Tiga Sebab Munculnya Ekstremitas

Oleh Tim dakwatuna.com | 10 June 2007 @ 14:58 |
25/Jumadil Awal/1428 H

Sesungguhnya agama itu mudah. Dan 
tidaklah seseorang
memberat-beratkan agama itu melainkan pasti 
ia (agama) akan
mengalahkan orang itu. Maka bersikap lurus,
moderat, dan sikapilah
dengan gembira (lapang dada). (Al-Bukhari)

Hadits di atas menegaskan kepada kita bahwa
aslinya Islam adalah
moderat dan jauh dari ekstremitas. Al-Qur an 
dan Sunnah telah
menggariskan segala sesuatu yang membuat manusia
mencapai kebaikan,
kebahagiaan, serta kejayaan dunia dan akhirat. Ada
nash-nash yang amat
rinci seperti penjelasan mengenai praktik ibadah 
mahdhah seperti
shalat, puasa, zakat dan haji. Petunjuk untuk
ibadah-ibadah seperti
itu telah sangat gamblang dan lengkap. Hal lain
yang diterangkan
secara rinci adalah pembagian harta waris. 
Siapa yang berhak
memperolah harta waris dan berapa bagian untuk
masing-masing orang
yang berhak itu.

Selain itu, ada pula petunjuk-petunjuk Islam yang
bersifat global dan
umum. Perinciannya diserahkan kepada ijtihad 
orang-orang yang
berkompeten untuk itu. Yakni para ulama dengan
kualifikasi tertentu.
Petunjuk yang bersifat global ini banyak 
berkaitan dengan
masalah-masalah muamalah, politik, budaya, dan lain
sebagainya. Namun
semua itu tidak lepas dari bingkai umum yang
telah diberikan oleh
Islam.

Tanpa standar itu maka akan terjadi bias dalam
penilaian. Bisa saja
karena seseorang tidak suka dengan cara temannya
berislam yang belum
tentu salah dicaplah dia sebagai ekstrem. Dan
sebaliknya orang yang
selalu mengambil pilihan yang sulit dan keras 
akan menuduh orang
yang berbeda dengan dirinya sebagai orang yang
tidak komit, lembek,
dan penakut. Jadi tidak ada Islam ekstrem, yang
ada adalah muslim
ekstrem. Ini ditegaskan pula oleh Rasulullah 
saw., Binasalah
mutanath-thi un. Beliau mengulangi kalimat itu 
sampai tiga kali.
(Muslim)

Imam Nawawi, dalam kitabnya Riyadhush-Shalihin, 
menjelaskan kata
mutanath-thi un yang ada dalam hadits itu: 
Mutanath-thi un adalah
orang-orang yang mendalam-dalami (secara memaksakan
diri) dan bersikap
keras dalam hal yang tidak seharusnya keras. 

Mengapa muncul sikap memberat-beratkan diri sendiri
dalam melaksanakan
Islam? Banyak sebab, antara lain:

1. Memahami Syariat Islam secara parsial.

Pemahaman parsial tentang Islam (syariat Islam)
mempunyai peran besar
dalam memunculkan perilaku ekstrem. Syariat Islam merupakan satu
bangunan utuh yang satu komponen dengan lainnya
saling menguatkan.
Fondasinya akidah dan keimanan. Lantai pertamanya
adalah akhlak dan
perilaku. Ibadah-ibadah ritual (ta'abbudi) adalah
lantai kedua. Lantai
ketiganya adalah mu'amalat dengan segala cabangnya.
Dan bangunan Islam
tidak akan tegak kecuali dengan tegaknya bagian-bagian
itu.

Syariat Islam bukanlah hanya berisikan hudud
seperti hukum potong
tangan, hukum rajam, atau hukum cambuk.
Karenanya, dalam kacamata
Islam, menegakkan syariat Islam bukan hanya
menegakkan hudud itu.
Terkait dengan hal ini, Dr. Ali Juraisyah
menegaskan, Bukan hanya
dengan hudud syariat Islam ditegakkan. Karena hudud
hanyalah bagian
dari hukum-hukum mu'amalah. Sedangkan mu'amalah
merupakan lantai tiga
atau empat dari bangunan syariat. Jadi semata-mata
menegakkan hudud
atau bahkan mu'amalat secara keseluruhan, sama
dengan kita membangun
lantai tiga atau empat tanpa lantai satu dan dua,
dan tanpa fondasi.
Lalu bagaimana bangunan itu akan berdiri tegak? 

Oleh karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa
Islam hanyalah
mengatur urusan pribadi sama kelirunya dengan 
pandangan yang
menyatakan bahwa jihad lebih penting dari shalat, atau
sebaliknya. Dan
sama salahnya dengan pandangan yang menyatakan
bahwa mendirikan 
negara Islam atau Khilafah Islamiyyah adalah 
lebih penting dari
membina akidah dan akhlak, atau sebaliknya.
Karena kesemuanya itu
adalah merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan
dari integralitas
Islam.

