Ehhh by the way, sodara sodara tahu nggak, kalau orang Jawa di 
Suriname (banyak lho), mempunyai dua kelompok, yang satu ke kiblat 
barat satu ketimur. Yang kebarat, ikuti leluhur mereka waktu mereka 
masih di jawa, kira kira tahun 1918an. Yang ke timur karena lihat 
peta, Mekkah memang ditimur Suriname..

Tapi, Allah kok kayaknya ada di mana mana ya? apa saya keliru?

Salam

danardono


--- In mediacare@yahoogroups.com, "uday abdurrahman" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> 
> Salut...........
> Saya sepakat, dalam hidup sebetulnya Allah dah kasih guidelines 
bersifat
> umum yang jika Kita memegangi Dan menghayatinya dengan semangat 
penyerahan
> yang total guidelines tersebut akan memandu Kita kepada Allah. 
Hanya saja
> kadangkala Kita yang dianugerahi dengan anugerah terbesar yang 
diterima
> makhluk berupa AKAL, kadang lupa diri Dan kemudian membuat keadaan 
menjadi
> semakin rumit. Apa ya iya Allah itu bikir ajaran memang untuk 
memperumit
> hambanya? Kok dalam keyakinan saya enggak tuh.....masa berislam 
kok sulit,
> rumit bin ribet, bin Mahal n repot......yah yang gampang2 
sajalah.......kaya
> cerita bung Denny itu........
> 
> Salam......
> UMA
> 
> 
> 
> 
> -------Original Message-------
>  
> From: Dian Kartika Sari
> Date: 06/06/2007 13:45:33
> To: mediacare@yahoogroups.com
> Subject: Re: [mediacare] Syalalala.. Mana Kiblatmu.. Syalalala.. 
Ini
> Kiblatku
>  
> Ya ampun Mas Denny, 
>  
> Ini pelajaran yang bagus banget. Mencerahkan.Dari sini saya 
belajar sesuatu
> yang penting. Anda memang cerdas memberikan pembelajaran tanpa 
membuat orang
> merasa digurui. 
>  
> tahu nggak, saya ketawa ...terpingkal-pingkal di ruangan saya 
sendirian,
> gara-gara baca tulisan ini. Mudah-mudahan kawan-kawan saya nggak 
nganggap
> saya gila. 
>  
> salam 
> dks 
> ----- Original Message ----- 
> From: Denny 
> To: mediacare@yahoogroups.com 
> Sent: Wednesday, June 06, 2007 9:59 AM
> Subject: [mediacare] Syalalala.. Mana Kiblatmu.. Syalalala.. Ini 
Kiblatku
> 
> 
> 
> 
> Pernah pusing gara-gara mau shalat nggak tahu arah kiblat?
> Sama...
> 
> Ini hal yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
> Tapi biasanya nggak terlalu mengganggu pikiran orang islam awami.
> Kenapa? Karena solusinya sangat gampang.
> Gimana? Ya nanya dong!
> Kan ada peribahasanya... Malu bertanya sesat di kiblat.
> 
> * * *
> 
> Memang kalau cuma bingung nentuin arah shalat, nggak akan jadi
> masalah yang terlalu bikin puyeng.
> Jarang banget ada orang trauma berkepanjangan cuma gara-gara soal
> sepele ini. Kalau ada pun paling-paling memang orang yang yakin
> dirinya semacem kompas atau patung asbak yang posenya lagi 
ngacungin
> telunjuk ke arah ka'bah.
> 
> Tapi saya pernah juga nemuin masalah yang agak rame gara-gara soal
> nentuin kiblat ini.
> 
> Ceritanya, waktu jaman kuliyah dulu.
> Setelah berbulan-bulan menyembah-sujud Rektor & Pihak Yayasan untuk
> menyediakan fasilitas tempat shalat yang baik di gedung kampus yang
> baru ditempati (di gedung kampus lama malah ada masjid di tengah
> kampus), akhirnya sesembahan itu dipenuhi juga.
> Kami diberikan satu ruangan yang seukuran 4 x 4 meter di bagian
> belakang kampus (di bawah gedung olahraga).
> 
> Masalah muncul ketika seorang teman memberikan data pengukuran yang
> menentukan arah derajat kiblat dalam ruangan mushala itu.
> Berdasar pengukuran itu, saf untuk shalat jadi agak mengsong 
sekitar
> 30 derajat dari bentuk ruangan.
> 
> Saat itu dengan ketegasan yang prima, saya menolak menggunakan data
> pengukuran tersebut, dan memilih agar digampangin aja sehingga saf
> bisa sesuai dengan bentuk ruangan.
> Jadi nggak pake acara mengsong kiri, mengsong kanan.
> 
> Tentunya pertimbangan saya bukan lantaran ketakutan jamaah shalat
