Teori Bapak-bapak memang hebat deh. Tapi yang penting Papua bagian RI akan tetap bagian dari RI. Tapi seperti semua daerah RI lainnya kawasan ybs harus di adil dan makmur kan. RI harus punya sistem kesatuan yang luwes dengan unsur desentralisi yang tidak kebablasan. Semua ini kan memerlukan waktu lama. Jangan mau diadudomba dong oleh LN, oleh Uni Eropa atau Australia. Kita carilah ilham dari Amerika Selatan dan tengah, dari Chavez, Morales dan sebagainya. Viva Socialismo! TCh
Papuan Dairy <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Bung Ruslan, Saya tidak hendak berdebat dengan anda mengenai Theory Integralistik sebagaimana anda lansir dalam tulisan anda. Itu hak anda untuk memiliki keyakinan yang seperti itu, tapi terimakasih sudah menjelaskan panjang lebar. Saya hanya hendak mengatakan bahwa polapikir integralistik atau holistis seperti yang telah anda ungkap, dalam kenyataan telah melahirkan sejumlah kesalahan dalam penerapannya. Theory atau ilmu dalam banyak hal mengajarkan nilai-nilai yang benar, tetapi yang menjadi masalah adalah ketika sudah dipraktekkan. Dalam praktek, banyak sekali kesalahan interpretasi atas theory terjadi, dan ini yang sudah terlanjur terjadi disini Bung, di Indonesia. Saya kutip pernyataan anda: Dengan polapikir yang holistis, yaitu polpikir yang selelu mengikuti ajaran tentang Holargi, maka disini kita akan mempunyai kelebihan dalam memandang segala suatu hal ichwal; kita tidak akan pernah kehilangan orientasi, bahwa setiap phenomenon atau phenomena yang paling pelikpun mampu kita atasi. Dari segi Holargi kita melihat saling hubungan baik yang kongkrit yang dapat kita saksikan dengan mata telanjang, bahkan kita sanggup pula melihat saling hubungan yang sinergetis antar corpus yang satu dengan corpus lainnya yang tidak kelihatan, misalnya saja tidak semua orang akan mengakui bahwa >Karakter manusia yang tadinya baik, kemudian berangsur-angsur berubah menjadi jelek akibat pengaruh konsum yang oleh psychoneurologist disebutnya >the consume-syndrome-disease<. Penyakit >konsum-sindrom< ini adalah element yang tidak kelihatan yang bermukim didalam placenta-induknya yang kita kenal dengan >holargi-globalisasi-ekonomi-budaya <. Kalau si patient yang mengidap penyakit >KS< (>konsum-sindrom<) ini pergi memeriksakan diri kepada ahli-ahli jiwa dan ahli-ahli-sarafotak, sang dokter tidak akan menemukan penyakitnya ; pin-tomography-pun tidak sanggup membaca gejala side-effect >konsum-sindrom< tsb. Penyakit itu ada, cuma sang dokter tidak-tahu, karena sang dokter tidak mengenal apa yang disebut Holargi itu. Dampak-kongkrit >globalisasi-ekonomi-budaya < kini terbukti telah merusak struktur-cara-berpikir para elite politik dan ekonomi, para pakar ilmu pengetahuan, para pakar-spirituil termasuk para kyai dan ustadnya. Banyak dari elit politik Indonesia saat ini yang mengidap penyakit konsum-sindrom (KS) seperti yang anda maksud. Kalau anda benar-benar seorang dokter yang mampu mendiagnosa masalah-masalah ideologis semacam ini, bukankah tugas anda untuk membedah manusia-manusia yang sudah terkena KS itu? Maaf saja, dari parnyataan anda, saya tahu bawah anda pendukung setia PDI-P atau barangkali saya salah. Nah, pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, bukankah penyakit Konsum-Sindrom seperti yang anda maksud, dipertontonkan pemerintahan Megawati dan sebagian besar tokoh-tokoh PDI-P? Privatisasi BUMN dilakukan kiri-kanan, apakah itu bukan dampak KS seperti yang anda maksud? Jangan sok jadi ideologis, kalau anda tidak mampu menata diri sendiri dengan pandangan-pandangan