KOMPAS 
Jumat, 20 April 2007 

  
Karyawan Freeport
Kemakmuran Itu Hanya Fatamorgana 


Aryo Wisanggeni Genthong 

Banyak orang mungkin tak percaya bahwa karyawan PT Freeport Indonesia di 
pedalaman Papua tidak sejahtera. Akan tetapi, itulah yang mereka rasakan sejak 
pengelolaan perusahaan tambang tembaga itu dialihkan dari McMoran ke PT FI. 

Jawab sekarang, 
Jawab sekarang, 
Jawab sekarang jangan ditunda, 
Jangan ditunda, 
Jangan ditunda 

Lagu Panjang Umur yang sudah diganti syairnya itu dinyanyikan penuh semangat 
oleh ribuan karyawan PT Freeport Indonesia (FI). Suasana di depan gedung 
perkantoran PT FI di Kuala Kencana pun meriah. Bukan oleh kegembiraan dan 
sukacita, melainkan oleh keseriusan dari ribuan karyawan asal Papua itu dalam 
memperjuangkan tuntutannya. 

Penggantian kata "panjang umurnya" dengan "jawab sekarang" dimaksudkan untuk 
menegaskan tuntutan mereka atas perbaikan kesejahteraan. Kata "serta mulia" pun 
diganti dengan "jangan ditunda" untuk menegaskan bahwa ribuan orang itu tidak 
main-main dengan tuntutan mereka. 

Aksi yang masih berlangsung hingga Kamis (19/4) malam itu memang mengejutkan. 
Siapa sangka pilihan PT FI untuk menolak Resolusi Tongoi Papua, yakni resolusi 
sebuah organisasi para karyawan PT FI asli Papua, ternyata serius dan berujung 
pada mogok kerja. 

Resolusi yang dihasilkan Musyawarah Besar Tongoi Papua pada 9 November 2006 itu 
awalnya hanya dianggap mewakili aspirasi 2.900 lebih karyawan PT FI. Bahkan, 
manajemen PT FI dalam pertemuan dengan perwakilan Tongoi Papua pada hari Rabu 
lalu menyatakan baru mendengar resolusi itu sehingga belum bisa memutuskan apa 
pun. 

Aksi mogok kerja besar-besaran yang sempat menghentikan kegiatan produksi itu 
sebenarnya sudah digagas beberapa lama. Mereka bahkan sudah minta disediakan 
bus untuk perjalanan ke Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, untuk berunjuk rasa 
ke DPRD setempat. 

Karena perusahaan tak mau menyediakan bus, Selasa sore, 1.012 karyawan PT FI 
berjalan kaki sejauh 67,6 kilometer ke Timika. Bak bola salju, keberanian 1.012 
karyawan itu akhirnya menggugah ribuan karyawan lain. "Ini perjuangan bersama 
karena nasib kami para karyawan non-Papua pun sama saja," kata Ronny Warouw, 
karyawan yang bekerja di Grassberg. 

Warouw yang sudah 10 tahun bekerja di Portsite itu menceritakan sulitnya hidup 
dengan gaji pokok Rp 2 juta. "Bayangkan, sewa rumah di Timika Rp 800.000 per 
bulan. Anak saya tiga, dan biaya sekolah mahal. Padahal, kerja kami berat, 
tidak pernah bergaul dengan anak, tinggalkan istri," katanya. 

"Selama 10 tahun saya bekerja keras, tetapi pangkat saya tidak pernah naik, 
tetap grade D, nonstaf," ujar Jitmau, karyawan lain. 

Keluh kesah para karyawan PT FI itu selalu diwarnai nostalgia terhadap 
kesejahteraan karyawan kala salah satu areal tambang tembaga paling produktif 
di dunia itu masih dikelola McMoran. Kumbubui adalah satu dari sedikit karyawan 
PT FI yang sempat mencicipi nikmatnya manajemen McMoran. 

Makin memburuk 

Bukan semata-mata gaji atau fasilitas yang sebenarnya mereka gugat. Sebagai 
orang yang bekerja di wilayah operasi tambang yang rawan, Kumbubui dan sejumlah 
karyawan lapangan Grassberg mengeluhkan kian memburuknya pengelolaan dan 
manajemen keselamatan areal tambang. 

Kondisi ribuan karyawan menjadi lebih pelik lagi karena khalayak ramai selama 
ini menilai tumpukan keuntungan PT FI telah membuat para karyawannya 
berkelimpahan. Orang yang hanya tahu bahwa PT FI menghasilkan uang miliaran 
dolar AS tidak akan percaya jika Jitmau, Warouw, Kumbubui, atau ribuan karyawan 
lain hidup berkesusahan. 

Tumpukan masalah yang terjadi pascapengalihan areal tambang dari McMoran kepada 
PT FI itulah yang akhirnya bermuara dalam Musyawarah Besar Tongoi Papua pada 
tanggal 7-9 November 2006. Sebuah musyawarah besar yang melahirkan Resolusi 
Tongoi Papua. 

Resolusi itu berisi sembilan tuntutan yang harus dikabulkan manajemen sebelum 
16 April. Tuntutan itu, antara lain, kenaikan pangkat 1 tingkat bagi semua 
karyawan nonstaf yang masa kerjanya satu tahun atau lebih. Sebab, selama tiga 
tahun terakhir, mereka tidak mendapat promosi. 

Resolusi itu juga menuntut agar karyawan tingkat terendah, grade F, yang saat 
ini gajinya kurang dari Rp 2 juta dinaikkan menjadi Rp 3,6 juta. Pola dan pintu 
rekrutmen juga diminta untuk diubah. 

Resolusi itu juga menyatakan pimpinan Departemen Keamanan (Security Department) 
yang dinilai tidak berpihak kepada karyawan, khususnya karyawan asli Papua, 
harus dicopot. 

Atas semua tuntutan itu, PT FI merasa sudah menjawabnya. Akan tetapi, Tongoi 
Papua menilai jawaban PT FI mengambang. Ribuan karyawan lain yang tak tergabung 
dalam Tongoi Papua juga menilai komitmen PT FI untuk memperbaiki kondisi kerja 
dan kesejahteraan tidak jelas. Itulah yang menyebabkan mereka akhirnya 
bergabung untuk mogok kerja. 

Bencikah mereka kepada PT FI yang telah menghidupinya? Jitmau memastikan tak 
satu karyawan pun membenci PT FI. Mereka hanya ingin agar manajemen baru itu 
memenuhi tuntutan karyawan, saat itu juga para karyawan akan balik ke tempat 
kerja masing-masing

Kirim email ke