> akan lebih sibuk nyanyi potong bebek angsa ketimbang ngaji bareng.
> Pertimbangan saya jauh lebih sederhana ketimbang alasan itu.
> Saya pikir dengan saf yang diatur mengsong bukan hanya mengganggu
> sirkulasi (karena bentuk ruangan dan posisi pintu), tapi juga --
> alasan ini yang saya anggap paling penting-- dengan saf semacam itu
> akhirnya malah mengurangi jumlah jama'ah yang bisa ditampung.
> 
> Gampangnya, kalau saf yang disesuaikan dengan bentuk ruangan bisa
> muat 8 orang per safnya, dengan saf yang mengsong akhirnya jadi 
cuma
> 5-6 orang. Karena di ujung saf jadi ada lahan yang nggak mungkin
> kepake, kecuali ada yang rela shalat sambil njeduk-njedukin 
kepalanya
> ke dinding.
> 
> Tapi apa daya, pertimbangan saya ditolak oleh mayoritas anggota 
dalam
> DPM (dewan pengurus mushala). Bahkan ada seorang teman yang
> menyanggah dengan melontarkan argumen :
> 
> "Kalau lu mentingin jumlah jama'ah, gimana kalo kita shalatnya 
sambil
> baris bediri aja.
> Sajadahnya nggak usah digelar tapi digantung di depan idung tiap
> orang kayak jemuran.
> Shalat nggak pake sujud & duduk, cukup njentul-njentulin idung aja 
ke
> sajadah yang melambai-lambai. Ruangan segini bisa masuk 50 orang."
> 
> Saking briliannya itu usulan saya jadi nggak sanggup marah. Cuma
> masalahnya DPM nggak punya alokasi dana buat ngobatin varises,
> sehingga usulan itu rasanya agak-agak bahaya kalau direalisasikan.
> Jadi akhirnya pertentangan selesai dengan saya yang merasa waras
> memilih mengalah saja, dan mengikuti suara terbanyak.
> 
> ***
> 
> Tapi bertahun-tahun kemudian, pikiran soal nentuin kiblat ini masih
> sering juga iseng sliweran di kepala saya. Terutama kalau saya 
masuk
> & shalat di mushala-mushala kecil seperti di mall atau di
> perkantoran, dan menemukan pengaturan saf dan kiblat yang sejenis
> (mengsong gak ngikut bentuk ruangan) dengan yang terjadi di mushala
> kampus dulu.
> 
> Pertanyaan yang muncul di benak saya selalu diawali dengan 
pertanyaan
> macem bocah : Sebenernya apa sih nilai kepentingan yang dikejar 
dalam
> nentuin kiblat ke suatu arah?
> 
> Di sini, Islam awami saya lebih memilih nilai kepentingan yang 
logis
> dan sederhana.
> 
> Saya duga, nentuin kiblat dalam satu ruangan (mushala/masjid)
> tujuannya tidak terlepas dari konteks keberjamaahan dalam shalat.
> 
> Dalam bahasa yang gampang, dengan satu kiblat maka kita bisa
> njengking secara kompak. Nggak ada acara tungging-menungging, atau
> jeduk-jedukan kepala.
> Ribet banget kalau di satu gelaran shalat bareng, ada yang ke 
utara,
> selatan, barat, timur, timur laut, barat laut, tenggara, barat daya
> dan seterusnya. *ini mau shalat apa mau berlayar sih?*
> 
> Kebersamaan ini yang sampai saat menulis ini tetap saya duga jadi
> esensi yang kudu diutamakan. Dan konsekuensi logisnya, kalau bisa
> bareng-bareng 20 orang akan jauh lebih baik daripada hanya dua 
belas
> setengah orang. *lho, yang setengah itu orang apa ... ...*
> 
> ***
> 
> Di sisi lain, saya juga punya pikiran iseng, bahwa sebenernya kalau
> kiblat itu mengarahkan diri ke arah ka'bah berada, maka di dunia 
yang
> bulat ini kita sejatinya akan selalu punya dua arah yang sama-sama
> mengarah ke kiblat.
> 
> Misal dengan posisi kita di Indonesia, arah kiblat kita kurang 
lebih
> ke arah barat karena itu arah menuju ke mekkah/ka'bah. Tapi dengan
> kondisi bumi yang membulat, kalau kemudian kita balik badan 180
> derajat, (berarti kurang lebih menghadap ke timur) dan berjalan 
kaki
> luruuuus terus... nantinya pasti nyampe juga ke ka'bah. *dengan
> catatan kudu sakti mandraguna bisa jalan di atas air, nembus 
gunung,
> nembus beton, dan... nggak apes dima'em ikan hiu*.
> 
> Hanya saja jarak tempuh ke timur memang akan lebih jauh ketimbang 
ke
> barat.
> 
> Awami saya nggak terlalu ngerti, tapi menduga pertimbangan jarak