ideologismu. Periksa diri dulu sendiri lalu kemudian keluar menggurui orang lain. Saya bukan termasuk tipe orang-orang yang menderita penyakit KS itu, saya dan kawan lain di Papua justru sedang berjuang untuk menghancurkan imperialisme, kami sadar merekalah yang menjadi musuh utama kami dan bukan pemerintah Indonesia, karena berbagai regime yang memerintah dinegeri ini adalah regime-regime boneka, tidak ada satupun yang bisa dikatakan independent, semua takluk dan tunduk dibawah kemauan imperiaisme. KS saat ini telah menjadi epidemi yang mengerikan, ia seperti kanker yang menggerogoti bangunan negara ini, merusak semua aspek kehidupan berbangsa. KS yang demikian akut menjadi reklame buruk yang ditonton rakyat, kadang reklame itu menjadi bahan tertawaan rakyat ditengah kemiskinan dan penindasan struktural yang dihadapi, sayang sekali, walaupun kita bertahan dengan argumentasi ideologis atau orientasi yang jauh lebih luas, dalam kenyataan argumentasi itu kadang berbalik menghakimi diri kita sendiri, karena orientasi itu bagai panggang jauh dari api, saya tidak mau menjustifikasi hal ini. Rupa-rupanya placenta induk yang bermasalah, jika demikian placenta yang sakit itu harus segera diobati, ataukah anda hendak membiarkan dia menjadi semakin parah dan akhirnya akan menghancurkan diri sendiri? Paham integralistik yang dikolaborasi dengan budaya feudal yang parah dinegara ini telah menghasilkan formasi pemimpin yang berjiwa kerdil, paternalistik, anti-demokrasi dan bahkan anti-kemanusiaan. Bagaimana saya dapat membayangkan Soekarno, Soeharto, Habibie, Megawati dan kini SBY melakukan hal yang baik bagi bangsa ini? Soekarno dalam banyak hal menciderai semangat demokrasi. Demokrasi terpimpin yang ia cetuskan menjadikan dia Raja dan bukan presiden. Paduka Yang Mulia / Pemimpin Besar Revolusi, dll, bukankah ini mentalitet pemimpin feudal? Bukankah mentalitet ini sama dengan mentalitet Sultan Agung? Mentalitet yang demikian telah melahirkan perpecahan dalam angkatan45. Bagaimana saya dapat menerima Hatta akhirnya harus mundur karena mental feodal Soekarno yang tidak menghargai demokrasi? Hasilnya, ya jelas, ada pemberontakan dimana-mana pada saat itu, DI/TII muncul, PRRI/Permesta muncul, dan akhirnya hura-hara politik 65 yang telah mengorbankan jutaan petani dan buruh, walaupun memang saya harus akui, peristiwa 65 adalah akibat dari perang ideologis, kelompok kanan-reaksioner berhasil mengambil keuntungan dari pertarungan ideologis global yang berimbas kedalam. Tapi harus saya pertanyakan, bukankah itu muncul karena paham integralistik yang salah diterapkan? Pada akhirnya semangat nasionalisme dan demokrasi yang keliru telah melahirkan Soekarno sebagai seorang diktator, seorang presiden seumur hidup. Seandainya saja tidak terjadi peristiwa 65, saya yakin Soekarno masih menjadi presiden sampai akhir hayatnya. Saya kutip lagi peryataan anda: Mungkin anda salah dalam menangkap dan memahami apakah yang dimaksud dengan polpikir yang secara integral atau integlalistik. Ini tercermin dalam tulisan anda yang menyamakan praktek otoriterisme militer rezim orde baru Suharto, yang menjalankan system centralisme militer dalam pemerintahannya; dengan polapikr secara integral atau holistis menurut ajaran Sytem Theori.. Bung Ruslan, sentralisme militer sebagaimana anda maksud juga terbawa dalam praktek politik, kalau demikian bukan saya yang salah menafsirkan paham integralistik dong, Soeharto dan kroni-kroninya yang salah menerjemahkannya dan mereka kembali mengulang kisah presden seumur hidup. Kalau tidak ada reformasi, jelas