http://www.suarapembaruan.com/News/2007/08/06/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Orang Jujur Makin Terbentur Oleh Agus Wiyanto Kejujuran adalah sikap yang makin langka ditemukan sekarang ini, dan menjadi pilihan utama "perilaku manusia beradab" di tengah pusaran arus yang menekankan aspek materialisme. Orang menjadi cepat tergiur dengan kemilau materi, dan kemudahan mendapatkan uang secara cepat dan instan. Dengan prinsip, uang dapat memberikan kebutuhan apa pun kepada si pemiliknya. Uang, yang kalau dikawinkan dengan aspek "kekuasaan", dapat membuat keinginan apa pun berubah menjadi suatu kenyataan. Siapa yang tidak ingin dalam hidupnya memiliki rumah megah, mobil mewah, tinggal di perumahan elite yang akan mendongkrak citra diri pemilik di mata orang lain. Akibatnya, manusia rela mengorbankan apa saja untuk meraihnya, termasuk mengorbankan nilai-nilai kejujuran yang diyakininya. Idealisme menjadi luntur, digantikan dengan sikap yang praktis dan pragmatis, asalkan dapat tetap eksis dalam kerasnya pergulatan hidup yang harus dimainkan. Menjadi orang jujur adalah suatu opsi pilihan nurani bagi segelintir orang, yang hidupnya tidak mau tergiur kenikmatan materi dan empuknya kursi jabatan. Baik kenikmatan materi maupun empuknya kursi jabatan, banyak dilirik dan diperebutkan orang dengan saling menyikut sesamanya. Menjadi orang jujur adalah pilihan berisiko, baik bagi diri sendiri maupun bagi keluarga. Memang hidup orang jujur tidak akan berubah menjadi glamor. Tidak akan cepat melesat hidupnya bagaikan meteor. Hidup orang jujur tetap bersahaja, bahkan menjalani hidup yang sangat sederhana, tetapi di dalamnya menemukan secercah ketenangan batin. Orang jujur tidak takut diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, dan didakwa menyalahgunakan wewenang dan jabatan. Namun, menjadi orang jujur ternyata masih tidak menguntungkan. Itu karena masyarakat Indonesia sedang menderita sakit parah, terkontaminasi virus korupsi. Suap dan mental KKN menjadi bagian dari budaya birokrasi yang hidup hingga saat ini. Tidak selamanya berbuat jujur berujung manis bagi orang yang masih mempunyai suara hati nurani dan menyerukan idealisme untuk kebaikan. Hidup orang jujur bisa berakhir dengan kisah memilukan. Menjadi orang jujur ternyata makin terbentur, bahkan terbentur pada tembok besar yang menyisakan kepahitan hidup. Karena komunitas sosial masyarakat kita ternyata tidak lentur memihak kepada orang bermental jujur. Komunitas Guru Orang jujur seperti bola yang dapat dipermainkan di lapangan. Suatu saat ditendang ke atas, lalu dilemparkan kembali ke bawah, jatuh terpelanting, tetapi tidak mati. Orang jujur akan bangkit lagi, meskipun terus ditekan atasan, dan didesak bawahan, mem-buat ruang gerak bagi orang yang bermental jujur makin terjepit dan sempit. Orang jujur tidak akan kehilangan jati diri yang harus diperankan, sekalipun orang lain akan menertawakan diri mereka dan menganggap bodoh, dan kuno tindakannya di tengah panggung kehidupan manusia. Lihatlah, apa yang sebenarnya salah dengan Komunitas Air Mata Guru Medan yang sebenarnya hendak menyuarakan keresahan isi hati, meneriakkan kepedihan, saat melihat kecurangan saat berlangsungnya ujian nasional pada April 2007. Motivasi mereka hanya satu. Bukan untuk mencari sensasi murahan, bukan pula mencari ketenaran yang kemudian kerap diliput media masa, tapi teriakan keprihatinan dan kepedihan melihat apa yang akan terjadi nanti dengan generasi muda, kalau dibiarkan berbuat tidak jujur. Sejak dini mereka diracuni mental ketidakjujuran yang dilegalkan institusi pendidikan, guna mendapatkan nilai kelulusan. Memang ijazah resmi dapat dipegang di tangan, tetapi apakah hal seperti itu dapat dibenarkan nurani dan etika moral? Namun justru nasib tragis dialami 27 guru yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru Medan (KAMG). Tindakannya yang mau berlaku jujur, ternyata direspons negatif oleh institusi tempat mereka mengajar. Mereka menghadapi kendala pemberhentian dan pengurangan jam mengajar, yang tentu saja akan membawa konsekuensi langsung bagi asap dapur mereka yang harus mengepul. Sosok guru memang sering digambarkan bak pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi nasibnya tidak lebih seperti syair lagu Oemar Bakri, yang rela terus-menerus bertugas untuk mengabdi. Padahal melalui tangan mereka, terkandung harapan suatu tugas mulia untuk mendidik generasi muda yang akan melahirkan sosok pemimpin masa depan. Tidak Mati Suri Janganlah menginjak orang yang berlaku jujur, apalagi dengan menggunakan tekanan dan kekerasan supaya mereka bungkam seribu bahasa. Sekalipun terus diinjak-injak, kejujuran tidak akan mati suri sebelum waktunya bertunas di bumi. Bahkan Tuhan digambarkan terus berpihak kepada orang jujur, yang selama hidup terus menjaga agar perilakunya, tetap di jalan yang lurus dan karyanya tidak bercacat bercela (Amsal 2: 7). Orang jujur akan terbit bak mentari yang terus menerangi dan memberikan inspirasi pencerahan bagi terciptanya ruang keadilan dan kebenaran. Dunia sekarang membutuhkan orang yang berani mengatakan dengan tegas dan lantang: "ya adalah ya" dan "tidak adalah tidak", sesuai suara hati dan prinsip yang diyakininya dalam kesatuan kata dan perbuatan. Orang jujur dipimpin oleh ketulusannya, sedangkan orang yang bercela dipandu oleh kelicikan hatinya (Amsal 11: 3). Yang satu memang gemar berbuat baik untuk kepentingan orang lain, sedang orang yang berlaku cela cenderung memperalat orang lain untuk kepentingan dirinya. Tentu pilihan ada di tangan kita, mau menjadi apa diri kita. Meskipun mengalami ujian yang sangat berat, kejujuran janganlah menjadi sirna dan mati dalam panggung kehidupan ini. Bahkan terus menjadi pupuk yang akan menyuburkan tanah tandus di padang gersang; termasuk menjadi pupuk yang terus memoles hati nurani manusia yang makin gersang akan kebenaran. Penulis adalah rohaniwan, kini Pendeta GKI Cinere Last modified: 5/8/07