Kalau di Jakarta, di waktu musim liburan ada PRJ bukan ?

Menurut saya,  PRJ pun menarik. Saya pribadi tidak mampu shopping ke luar
negeri.
Tapi untuk pergi ke PRJ pun saya malas walaupun masih terjangkau. Mengapa ?
Karena saya merasa tidak aman sehingga tidak nyaman berada di sana.
Sebenarnya sih saya tidak tahu persis bagaimana keadaan PRJ sekarang ini,
karena sudah beberapa tahun ini saya tidak pernah lagi pergi ke sana. Tapi
terakhir kali ke sana, copet ada dimana mana. Dan banyak berita kendaraan
bermotor yang dikerjai. Biaya parkir yang sekarang makin mahal, tidak
menjamin parkir aman. Toh pengelola parkir terang-terangan mengatakan,
segala bentuk kehilangan dan kerusakan adalah diluar tanggung jawab mereka.
Jadi kita bayar untuk sewa tempat aja.

Jadi menurut saya yah kita gak perlu ngedumel kalau banyak orang berduit
asal Indonesia yang lebih suka belanja di negara tetangga. Bahkan untuk
berobat juga lebih percaya ke tetangga kan ? Soalnya dokter sendiri sudah
tidak bisa dipercaya.

Yang mestinya disorot itu adalah, mengapa mereka lebih memilih negara
tetangga ketimbang negara sendiri. Lalu apa yang seharusnya dilakukan
pemerintah agar mereka (termasuk kita) merasa nyaman berbelanja dikampung
sendiri.


Regards,
Paulus T


On 6/21/07, Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

 http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=290889

Kamis, 21 Juni 2007,



*Memperkaya Negeri Tetangga
*

*Singapura, Malaysia, dan Hongkong tahu benar salah satu watak orang
Indonesia. Suka belanja. Konsumtif. Menghambur-hamburkan uang untuk
shopping. Tentu saja ini bagi yang berduit.

Karena itulah, saat ini Singapura menggelar Singapore Great Sales (SGS)
tiap tahun. Waktunya tetap, Juni-Juli.

Kenapa Juni-Juli? Sebab, periode ini adalah liburan sekolah di Nusantara.
Itu berarti saatnya keluarga Indonesia "menyerbu" negeri tetangga. Mereka
pakansi. Wisata. Dan itu berarti saatnya mereka shopping.

Ingin tahu jumlah wisatawan Indonesia yang shopping di Singapura serta
nilai shopping-nya? Fantastis. Tetapi, watak maniak belanja itu sekaligus
memprihatinkan dilihat dari kondisi negeri yang ekonominya tak sehat-sehat
ini.

Maniak shopping itu memprihatinkan karena menghambur-hamburkan uang di
negeri orang, sementara sebagian besar bangsanya masih terlilit kesulitan
ekonomi.

Data di Tourism Singapore Board (TSB) pada 2006, di antara 9,7 juta
wisatawan ke negeri kota itu, 1,92 juta berasal dari Indonesia. Selama
delapan minggu -dua bulan SGS- 360 orang Indonesia datang ke Singapura.

TSB memperkirakan, setiap orang Indonesia menghabiskan USD 800 atau Rp 7
juta untuk belanja dan makan. Angka ini belum termasuk biaya transportasi
dan penginapan. Ini berarti Singapura meraup kurang lebih USD 228 juta dari
para wisatawan Indonesia saat SGS.

Tidak ada yang salah sebenarnya dari watak suka shopping itu. Apalagi
kecenderungan ini lebih banyak bersifat pribadi karena bergantung kepada
tipis-tebalnya kantong masing-masing orang.

Hanya, rasanya, terkesan kuat bahwa sifat menahan diri sebagian bangsa
kita untuk hidup sederhana kini sudah sangat lemah. Bahkan, tidaklah
berlebihan untuk mengatakan itu sebagai sisi lain dari cermin lemahnya
solidaritas terhadap kondisi sesama bangsanya yang tidak beruntung.

Memang belum tentu yang suka shopping tak memiliki naluri simpati atau
belas kasihan. Mungkin, banyak pula di antara mereka yang punya empati
tinggi terhadap sesama bangsanya yang masih sering dilanda musibah. Tetapi,
tetap saja sulit mengingkari bahwa banyak di antara bangsa ini yang tidak
memiliki sens of crisis.

Di negerinya sendiri masih banyak yang kekurangan. Banyak yang terkena
bencana. Banyak yang jadi korban buruknya tekanan ekonomi. Banyak anak
bangsa ini yang untuk memenuhi kebutuhan pokok saja sulit.

Ironisnya, dengan kondisi sosial ekonomi seperti itu, ada sesama bangsa
yang enteng menghambur-hamburkan uang di negeri orang demi memenuhi nafsu
konsumtifnya.

Paling tidak, kelemahan untuk tidak bisa menahan godaan belanja telah
turut memperbesar larinya devisa. Di tengah negeri ini sulit mendapatkan
kepercayaan pemilik modal asing untuk investasi, justru anak negerinya
dengan enteng "melarikan" uangnya buat menambah kaya negeri tetangga.

Apa yang dapat kita katakan? Mungkin "Ini bangsa yang bodoh." "Tidak punya
kepribadian yang kukuh." "Lemah mental," atau apalah. Yang pasti, kelemahan
watak kita justru dimanfaatkan negeri tetangga dengan cerdik.

Simak saja, setelah Singapura sukses dengan SGS-nya, Malaysia
ikut-ikutkan. Malaysia menggelar Mega Sale Carnival. Waktunya bahkan lebih
lama, 16 Juni-2 September.

Hongkong tak mau kalah untuk turut memancing para shopper Indonesia.
Negeri itu menggelar Hongkong Shopping Festival. Waktunya, 30 Juni-31
Agustus.*

Kirim email ke