Soeharto akan mati sebagai presiden, bukan sebagi mantan presiden. Nah, bukankah Bung Karno juga memberikan pengaruh dalam hal ini? Soeharto belajar dari Soekarno, Soekarno belajar dari Raja-raja Jawa dikolaborasi sedikit dengan paham Marxisme jadilah suatu bangunan ideologis nasionalis yang tambal-sulam, jika sudah begitu, apakah saya yang musti disalahkan dalam mengkritisi hal ini? Selanjutnya anda menulis: 1. Demensi Intern individuil diri bangsa Indonesia atau jatidiri (jiwa) bangsa Indonesia, yaitu jiwa bangsa Indonesi yang tercermin dalam sumpah pemuda yang di deklarasikan pada tanggal 28 Koktober 1928, yaitu Satu nusa satu bangsa dan satu bahasa kita. Ini adalah manifestasi adanya suatu kesatuan bangsa Indonesia. Jawaban Saya: Sayang sekali, tidak ada perwakilan Papua yang ambil andil dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sejak SD yang diintrodusir dengan pelajaran sejarah ini dan saya sudah melakukan tinjauan pustaka dari berbagai literatur, tidak ada satupun yang secara eksplisit maupun implisit menyatakan bahwa ada perwakilan pemuda Papua pada waktu sumpah ini dilakukan. Dengan demikian saya hanya mau katakan bahwa ini jelas bukan manifestasi sebuah bangsa, sebagaimana yang anda maksud, kalau memang anda bermaksud bahwa Papua juga ada disana. Demensi Ekstern individuil dari bangsa Indonesia, yaitu adanya ribuan pulau-pulau yang berjajar dari sabang sampai Maraoke. Jawaban Saya: Wah, ya jelas anda pasti akan menulis demikan. Masih perlu dilakukan banyak klarifikasi sejarah menyangkut masalah Papua. Saya tidak mau berpolemik dengan anda mengenai ini karena jelas akan menyita banyak waktu, maklum saya bukan termasuk orang yang setiap saat bisa mengakses internet. 3. Demensi intern kolektif bangsa Indonesia, yaitu adanya partai-partai politik, yang menganut mermacam-macam faham, misalnya kesatuan, federal, anarkisme,sparatisme, agama dll. Jawaban Saya: Bukankah itu perlu dihargai? Demensi ekstern kolektif dari bangsa Indonesia, yaitu pengaruh lingkungan Internasional yang dalam hal ini adalah pengaruh tentang system masyarakat,misalnya kapitalisme, sosialisme, liberalisme yang sekarang menjadi neoliberal. Jawan Saya: Sepakat mengenai ini. Hal perlu saya tegaskan. Kapitalisme lahir dengan bentuk kolonialisme pembangunanisme liberalisme neoliberalisme, itu saja Bung, jangan anda membedakan Kapitalisme dengan liberalisme atau neo-liberalisme, keduanya hanya merupakan taktik atau penerapan yang dilakukan kapitalisme dalam mengeksploitir bangsa-bangsa dunia ketiga. Kedua hanya merupakan wajah baru dari pola eksploitasi kapitalisme. Selanjutnya anda menulis: NKRI adalah merupakan pencerminan dari demensi pertama dan ke dua, yaitu demensi intern individuil dari banngsa Indoensia atau jati diri bangsa Indonesia yang terbentuk dalam perjuangan panjang dalam melawan penjajahan Beanda, Inggris dan jepang, sehingga klimaknya adalah terjadinya proklamasi kemerdekaan RI pada tamnggal 17 Agustus 1945. yang selanjutnya menyatukan semua pulau-pulau dari Sabang sampai maraoke , menjadi apa yang disebutnya NKRI. Jadi mempertahankan NKRI bukanlah berarti sebagai pseudo nasionalis, seperti apa yang anda tuduhkan pada sebagian besar bangsa Indonesia yang menyokong berdirinya NKRI ini. Jawaban saya: Saya menghargai prinsip anda untuk menerapkan dua pandangan diatas, tetapi harus diperhatikan. Penerapan dua prinsip tadi (dimensi intern dan eksternal) seperti yang anda jelaskan tidak harus dipraktekkan dengan sikap-sikap chauvinis. Dalam soal Papua, sikap chauvinis dapat saya benarkan, karena kami merasa