> tempuh terdekat ini juga jadi parameter dalam menentukan ke mana 
arah
> kiblat.
> Tapi, andaikata pun dugaan itu benar. Untuk suatu tempat di muka 
bumi
> yang posisinya tegak lurus 180 derajat dengan ka'bah, nentuin
> kiblatnya bisa jadi sangat ribet.
> 
> Kebayang nggak? Susah mbayangin?
> 
> Gini... Gampangnya bayangin aja bola bumi yang bulat ini.
> Kemudian bayangin satu titik dipermukaannya dan sebut titik itu
> ka'bah.
> Lalu ambil sebatang paku yang lumayan panjangnya, dan tusukkan 
tegak
> lurus pada titik posisi ka'bah itu, sampai menembus ke permukaan 
bola
> bumi di seberangnya.
> 
> Tempat yang menjadi titik tembus itu, kalau diukur secara matematis
> akan punya 360 kemungkinan arah (sesuai dengan 360 derajat dalam
> lingkaran), yang mana ke 360 nya akan punya jarak tempuh yang sama
> untuk mencapai ka'bah.
> 
> Nah kalau ada 360 muslim lagi jongkok bareng-bareng di tempat itu,
> lalu tiba-tiba secara serempak dapet ilham pengen shalat, mereka 
bisa
> berantem sampe kiamat --cuma gara-gara ke 360 muslim tadi pegang
> derajat yang berbeda untuk nentuin arah kiblat--.
> 
> See?
> Kasus luar binasa semacam diatas, buat saya jadi satu argumen
> penting, bahwa kalaulah ada urgensi yang sifatnya di luar urusan
> praktis semacam "kebersamaan dan keberjama'ahan" dalam hal 
menentukan
> arah kiblat, rasanya Tuhan dan Nabi punya persoalan penting yang 
kudu
> diselesaikan sama 360 orang tersebut.
> 
> ***
> 
> Terus terang soalan gini memang soalan yang sederhana.
> Yang mikirin juga cuma benak-benak iseng model saya. *am i alone? i
> don't think
> so*. Tapi saya juga bukan sekadar main lohis-lohissan, apalagi 
lohan-
> lohanan. Sayup - sayup ingatan saya melambai-lambai dan akhirnya
> sampai pada satu cerita yang pernah saya dengar.
> 
> Alkisah ada seseorang yang hidup di jaman dulu.
> Entah sahabat, teman, kerabat, atau sodara, rekan sejawat, satu
> profesi, atau sekedar satu hobby, saya nggak ingat jelas.
> Yang saya ingat, ceritanya orang ini shalat di suatu tempat yang
> gelap gulita.
> 
> Mungkin dia sebenernya bawa senter tapi rupanya lupa ngisi batere.
> Mungkin bawa korek, tapi lantaran takut ketahuan bininya kalau dia
> masih doyan ngerokok, akhirnya dia takut-takut juga untuk nyalain.
> Mungkin pula dia saat itu udah bawa HP yang udah dilengkapi GPS 
tapi
> malang nian baterenya juga ternyata soak.
> 
> Sampe akhirnya dia nggak bisa melihat arah mana kiblat untuk 
shalat,
> dan nggak bisa bertanya sama siapa-siapa.
> Lalu nekatlah beliau ini, untuk shalat ke arah yang dia pikir itu
> arah kiblat.
> Habis shalat lalu gentor alias molor, dan baru terbangun saat
> matahari sudah menyinari wajahnya.
> Maka kagetlah kawan kita satu ini, gara-gara dia sadar arah 
shalatnya
> semalam itu ternyata ngaco berat.
> 
> Maka seketemunya sama *yang tak perlu disebut namanya* -- *karena
> kalau cerita ini bukan hadist sahih gw jadi dosa *, dia pun 
bertanya,
> kurang lebihnya : sah nggak ya shalatnya?
> 
> Hatinya semriwing menunggu jawaban yang keluar, tapi akhirnya
> sumringah gara-gara jawabannya ternyata santai aja : "sah aja
> kok...pan ente nggak nyaho.." *ini jawaban versi terjemahan bebas 
dan
> gaul, mohon maklum*
> 
> Tapi kalimat berikutnya yang saya rasa perlu untuk diselidiki
> kesahihan dan (kalau sahih) perlu diyakini kebenarannya :
> 
> "Kemana kau menghadapkan wajahmu, di sanalah wajah Allah"
> 
> Sentaby,
> DBaonk ® 2007
> 
> Catatan : tulisan ini bisa dibaca online di
> http://dbaonk.multiply.com/journal/item/57
> 
> & rate tulisan ini di
> 
> http://www.apakabar.ws/
> index.php?option=com_content&task=view&id=1024&Itemid=88888889
> 
> 
> 
> 
> __________ NOD32 2311 (20070606) Information __________
> 
> This message was checked by NOD32 antivirus system.
> http://www.eset.com
>


Kirim email ke