http://www.kr.co.id/article.php?sid=130765
Sunday, 15 July 2007, 'Tukang' Sepakbola ===> Oleh : Indra Tranggono WAPRES Jusuf Kalla, ketika menyemangati timnas Indonesia, menyebut sepakbola berkaitan juga dengan martabat bangsa. Karena itulah, timnas diharapkan tampil fight dalam Piala Asia 2007. Kemenangan menjadi pundi-pundi sangat berarti bagi rakyat negeri ini. Ketika Firman Utina dkk mampu menekuk Bahrain 2-1, eforia pun meledak. Bangga, terharu dan suka-cita berbuncah-buncah dalam jiwa; kemenangan itu seperti menghapus dahaga panjang bangsa ini akan prestasi sepakbola nasional. Apa arti kemenangan Indonesia itu bagi bangsa ini? Di luar urusan prestasi olahraga, sepakbola telah menjadi salah satu indikator mutu kebudayaan dan harga diri suatu bangsa. Dibanding cabang olahraga yang lain, sepakbola jauh lebih kompleks dan rumit. Bukan hanya masalah skill, mental, stamina, kecerdasan, team work, tak-tik dan strategi yang penting, tapi juga manajemen, industri dan penonton. Sepakbola tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, melainkan juga sebagai out-let sosial (kanal/saluran bagi berbagai tekanan sosial). Ia pun juga terkait dengan fanatisme kelompok sosial atau bangsa, di mana harga diri atau martabat dipertaruhkan. Sangat tingginya dunia menghargai sepakbola mendorong berbagai negara untuk memiliki tim berkualitas yang mampu bersaing di level internasional. Sepakbola pun akhirnya menjadi proyek mercusuar atau membangun citra bangsa. Brazil atau Argentina boleh tertinggal dalam kemajuan teknologi dan ekonomi, mereka tetap diperhitungkan, karena kemajuan sepakbolanya. Dalam konteks di atas, kemenangan Indonesia atas Bahrain (mungkin juga keberhasilannya menghadapi tim-tim lain) dalam 'mengangkat' moral dan harga diri bahkan martabat bangsa, setidaknya di level Asia. Indonesia pun akan makin diperhitungkan lawan-lawannya. Artinya, sepakbola sebagai wahana untuk membangun citra bangsa, telah menemukan relevansinya, meskipun masih pada tahap paling awal. Kemenangan itu juga bisa menjadi hiburan bagi duka lara mayoritas bangsa yang selama ini terbenam dalam lumpur penderitaan baik secara ekonomis, sosial, politik dan budaya. Setidaknya, ia menjadi katup pelepas bagi berbagai kesumpekan hidup. Telah lama bangsa ini haus kebanggaan yang bisa diapresiasi secara massal dari olahraga, sejak era kejayaan sepakbola tahun 1950-1970-an (Ramang, Djamiat Dalhar sampai Iswadi Idris, Ronny Patinasarani, dll). Era sepakbola Indonesia tahun 1980-an ke belakang, relatif miskin prestasi, justru sejak ada kompetisi reguler (galatama dan liga Indonesia). Jagat sepakbola kita pun nyaris tanpa pemain legendaris. Kenapa bisa muncul pesepakbola macam Ramang, Djamiat Dalhar, Ronny, Iswadi, Sucipta Suntoro dan lainnya, justru ketika fasilitas belum sebaik sekarang? Saat ini, uang begitu melimpah bagi sepakbola, karena dukungan pasar (pengusaha). Para pemain bergaji jutaan atau bahkan puluhan juta. Dulu? Untuk membeli sepatu saja, susah. Tapi kenapa sekarang tidak banyak lahir pemain yang berkualitas dan berkarakter? Ada yang meredup sekarang ini: nasionalisme, semangat kebangsaan yang menjadi ideologi dalam aktualisasi dan ekspresi. Bukan hanya dalam sepakbola, namun juga di bidang lain (politik, ekonomi, budaya) nasionalisme itu juga (sedang) meredup. Jagat politik lebih mementingkan kekuasaan partai atau golongan. Jagat ekonomi lebih mengutamakan konglomerasi, bukan usaha bersama dan kesejahteraan. Bidang budaya lebih mementingkan keuntungan finansial dibanding nilai-nilai kultural. Dalam konteks itulah, kita menjadi maklum jika banyak pelaku profesi kurang memiliki idealisme dan nasionalisme, termasuk dalam jagat sepakbola. Sehingga yang lahir bukan para pemain yang memiliki karakter, etos kreatif dan semangat juang, melainkan 'tukang sepakbola' yang tunduk pada bayaran. Membangun sepakbola, akhirnya, bukan hanya secara teknis. Langkah utama adalah memproses pesepakbola memiliki karakter dan martabat. Semoga Piala Asia menjadi momentum bagi PSSI untuk introspeksi. Begitu pula dengan pemerintah, jangan hanya sibuk dengan pembangunan fisik dan ekonomi namun juga makin peduli dengan kebudayaan. Ruh bangsa ini ada di dalam kebudayaan (pendidikan, ekspresi seni dan non seni yang bermakna, hukum yang bersih dan adil, ekonomi yang menyejahterakan, kondisi sosial yang kondusif, politik yang bermoral dan lainnya). Penulis, Pemerhati Kebudayaan)-a.
<<kolom.gif>>
<<print.gif>>
<<friend.gif>>
<<tn_kr_03d.jpg>>