http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=294942 Selasa, 17 Juli 2007, Melihat Satu Negara Dua Sistem (2)
Oleh: Dahlan Iskan Daratan Melejit, Hongkong Kian Dilonggarkan KONSEP "satu negara, dua sistem" sebenarnya disiapkan Deng Xiaoping, pemimpin puncak Tiongkok saat itu, untuk persiapan penyelesaian masalah Taiwan. Tapi, kebutuhan strategi untuk mendapatkan kembali Hongkong lebih mendesak, dan karena itu dipakai lebih awal untuk menghadapi tim perunding dari Inggris. Kita belum tahu strategi apa lagi yang disiapkan sebagai pengganti untuk Taiwan kelak. "Satu negara, tiga sistem"? Wallahualam. Memang, waktu itu Deng menghadapi tekanan luar dalam untuk perundingannya dengan Inggris tersebut. Dari luar, selalu disuarakan bahwa Hongkong akan "habis" kalau masuk Tiongkok dan karena itu harus ada tekanan untuk mengolornya. Dari dalam sendiri, penduduk Hongkong selalu dihantui bagaimana nasib masa depan mereka. Bahkan, banyak yang memutuskan berimigrasi ke negara lain. Mereka takut kehidupan sedemokratis dan seliberal Hongkong tiba-tiba akan dikomuniskan. Mereka tidak percaya sepenuhnya akan janji-janji Tiongkok. Termasuk janji yang sudah dibuat nyata, misalnya membangun proyek megaraksasa bandara baru dengan terowongan, jembatan dan perumahan senilai USD 25 miliar (sekitar Rp 226 triliun). Maksudnya, tidak mungkin proyek sebesar itu akan dikorbankan hanya karena politik. Deng pun saat itu juga sudah menginstruksikan kebijakannya yang mudah dipahami rakyat Hongkong. Deng menegaskan, biarlah tiga hal ini tetap hidup dan berkembang di Hongkong: pacuan kuda dengan judinya, pasar modal dengan kebebasannya, dan kelab malam dengan dansa-dansanya. Ternyata, Tiongkok menepati janjinya. Dunia kecele. Apa yang diramalkan sepuluh tahun lalu tidak terjadi. Hongkong kini tetap hebat. Bahkan, lebih hebat. Kapitalisasi pasar modalnya naik terus mencapai USD 2 triliun atau sekitar Rp 18.000 triliun (bandingkan dengan Singapura yang "hanya" USD 300 miliaran atau sekitar Rp 2.700 triliun). Bahkan, banyak yang menilai kalau saja tidak disokong Tiongkok, Hongkong mengalami kesulitan besar saat terjadi krisis moneter Asia pada tahun 1997. Juga, ketika ekonomi Hongkong sempat lesu setelah itu, Tiongkok melonggarkan peraturan pembatasan orang daratan pergi ke Hongkong. Dengan "bantuan" itu, turis ke Hongkong tetap tinggi. Pusat-pusat belanja tetap ramai. Memang, sepuluh tahun lalu orang Hongkong masih mengangap rendah kemampuan daratan. Mereka sangat takut, kalau selepas Inggris, Hongkong akan mundur seperti keadaan Tiongkok. Orang Hongkong, sebagai penduduk ++++ metropolitas kelas dunia, waktu itu juga masih merendahkan orang daratan. Mereka masih mencitrakan orang daratan sebagai orang yang ndeso, orang dari kampung. Waktu itu belajar bahasa Mandarin pun mereka ogah-ogahan. Dianggap seperti belajar bahasa orang desa. Mereka merasa bahasa Konghu lebih tinggi. Kini hampir semua orang Hongkong bisa bahasa Mandarin. Penilaian rendah kepada orang daratan juga tidak parah lagi seiring dengan semakin berimbangnya ekonomi Hongkong dengan daratan. Bahkan, kini toko-toko dan restoran di Hongkong lebih senang kalau ada orang membayar dengan renminbi. Padahal, dulu-dulunya tidak ada yang mau. Maklum, kini nilai renminbi terus naik, bahkan sudah menyalip dolar Hongkong. Para pemimpin negara pun membicarakan hubungan ekonomi dua wilayah itu seperti membicarakan hubungan ekonomi dua negara yang berbeda. Minggu lalu, misalnya, diadakan upacara penandatanganan perdagangan bebas antara Hongkong dan daratan. Yang tanda tangan wakil menteri perdagangan Tiongkok dan pejabat ekonomi Hongkong. Dalam perjanjian perdagangan bebas itu (disebut CEPA/the Closer Economic Partnership Arrangement) disebutkan bahwa impor barang dari dua negara tidak dikenai bea masuk. Ini meliputi 38 item jenis perdagangan dan akan ditambah lagi 11 jenis di masa akan datang. Sebelum ada perjanjian perdagangan bebas itu, barang Hongkong yang masuk daratan dikenai bea masuk sehingga memberikan peluang untuk penyelundup. Tapi, yang dapat perlakuan bebas bea masuk ini adalah barang yang benar-benar buatan Hongkong. Bukan barang dari negara lain yang "mampir" Hongkong. Dalam perjanjian tadi, juga disepakati kemudahan-kemudahan lain. Misalnya, dokter Hongkong bisa praktik di wilayah selatan daratan (di Provinsi Guangdong). Bank-bank Hongkong bisa