diperlakukan seperi itu dengan penerapan system NKRI yang membabibuta. Silahkan mempertahankan NKRI, tapi tolong jangan dipertahankan dengan penindasan. Saya tidak dapat menerima NKRI dipertahankan di Papua dengan pemberlakukan operasi militer. Dua puluh (20) tahun operasi militer dilakukan di Tanah Papua. Operasi Militer terjadi sejak tahun 1978 sampai dengan 5 Oktober 1998, lebih banyak 11 tahun ketimbang Acheh yang hanya diterapkan selama sembilan (9) tahun saja (1989-1998). Hasilnya? Kurang lebih 30.000 warga Papua harus mengungsi ke PNG (Negara tetangga), karena tidak merasa aman tinggal diatas tanah mereka sendiri. Mengenai ini, anda bisa menghubungi Ikrar Nusa Bakti yang lakukan penelitian mengenai pelintasan batas yang dilakukan warga Papua selama masa operasi militer. Thesis doctoral Ikrar Nusa Bakti mengambil tema ini, sayannya tidak dijadikan buku untuk dapat dibaca rakyat Indonesia lainnya supaya benar-benar mengerti penindasan yang terjadi disana, bukan hanya nonton di televise, baca Koran, lalu ikut-ikut ngomong soal Papua, seakan-akan dia maha tahu, seakan-akan dia Tuhan? Masih banyak reklame buruk lain kalau bicara soal pelanggaran HAM di Papua, contoh tadi hanya untuk memberikan gambaran betapa kami tidak dihargai sama sekali sebagai bangsa. Silahkan anda mempertahankan NKRI, tapi tolong, jangan gadai kekayaan alam Papua secara liar kepada pihak asing. Bukankah Modal Asing pertama masuk di Indonesia karena ada Papua? Awal April 1967, Soeharto menandatangani Kontrak Karya (KK) generasi pertama dengan Freeport McMoran Copper & Gold, model KK ini yang jadi model dasar UU Penaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun PMA). Kami dikorbankan oleh KS yang menjangkiti sebagian besar pemimpin negeri ini, kami menjadi korban keserakahan komprador kapitalisme, anda dan PDI-P juga memiliki investasi politik dalam hal ini. Pada waktu Megawati menjadi presiden banyak peristiwa kekerasan militer terjadi di Papua, pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik Papua (misalnya pembunuhan Theys Eluay, pada bulan November 2001) menjadi contoh betapa mentalitas pemimpin berjiwa kerdil dapat dilihat secara nyata. Saya tidak menuduh semua bangsa Indonesia memiliki pandangan pseudo nasiolis seperti itu, sebab ada banyak diantara Bung yang lebih nasionalis ketimbang mereka yang berkoar-koar sebagai nasionalis. Jika benar nasionalis, mengapa rakyat digusur kiri-kanan? Mengapa pedagang tradisional dan pedagang kaki lima tidak bisa berjualan dengan tenang karena diusir setiap waktu oleh aparatur Negara? Mengapa anda tidak bersuara lebih keras untuk mensejahterakan kehidupan rakyat miskin? Bung Ruslan, inikah yang anda maksud nasionalis? Jika tema besar nasionalisme seperti ini yang anda bayangkan, maka tunggu waktu saja sebab pasti akan banyak makan korban, tunggu waktu saja, rakyat miskin yang sudah mulai sadar hak-hak politiknya pasti akan melakukan revolusi social untuk mengubah tatanan bernegara disini. Terakhir dari saya: Amandemen UUD 45 tidak harus dimaknai sebagai sesuatu yang merusak, ia akan menjadi relevan jika mengikuti perkembangan jaman. Saya tidak berkepentingan apakah perlu atau tidak UUD 45 diamandemen, kepentingan saya adalah bagaimana nasib rakyat Papua juga diperhitungkan, seperti juga dengan rakyat miskin lain di Indonesia. Salam dari Tanah Papua! PD --------------------------------- The fish are biting. Get more visitors on your site using Yahoo! Search Marketing. --------------------------------- Need a vacation? Get great deals to amazing places on Yahoo! Travel.