http://www.gatra.com/artikel.php?id=106519
Kesempatan dalam Kesempitan Politik Indonesia bergerak dari situasi otoriter menuju situasi tanpa otoritas. Padahal, demokrasi memang bermaksud membasmi yang pertama, tapi tak bisa ditegakkan tanpa yang kedua. Dan hari-hari ini, kita menyaksikan aneka peraturan dan pembangunan tak jalan karena lemahnya wibawa otoritas. Lemahnya wibawa otoritas ini ditandai dengan tiadanya aparatur penggaransi kepastian, akibat terjadinya penyebaran pusat-pusat kekuasaan dengan sistem checks and balances dan batas kewenangan yang kabur. Selain itu, berbagai undang-undang dibuat secara tumpang tindih dengan diwarnai konflik otoritas antara pusat dan daerah serta terjadinya multiplikasi peraturan daerah (perda) yang bermasalah. Di masa Orde Baru, luasnya cakupan kendali negara (state scope) masih bisa diimbangi dengan kapasitas negara (state capacity) untuk melakukan enforcement. Kendati hal ini tidak berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional, melainkan lewat represi negara. Di era Reformasi, cakupan negara tetap luas --untuk tidak mengatakan kian meluas karena terjadinya pelipatgandaan perda sebagai ikutan desentralisasi. Namun terjadi penurunan dalam kapasitas negara untuk melakukan penegakan aturan-aturan tersebut, akibat persebaran penentu keputusan. Gejala terakhir dikenal sebagai tanda "negara lemah" (weak state). Pelbagai peraturan dibuat dengan penegakan yang lemah, tapi telah cukup menimbulkan kekusutan dan ketidakpastian bagi para pelaku terkait. Yang paling santer dibincangkan dalam wacana publik adalah munculnya aneka perda syariah di sejumlah provinsi dan kabupaten. Namun yang sering luput dari perhatian, padahal teramat signifikan, adalah berbagai perda tentang peningkatan pendapatan pemerintah daerah (pemda). Banyak pemda yang memanfaatkan peluang meningkatkan pendapatan asli daerah melalui penerbitan perda. Persoalannya, penerbitan perda-perda tersebut terkadang tidak mengindahkan peraturan ataupun etika bisnis, sehingga menimbulkan masalah baru bagi dunia usaha. Kebijakan kreatif yang dikeluarkan sejumlah penguasa di daerah cukup menyesakkan kalangan dunia usaha. Kebijakan yang dikeluarkan pemda tersebut bukannya memberikan kemudahan, justru sebaliknya menjadi beban bagi pelaku usaha. Sejak otonomi daerah digulirkan pada tahun 2000, muncul ribuan perda dan retribusi daerah yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy), yang akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi, baik lokal maupun nasional. Aneka perda ini juga bisa menjadi celah bagi penyalahgunaan wewenang. Untuk memperlancar proses perizinan, pemodal terpaksa menyerahkan sejumlah uang. Tidak jarang, setelah uang diserahkan, permintaan pemodal tidak segera diselesaikan. Dalam laporan Bank Dunia berjudul "Doing Business in 2006" dijelaskan, untuk memulai bisnis di Indonesia, para pemodal membutuhkan waktu 151 hari. Hanya sedikit lebih cepat dibandingkan dengan Laos. Waktu yang diperlukan memang sangat panjang karena para pemodal harus melewati 12 prosedur. Sedangkan biaya untuk memulai usaha yang harus dikeluarkan investor mencapai 101,7% dari PDB per kapita. Dari 26 negara yang disurvei, Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste dan Laos. Regulasi di Indonesia juga dinilai sangat lemah dan ini nyaris mencakup semua aspek. Sebutlah regulasi di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, perizinan, kepemilikan properti, dan investasi. Regulasi yang lemah menyebabkan ketakpastian hukum dan dalam ketakpastian hukum, pungutan liar dan berbagai tindak korupsi merajalela. Namun ada tanda yang membuat kita optimistis. Kendati kebijakan dan pelaksanaan otonomi daerah masih mengandung banyak kelemahan, perluasan partisipasi politik telah menimbulkan dampak positif. Salah satunya adalah perluasan kesempatan berusaha bagi para pelaku bisnis di daerah. Perkembangan bisnis di daerah membersitkan optimisme yang realistik. Tanda-tandanya bisa dilihat dari pertumbuhan mal-mal besar serta tingkat hunian hotel berbintang di daerah (rata-rata di atas 60%), jumlah penumpang dan tujuan penerbangan serta layanan jasa kurir ke daerah, dan persebatan mesin ATM di daerah yang berlipat cepat. Yang lebih penting, cukup banyak pengusaha daerah yang bermetamorfosis menjadi penguasa nasional, bahkan internasional, dengan bertumpu pada kekayaan sumber daya lokal. Di Medan, PT Sarimakmur Tunggal Mandiri sukses sebagai produsen kopi internasional, pemasok utama jaringan Starbucks. Di Sumatera Barat, Rasdi & Co, PT Natraco Spices, dan PT Tropikal Andalas meraksasa lewat bisnis rempah-rempah khas seperti gambir dan kayu manis. Di Jawa Timur, PT Kelola Mina Laut dan PT Bumi Menara Internusa menjadi pebisnis besar sebagai eksportir udang dan seafood. Dengan kata lain, ada kesempatan maju dalam kesempitan. Apalagi jika kesempitan yang ditimbulkan oleh kelemahan pemerintahan ini bisa diperbaiki. Di masa depan, iklim berusaha di daerah itu akan lebih sehat jika otoritas regulasi negara berjalan secara fungsional dan proporsional, korupsi diberantas, dan pelayanan publik diperbaiki. Kita memerlukan reformasi tata kelola pemerintahan secara lebih serius. Yudi Latif Direktur Eksekutif Reform Institute [Perspektif, Gatra Nomor 37 Beredar Kamis, 27 Juli 2007]