Kebijakan Biodiesel Mengancam Orangutan
Kerusakan hutan akibat pembukaan perkebunan sawit lebih parah dari illegal logging. Paradoks. Mungkin kata inilah yang seketika akan terlontar ketika melihat perkembangan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) atau biodiesel. Alih-alih menjadi solusi terbaik mengatasi kelangkaan bahan bakar minyak dan mengurangi polusi udara, biodiesel justeru menjadi pemicu rusaknya hutan dan pembantaian orang utan. Ide pemanfaatan biodiesel dilatari makin menipisnya persediaan minyak bumi. Kebutuhan minyak tanah maupun solar dunia mencapai 2.487 juta ton per tahun. Indonesia sendiri butuh 42 juta kiloliter BBM setiap tahunnya. Kebutuhan itu tiap tahun meningkat pesat. Tak heran jika Menteri Pemberdayaan Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, memperkirakan persediaan minyak bumi Indonesia mungkin hanya bisa bertahan 11 tahun, gas bumi 30
tahun dan batubara 50 tahun lagi.
Kondisi inilah yang kemudian menjadi salah salah satu pertimbangan keluarnya Inpres No. 10 Tahun 2005 tentang Pemasyarakatan dan Penggunaan Bahan Bakar Nabati melalui gerakan penghematan penggunaan bahan bakar energi fosil. Inpres ini berimplikasi terhadap meningkatnya upaya pengembangan dan penelitian, produksi dan penggunaan bahan bakar bersumber dari lemak tumbuhan. Salah satunya biodiesel dari kelapa sawit. Kebijakan ini mengakibatkan jutaan hektar hutan disulap menjadi perkebunan kelapa sawit. Berdasar data Centre for Orangutan Protection (COP), sepanjang Mei 2005 saja, Pemda Kalimantan Tengah telah memberikan izin prinsip dan arahan lokasi perkebunan baru seluas 3.624.564 hektar. Angka ini meningkat pesat menjadi 4,3 juta hektar pada akhir
2006 untuk 254 perusahaan.
Sebagaimana umumnya satwa liar, menurut Direktor COP, Hardi Baktiantoro, tingkat ketergantungan orangutan akan hutan sangatlah tinggi. Satwa yang habitat hidupnya (di seluruh dunia) hanya bisa ditemui di hutan Kalimantan dan sebagian di selatan Sumatera ini, sangat bergantung pada buah-buahan dan sejumlah pohon hutan. Penebangan hutan tak hanya membuat mereka kehilangan habitat hidup tapi juga sumber makanan. Ketika habitatnya rusak, orangutan bakal merambah perkebunan dan memakan tunas daun kelapa sawit. `'Sebenarnya tunas muda kelapa sawit bukan makanan mereka. Tapi ketika sumber makanan utama sudah tidak mereka temukan lagi
di hutan, akhirnya mereka survive memakan itu,'' ungkap Hardi.
Malangnya, ketika orangutan masuk perkebunan, mereka menjadi musuh manusia. Mereka dianggap hama sehingga
dengan cara apapun, mereka akan dimusnahkan.
Pada 2006, tim penyelamat dari Departemen Kehutanan dan Pusat Reintroduksi Orangutan Nyarumenteng berhasil menyelamatkan 368 orangutan. Sebagian besar diselamatkan dari perkebunan sawit. Jumlah ini belum seberapa, mengingat diperkirakan ada 1.500 ekor orangutan yang tidak terselamatkan. Temuan COP menyebutkan, pekerja perkebunan sawit kerap menyiksa orangutan hingga mati. `'Mereka juga mengaku sering memakan orangutan atau membakarnya,'' kata Hardi kepada Republika. Koordinator Save Our Borneo, Nordin, menyebut bahwa kerusakan hutan akibat pembukaan perkebunan sawit, lebih parah dibanding illegal logging. Dalam kasus illegal logging, kayu hutan yang dicuri hanya jenis dan ukuran tertentu saja. Tapi dalam pembukaan perkebunan, semua pohon ditumbangkan dan diganti tanaman sawit. Indonesia, kata Nordin, berambisi menyaingi Malaysia, sebagai negara penghasil sawit terbesar. Ambisi ini disusul kebijakan kemudahan membuka lahan, dengan keluarnya UU Perkebunan maupun UU Penanaman modal. Otonomi daerah juga memperparah kerusakan hutann. Demi mengejar pendapatan asli daerah (PAD), pemerintah daerah
berlomba menerbitkan izin membuka hutan untuk perkebunan sawit.
Di lapangan, kata Hardi, terjadi akal-akalan menyiasati kebijakan pembukaan lahann. Izin perkebunan sawit di atas 13 ribu hektar harus ke Menteri Pertanian. Seperti tak kurang akal, para pemodal memecah-mecah perizinan sehingga prosedur perizinan cukup di tingkat kepala daerah saja. Menyelamatkan lingkungan dengan menggiatkan BBN nampaknya hanya akan menjadi jargon saja. Saat ini, sekitar 1.500-1.600 ekor orangutan di Kabupaten Katingan
maupun Seruyan, sedang tersudut oleh aktivitas pembukaan hutan.
Ini, bukan berarti pemerintah harus membatalkan kebijakan penggunaan biodisel melainkan menyertai kebijakan itu
dengan upaya penyelamatan lingkungan.
Fakta Angka
4,3 Juta Hektar
Areal hutan di Kalteng yang diizinkan untuk perkebunan sawit pada 2006. (dwo )
Sumber : Republika, 22 Mei 2007

HARDI BAKTIANTORO
CENTRE FOR ORANGUTAN PROTECTION
PO.BOX 2406 JKP 10024
JAKARTA - INDONESIA
[EMAIL PROTECTED]
www.orangutanprotection.com



Reply via email to