Dalam pembahasan iman kepada Allah, misalnya, ada
bagian yang oleh
para ulama diistilahkan dengan tauhidul-asma
wash-shifat (mengesakan
Allah dalam hal nama dan sifat-Nya). Dan tauhid ini
merupakan bentuk
ketiga tauhid. Yang pertama dan keduanya adalah
tauhid rububiyyah dan
tauhid uluhiyyah.

Dari situ jelas bahwa akidah bukan saja urusan
tauhidul asma
wash-shifat. Ia adalah merupakan bagian dari
pembahasan iman kepada
Allah. Dan iman kepada Allah adalah rukun pertama dari
rukun iman. Dan
selain mempunyai rukun, iman juga mempunyai 
cabang-cabang. Dalam
urusan ibadah, shalat hanyalah satu dari rukun
Islam. Dan rukun
Islam adalah bagian asasi dari Islam dan bukanlah
keseluruhan Islam.
Di dalam Islam ada dzikir, ada ukhuwwah, ada khusyu,
ada tawadhu , ada
jihad dan seterusnya.

2. Kedangkalan Ilmu.

Semangat saja belum cukup untuk membela Islam.
Selain semangat harus
ada ilmu. Akibat kedangkalan pemahaman dan tidak
menguasai sendi-sendi
hukum dalam Islam dapat pula memunculkan
ekstremitas. Syaikh Yusuf
Qardhawi semoga Allah menjaganya untuk
menggambarkan hal itu dengan
menggunakan istilah dha ful-bashirati 
bihaqiqatid-din (lemahnya
pemahaman tentang hakikat agama).

Lebih jelasnya beliau menyebutkan, Yang saya 
maksudkan bukanlah
kebodohan mutlak tentang agama. Kebodohan yang
macam itu biasanya
tidak memunculkan sikap ekstrem bahkan boleh jadi
memunculkan sikap
sebaliknya: tidak punya pegangan dan lumer. Yang saya
maksudkan justru
sepotong ilmu yang dengannya pemiliknya merasa
sudah masuk ke dalam
kelompok ulama. (Lihat 
Ash-Shahwatul-Islamiyyah Bainal-Juhud
Wat-Tatharruf, Dr. Yusuf Qardhawi, hal. 64.)

Dari kedangkalan ilmu pula dapat muncul perilaku
mudah mengkafirkan
orang lain. Pantaslah ilmu dan hujjah mutlak wajib
dimiliki oleh para
dai. Ini ditegaskan dalam Al-Qur an, Katakanlah:
Inilah jalan
(agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku 
mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci
Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik . (Yusuf: 108)

3. Terburu Nafsu

Sifat tergesa-gesa pada manusia sering mencuat 
saat menginginkan
tercapainya tujuan-tujuan besar. Baik terkait 
dengan dunia maupun
akhirat. Apabila untuk mencapainya mengambil jalan
pintas dengan cara
berlebihan dalam ketaatan dan ibadah sambil
berkeyakinan bahwa manhaj
Islam yang asli tidaklah cukup dan tidak akan
mengantarkan kepada
tujuan, maka ini jelas kesalahan besar. Dari
sinilah berangkatnya
sikap mengharamkan untuk dirinya hal-hal yang 
jelas-jelas mubah
(boleh). Atau mewajibkan untuk dirinya
ibadah-ibadah yang hukumnya
sunnah, Kata Dr. Muhammad Zuhaili.

Hal itu diperburuk dengan sikap membenarkan hawa
nafsunya dan merasa
bangga dengan apa yang dilakukannya itu sembari
beranggapan bahwa
jalan yang ia tempuh adalah jalan yang benar.
Ini biasanya juga
diberangi dengan tudingan bahwa jalan yang ditempuh
orang lain adalah
jalan yang salah atau kurang, imbuh Muhammad
Zuhaili (Al-I tidal
Fit-tadayyun hal. 11-12).

Sikap isti'jal kerap muncul dan seringkali tampil
sebagai ekstremitas.
Tidak terkecuali di jalan dakwah. Ini bisa terjadi
ketika cita-cita
menegakkan kedaulatan Islam tidak dibarengi dengan
kesabaran untuk
menempuh perjalanan yang pernah ditempuh oleh
Rasulullah saw. Dr.
Sayyid Muhammad Nuh menggambarkan sikap isti'jal 
itu, Ia ingin
mengubah kondisi atau realita kehidupan kaum
muslimin dalam waktu
sekejap tanpa mempertimbangkan akibatnya, tanpa
memperhatikan situasi
dan kondisi, dan tanpa persiapan yang matang dengan
segala uslub dan
wasilahnya. (Terapi Mental Aktivis Harakah, hal. 81)

Jadi, aslinya Islam itu mudah, adil, seimbang, dan
wasath (moderat).
Orang yang paling moderat adalah yang paling
komitmen kepada seluruh
ajaran Islam. Dan ekstremitas terjadi justru 
manakala orang
meninggalkan Islam atau menyimpang dari 
pelaksanaan Islam yang
digariskan oleh Rasulullah saw. Allahu A lam.

----------------------------------------------------------

Reply via email to