Dari blog Erwin D. Nugroho>>> www.windede.com Menunggu Azab dari Bumi yang Marah
Andai saja saya hidup di kurun dua atau tiga abad lalu, kebencian semacam ini mungkin tak sampai merusak pikiran; maki-maki tiada arti setiap kali listrik padam. Tak kunjung rampung meredam sakit hati meskipun dengan sangat sadar beginilah sudah kondisinya. Byar pet berselang hari. Kadang-kadang malah sehari tiga kali. Seperti orang minum obat. Saya tinggal di Balikpapan sekarang. Kota yang dulu masyarakatnya dengan bangga menyebut Kota Minyak. Sekarang, kebanggaan itu pupus sudah. Bukan saja minyak untuk rumah tangga pun kerap harus antre untuk mendapatkannya, tetapi juga karena keberlimpahan energi itu ternyata tak cukup membuat kota ini sanggup memenuhi kebutuhan energi rakyatnya sendiri. Duduklah di pinggiran Teluk Balikpapan. Di salah satu sudut pantai di sebelah barat kota ini, kita dengan mudah menengok kilang-kilang milik Pertamina saling julang. Semburan minyak mengalir ke kilang-kilang itu melalui pipa-pipa besar dari sumur-sumur bor entah di daratan Samboja, Muara Jawa, atau juga rig-rig lepas pantai yang benderang oleh nyala api gas buangan di waktu malam. Pandanglah dari pinggiran teluk itu ke tengah Selat Makassar, persegi hitam di garis horison yang berjalan pelan; ponton-ponton berisi batubara menggunung diangkut dari pedalaman Mahakam, pelosok Kutai Timur dan Kutai Barat, silih berganti, tiada berhenti. Entah sudah berapa lubang raksasa menganga di tanah Kalimantan karena dikeduk tangan-tangan bermesin itu. Lewat dan lewat lagi. Berlayar menjauh seolah dengan lambaian sombong; sudah kuambil isi perut bumi di kampungmu, hai orang-orang bodoh! Suatu hari, pernah ada cerita. Orang di perkampungan Muara Badak, dekat dengan lokasi eksploitasi gas PT Badak, harus membeli gas elpiji berharga dua kali lipat lebih mahal dari penduduk Jakarta. Padahal elpiji yang dijual di Jakarta itu diambil dari lahan di sebelah rumah mereka. Itulah pula yang membuat krisis listrik di sebagian besar kota Kalimantan menjadi ironi tak berkesudahan. Batubara dikuras setiap hari di lahan penduduk yang, biasanya, diganti-rugi murah sekali. Truk-truk pengangkut emas hitam itu kemudian melaju di sisi-sisi gubuk kayu orang kampung, merusak jalan negara, mengirim debu beracun ke rumah-rumah. Polusi batubara dihirup orangtua hingga bayi bersama sisa oksigen dari sela-sela ventilasi jendela ruang tidur mereka, yang betapa sangat menyedihkan lagi, lebih sering gelap pada malam hari. Bukan saja karena giliran pemadaman listrik. Tetapi juga karena listriknya sendiri belum tersambung sampai hari ini. Seperti juga penebangan kayu yang telah mengubah jutaan hektare hutan menjadi tanah lapang, ribuan ton batubara itu setiap hari meninggalkan perairan laut Kalimantan. Dikirim ke China, Malaysia, Singapura, mengisi ketel-ketel pembangkit listrik tenaga uap di negeri-negeri itu, hingga mereka benderang sepanjang malam. Pada saat yang sama, penduduk di Balikpapan, Samarinda, juga Banjarmasin dan sekitarnya, harus berteman lilin, yang dalam sekejap meleleh dan mengotori lantai, atau obor-obor batang bambu yang sebentar saja telah membuat hidung orang di seisi rumah hitam karena jelaga. Hebatnya, pemerintah tak melihat ini sebagai masalah. Para punggawa negeri malah dengan bangga bikin jumpa pers, menyebut keberhasilan republik merangsang industri hingga produksi tambang dan migas tumbuh sangat baik, lantas membuat target-target baru yang lebih tinggi lagi. Di kota di mana pertambangan dan eksploitasi migas itu dilakukan, penduduknya harus menanggung banjir bandang, listrik padam, dan mungkin suatu hari azab pedih dari bumi yang marah. Saya, seperti juga penduduk lain di Kalimantan, mungkin sudah sangat lelah memaki. Sebab menyumpah dengan serapah paling kejam pun ternyata tak cukup mujarab mengobati sakit hati. Adakah yang punya ide lebih baik? (www.windede.com) --------------------------------- Park yourself in front of a world of choices in alternative vehicles. Visit the Yahoo! Auto Green Center.