sumber (http://www.jurnalnasional.com/new2/?KR=JURNAS&KSR=OpiniDebat)

Pelarangan Buku yang "Salah Larang"

Oleh Dr Asvi Warman Adam

Sejak 5 Maret 2007 Jaksa Agung melarang beberapa buku pelajaran sejarah di 
sekolah. Terdapat 22 judul buku dari 11 penerbit yang dilarang, antara lain 
"Kronik Sejarah Kelas 1 SMP" (karangan Anwar Kurnia, diterbitkan 
Yudhistira), "Sejarah 2 untuk SMP" (karangan Matroji, penerbit Erlangga), 
"Pengetahuan Sosial, Sejarah 1" (susunan Tugiyono KS, penerbit Grasindo).

Alasan pelarangan itu ditulis dalam satu kalimat panjang "bahwa barang 
cetakan/buku-buku teks pelajaran Sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK yang mengacu 
pada "Kurikulum 2004" tidak sepenuhnya mencatat fakta kebenaran sejarah 
bangsa Indonesia antara lain Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948 
dan Peristiwa Pemberontakan PKI Tahun 1965 hanya memuat keterlibatan G.30.S 
tanpa menyebut keterlibatan PKI, hal tersebut merupakan pemutarbalikan fakta 
sejarah sehingga dapat menimbulkan kerawanan, terutama dalam menjaga 
persatuan dan kesatuan bangsa"

Namun alasan itu tidak berdasar. Buku "Kronik Sejarah Kelas I" (Anwar 
Kurnia, penerbit Yudhistira) tentu saja tidak memuat pemberontakan tahun 
1948 dan 1965. Karena pelajaran sejarah pada kelas I SMP memang belum sampai 
pada periode kontemporer, melainkan membahas kerajaan-kerajaan Nusantara 
yang dipengaruhi Hindu, Budha dan Islam. Buku kelas 2 tentang zaman 
penjajahan dan baru pada kelas 3 SMP diuraikan perkembangan sejak Indonesia 
merdeka. Jadi pemberontakan tahun 1948 dan 1965 itu baru diajarkan pada 
kelas 3.

Di Indonesia kurikulum SMP dan SMA hampir sama, hanya pada tingkat SMA lebih 
lengkap dari SMP. Dari 22 judul yang dilarang sebanyak 17 buah adalah buku 
kelas I dan kelas II. Berarti 17 dari 22 buku atau 80 persen adalah salah 
larang.

Mungkin Jaksa Agung menugasi stafnya meneliti setumpuk pelajaran sejarah 
tanpa memperhatikan buku itu untuk kelas berapa. Diperiksalah setiap halaman 
buku pelajaran kelas I dan II . Karena tidak ditemukan pemberontakan tahun 
1948 dan 1965, buku itu dilarang.

Yang paling sial mungkin penerbit Grasindo, Jakarta. Buku-bukunya 
mencantumkan pemberontakan tahun 1948 dan 1965 serta menyatakan bahwa PKI 
sebagai dalangnya. Penerbit ini konsisten menggunakan versi Orde Baru 
termasuk menulis istilah G30S/PKI. Itu masih dilarang juga. Penerbit pun 
bingung.

Berawal dari Depdiknas

Kasus tersebut bermula dari permintaan Mendiknas kepada Jaksa Agung agar 
memeriksa buku pelajaran sejarah. Ini untuk menindaklanjuti laporan beberapa 
tokoh seperti Jusuf Hasyim (alm) dan penyair Taufiq Ismail kepada DPR bahwa 
di Jawa Timur ditemukan buku pelajaran yang tidak memuat pemberontakan 
Madiun 1948. Ketua DPR kemudian mengundang Mendiknas dan menanyakan hal ini. 
Persoalan ini selanjutnya dibahas dalam Rakor Kesra yang dipimpin Aburizal 
Bakri. Setelah itu baru bergulir ke Kejaksaan Agung.

Kalau ada sebuah buku yang dianggap keliru seyogianya buku itu saja yang 
diteliti, bukan semua buku pelajaran sejarah di seluruh Indonesia. 
Sebetulnya Menteri Pendidikan Nasional dapat menanyakan langsung kepada 
bawahannya pada Pusat Kurikulum dan Pusat Perbukuan. Pusat Perbukuan dapat 
menyurati penerbit bahwa buku-buku yang mengacu kepada kurikulum 2004 tidak 
lagi digunakan di kelas. Dengan ini persoalannya akan selesai, karena 
penerbit tentu tidak mau rugi mencetak buku yang tidak terpakai di sekolah.

Ternyata Depdiknas juga mengganti kurikulum 2004 yang telah diujicobakan 
sejak tahun 2000. Penggantian kurikulum ini mendatangkan kerepotan baru bagi 
guru dan siswa. Banyak hal lain yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan 
nasional seperti penuntasan wajib belajar 9 tahun dan peningkatan 
kesejahteraan guru. Seyogianya Depdiknas berkonsentrasi kepada hal-hal yang 
vital itu saja, tidak menciptakan kontroversi baru.

Dampak pelarangan buku

Pelarangan ini memiliki dampak luas yang tidak diperkirakan oleh pengambil 
kebijakan. Sampai hari ini beberapa media asing seperti kantor berita 
Perancis AFP, Radio/Televisi ABC Australia dan surat kabar Volkrant 
(Amsterdam) masih meliput peristiwa ini karena pada era reformasi, penyitaan 
buku masih dilakukan beberapa kejaksaan negeri dan dinas pendidikan daerah. 
Tentu menggelikan mereka ketika mengetahui bahwa pelarangan buku itu 
ternyata salah larang. Di Kupang misalnya buku pelajaran sejarah disita 
karena mencantumkan foto Gorbatchev. Padahal itu wajar saja karena 
menjelaskan tentang berakhirnya perang dingin.

Bagi guru dan siswa pelarangan ini memiliki efek negatif. Kebanyakan peserta 
didik sekarang sudah mengetahui berbagai versi Gerakan 30 September melalui 
buku-buku dan media massa serta internet. Namun agar lulus dalam ujian, guru 
terpaksa menyuruh murid untuk menjawab sesuai versi pemerintah. Ini 
menumbuhkan budaya kemunafikan sejak dari sekolah. Dari sudut pandang 
kinerja kabinet, maka "salah larang" ini mempengaruhi nilai sukses yang 
diperoleh tim SBY-JK, karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Penulis adalah Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)

 

Kirim email ke