buka cabang di wilayah Guangdong dengan persyaratan modal yang sudah lebih ringan. Yakni, dari dulu tidak boleh, menjadi boleh asal modalnya RMB 10 miliar (sekitar Rp 110 miliar) dan kini syarat modal itu turun lagi jadi RMB 6 miliar (sekitar Rp 66 miliar). Sebaliknya, perusahaan fund management daratan bisa membuka cabang di Hongkong. Kelonggaran-kelonggaran lain diberikan seperti Hongkong diperbolehkan membangun proyek-proyek rumah jompo di daratan serta perusahaan-perusahaan pariwisata juga mendapatkan banyak kelonggaran. Hubungan dagang dua wilayah itu memang luar biasa dinamis. Ekspor Hongkong ke daratan tahun lalu mencapai puncak: HKD 8,3 miliar (Rp 9,545 triliun). Investasi Hongkong di daratan mencapai HKD 9,2 miliar (Rp 10,580 triliun). Sedangkan investasi daratan ke Hongkong mencapai HKD 5,1 miliar (Rp 5,865 triliun). Begitu pragmatisnya. Begitu fleksibelnya. Begitu dinamisnya. Penemuan kata kunci "satu negara, dua sistem" ibarat pemain kungfu yang tidak kehabisan jurus. Termasuk ketika partai komunis Tiongkok harus menghadapi kenyataan kuat arus kapital di dunia saat ini, dengan mudah Tiongkok menemukan kata kunci baru: "dari komunisme dua kaki" (buruh dan tani) menjadi "komunisme tiga kaki" (buruh, tani, dan pengusaha). Kalau mencari kucing, jangan pedulikan warnanya, hitam atau putih; yang penting bisa menangkap tikus. Itu kata-kata Deng Xiaoping yang menunjukkan pragmatisme dan fleksibilitas Tiongkok. Janganlah kalau sedang tidak suka membencinya habis-habisan dan kalau lagi suka mencintainya habis habisan. Tengah-tengah saja. Yang terakhir itu kata-kata dalam sebuah lagu dangdut, yang saya lupa siapa penyanyinya dan bagaimana iramanya. (habis) SUARA PEMBARUAN DAILY -------------------------------------------------------------------------------- Pertumbuhan Ekonomi Tiongkok Menyusul Jerman [BEIJING] Pertumbuhan ekonomi di Tiongkok berkembang pesat di 2006. Berdasarkan data statistik pertumbuhan ekonomi dunia, Tiongkok mulai menyusul Jerman yang saat ini menduduki urutan tiga besar setelah Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Menurut laporan yang diterima Biro Pencatatan Statistik, hingga 11 Juli lalu, perkiraan pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2006 meningkat dari 10,7 persen menjadi 11,1 persen. Jumlah peningkatan diperkirakan mencapai US$ 2,7 triliun. Peningkatan ekonomi tersebut diperoleh dari industri sekunder, yaitu manufacturing, konstruksi dan peralatan di Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi juga diikuti dengan kenaikan harga bahan bakar untuk ekspor ke luar Tiongkok, yang mencapai angka US$ 1,33 triliun. Namun, naiknya harga bahkan bakar tidak mampu mendorong tarif dasar untuk mengontrol ekonomi di Beijing. Staf biro pencatatan statistik, akhir pekan lalu mengatakan, meskipun Tiongkok terlihat memimpin pertumbuhan ekonomi dunia, namun Tiongkok tetap takut dengan masalah krisis keuangan negaranya. Tiongkok ingin pertumbuhan ekonomi bisa dimanfaatkan untuk mengurangi kemiskinan, sambil perlahan menanam investasi di bidang manufaktur, perumahan, dan bidang lain yang ketersediaannya melebihi kebutuhan. Tiongkok khawatir pengeluaran berlebihan bisa menyebabkan inflasi (penurunan nilai mata uang) dan peminjam di bank jatuh pada tingkat utang yang tinggi. Menurut perkiraan Biro Statistik di bank pusat mengatakan, bulan lalu ekonomi Tiongkok diharapkan tumbuh sampai 10,8 persen. Pertumbuhan ini sesuai dengan proyeksi bank dunia dan pengamat ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam lima tahun kedepan diperkirakan stabil dengan tingkat pertumbuhan sepuluh persen. Sementara itu pada Juni, peningkatan pendapatan Tiongkok mencapai angka US$ 26,9 miliar. Hasil ini tercapai sebab Pemerintah Tiongkok memotong pajak ekspor. Untuk itu Bank Sentral di Tiongkok terpaksa mengeluarkan surat utang dalam jumlah besar. Selain itu, nilai cadangan devisa Tiongkok akhir Juni lalu menempati posisi pertama di dunia, yaitu US$ 1,33 triliun. Jumlah ini meningkat 41,6 persen dibandingkan tahun lalu. Untuk itu, Beijing menemukan cara agar perusahaan mendapatkan untung banyak dengan menggunakan cadangan devisa untuk investasi di luar negeri. Dana yang akan dikucurkan Pemerintah Tiongkok untuk itu sebesar US$ 200 miliar. [AP/EAS/Y-4] -------------------------------------------------------------------------------- Last modified: 16/7/07