual/lesbian, difabel, dan lain-lain. Rangkaian beberapa hal di atas membuat politik kelas menjadi barang antik di masa lampau, seperti museum. Orang yang membicarakannya pun dianggap orang aneh. Pada kenyataanya memang sentimen kelas ini tidak pernah mewujud dalam demonstrasi-demonstrasi kaum buruh selama ini. Hal ini nampak dari isu-isu yang diusung oleh para buruh tersebut: kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, pemberian ganti rugi, kenaikan tunjangan, pemberian gaji yang tertunda, dan lain-lain. Juga, tidak terdapat persatuan antar kaum buruh sebagaimana yang diteriakkan dengan berapi-api oleh Marx, Kaum buruh di dunia, bersatulah!. Jika demikian, apakah memang politik perjuangan kelas tidak lagi relevan? Dengan modifikasi pemahaman tentang class struggle, saya termasuk orang yang percaya bahwa politik kelas masih relevan, dan perjuangan kelas sampai saat ini masih terus terjadi. Bahkan bisa jadi tanpa sadar kita sendiri juga sering melakukannya. Toward another (new) understanding of class struggle Untuk pemahaman kelas yang saya katakan modified tadi, saya merujuk pada John Holloway dalam tulisannya Where is Class Struggle?. Dia memberikan pemahaman yang menggelitik tentang makna perjuangan kelas kontemporer. Mengutip Marx, dia mengatakan bahwa hakikat manusia adalah sebagai subjek yang melakukan (doer) dan bukan melulu subjek yang ada (being). Berbicara soal melakukan sesuatu (doing), berarti juga berbicara soal orang lain atau orang banyak, alias social. Apapun yang kita lakukan tidak akan pernah terpisah dari apa yang dilakukan oleh orang lain. Our doing is always part of a social flow of doing. Misalnya, saya bisa menulis karena ada orang lain yang sudah terlebih dahulu membuat komputer, menulis buku-buku bacaan yang saya jadikan acuan, membangun kamar yang saya tempati, membuat meja yang saya guanakan, dan lain-lain. Jadi, untuk memahami masyarakat (society), kita harus memahami bagaimana perilaku manusia (human doing) diorganisasikan. Selain bersifat sosial, perilaku manusia juga bersifat projective (memiliki bayangan akan masa depan). Menurut Marx, inilah yang membedakan perilaku manusai dengan perilaku hewan. Seorang arsitek dan seekor lebah sama-sama membuat rumah. Lalu apa bedanya? Yang membedakan seorang arsitek terburuk dari seekor lebah terbaik, dan karenanya membuat arsitek bagaimanapun tetap lebih baik ketimbang lebah, adalah bahwa arsitek membangun rumah dengan berbekal bayangan tentang akan seperti apa rumah yang nanti dihasilkannya. Jadi dalam akhir tahap setiap proses doing-nya, manusia menghasilkan sesuatu yang sebelumnya sudah berada dalam imajinasinya. Itu berarti dalam proses doing-nya dia sedang merealisasikan apa yang sudah menjadi tujuannya. Dengan munculnya kapitalisme, masalah mulai timbul. Seorang kapitalis pemegang modal dengan seenaknya mengatakan kepada para manusia yang bekerja bahwa hasil pekerjaan mereka adalah miliknya. Secara tiba-tiba, hasil doing manusia berubah menjadi labor yang sepenuhnya berada di bawah kendali kapitalis. Mau diapakan hasil pekerjaan itu? Mau dijual alias diuangkan. Jadi doing manusia kemudian hanya direduksi menjadi uang. Maka, saat itu pula doing manusia mengalami keterputusan dengan social flow of doing. Demikian pula, karakter projective dari doing manusia menjadi hilang. Apa yang akan dihasilkannya tergantung pada permintaan orang lain, para kapitalis. Manusia kemudian menjadi mirip dengan lebah. Manusia teralienasi dari pekerjaannya. Bagaimana proses itu terjai? Melalu struggle. Setiap saat kapitalis selalu mengatakan kepada kita: lihatlah di sekeliling mu, lihatlah semua benda yang menakjubkan itu. Itu semua adalah milikku. Jika kau ingin menikmatinya, maka carilah uang untuk membelinya. Tapi untuk mencari uang, kau harus menjadi pekerjaku, menuruti segala perintahku, dan hentikan bayangan tentang berbuat sesuatu sesuai dengan yang kau kehendaki. Maka kau akan kuberi uang untuk menikmati semua yang menjadi milikku. Untuk memastikan bahwa Itu semua adalah milikku, kapitalis juga harus berjuang. Setiap saat mereka membujuk dan memaksa kita untuk menjadi pekerjanya. Setiap hari mereka harus membuat kita bangun pagi, memaksa kita bekerja, mengatur segenap aktivitas hidup kita sehari-hari. Mereka juga harus menghadapi persaingan dari para kapitalis lainnya. Dan ini tidak mudah. Setiap saat setiap waktu, selalu ada kesempatan bagi kita untuk melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi kapitalis. Di sinilah letak perjuangan kelas kontemporer. Perjuangan tentang apa yang kita pikirkan, tentang bagaimana kita bertindak, tentang kapan kita harus tidur dan kapan kita harus bangun. Perjuangan antara dua pola perilaku (two ways of doing), antara dua bentuk hubungan sosial (two forms of social relation). Wujud perjuangan kita adalah dengan tidur larut malam dan bangun kesiangan, dengan lebih memilih bermain bersama anak-anak ketimbang bekerja menghasilkan untung, dengan melakukan doing tanpa tendensi keuntungan, dan lain-lain. Hal-hal semacam ini memang tidak nampak seperti perjuangan kelas karena sifat alami dari perjuangan itu sendiri. Pemahaman termodifikasi dari perjuangan kelas ini membuat spektrumnya menjadi lebih luas. Saya bisa jadi sudah melakukan perjuangan kelas tanpa saya sengaja maupun sadari. Dengan demikian, untuk melakukan perjuangan kelas tidak harus menjadi kiri. Sumber Sirus online : http://lafadl.wordpress.com Penulis : Shohib Masykur http://lafadl.wordpress.com/2007/03/16/perjuangan-kelas-masihkah-relevan/#more-112 --------------------------------- New Yahoo! Mail is the ultimate force in competitive emailing. Find out more at the Yahoo! Mail Championships. Plus: play games and win prizes. [Non-text portions of this message have been removed] --------------------------------- Finding fabulous fares is fun. Let Yahoo! FareChase search your favorite travel sites to find flight and hotel bargains.