http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/092007/05/0901.htm
Profesionalisme Polisi Oleh DADANG BAINUR NAMA baik Polda Jabar sedang tercoreng oleh adanya serangkaian perbuatan tercela anggotanya di lapangan, khususnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan senjata api. Kasus paling anyar adalah penembakan secara sengaja oleh Bripka SW, oknum Intelpam Polres Bogor terhadap Niasari, siswi SMP di Bojonggede, Bogor, hingga tewas. Menurut Kapolda Jabar, Irjen Pol. Sunarko, penembakan itu dilakukan karena Niasari menolak dicabuli oleh Bripka SW. (PR, 1/9/07). Khusus menanggapi kasus ini, seorang rekan penulis, perwira menengah di Pusdik Intelpam Polri, berkomentar, dunia kepolisian memang sedang mengalami multikrisis, terutama krisis nilai moral. Akibatnya, banyak anggota Polri yang lupa pada tugas pokok sesungguhnya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Mereka kelihatan "goblok" dengan wewenang yang diembannya. Itulah sebabnya, para pakar perlu melakukan kajian psikologi komunikasi terhadap seringnya terjadi kasus seperti ini. Belum sebulan berselang, di wilayah Polda Jabar terjadi sekurang-kurangnya dua peristiwa peluru nyasar yang dimuntahkan dari senjata polisi dan memakan korban masyarakat sipil tak berdosa. Korbannya bukan hanya luka-luka tetapi juga meninggal dunia. Dua kejadian terakhir yang berdekatan waktunya terjadi di wilayah Bandung. Yang pertama terjadi Senin 13 Agustus 2007 dengan korban tewas Rahmat Nugraha (45), di Jalan Terusan Kiaracondong, Bandung, sekitar pukul 23.00. Rahmat tewas bersimbah darah akibat tertembak peluru nyasar, ketika ia sedang menaiki sepeda motor dalam perjalanan pulang. Peristiwa peluru nyasar yang kedua hanya berselang 5 hari yakni terjadi Sabtu 18 Agustus 2007 di arena pesta dangdut di Desa Cimekar Kec. Cileunyi Kab. Bandung. Korbannya 2 orang warga setempat yakni Eneng Cantrika (33) yang lehernya terserempet peluru dan Muchsin, yang luka di pipi kiri akibat diserempet peluru. Pelakunya Bripka Z yang mencoba melerai keributan tersebut. Selain itu, ada dua kasus terdahulu terjadi di Bogor dan Cianjur juga memakan korban, serta beberapa kasus peluru nyasar lainnya di Jawa Timur dan luar Jawa. Akan tetapi tindakan pimpinan Polri terhadap anggotanya yang nyata-nyata menyebabkan masyarakat sipil tak berdosa itu luka-luka dan tewas, belumlah memuaskan. Selalu saja ada muatan pembelaan internal Polri bahwa anggota yang memuntahkan peluru nyasar itu sudah menempuh prosedur yang benar ketika menangani tindak kejahatan atau kerusuhan. Kalau ada peluru "nyasar" berarti bukan sengaja diarahkan kepada masyarakat. Semata-mata karena keteledoran. Hukuman yang dijatuhkan baru sampai tahap penahanan di tingkat Provost atau Propam (hukuman indisipliner). Belum sampai pada tingkat proses hukum lewat mahkamah terbuka sehingga menjadi terbuka pula ke hadapan publik. Padahal kita menghendaki, setiap peluru yang dimuntahkan dari moncong senjata anggota Polri harus dipertanggungjawabkan oleh anggota polisi tersebut. Dalam kasus kebrutalan dan ketidakdisiplinan dalam menggunakan senjata api, timbul tuduhan dari masyarakat bahwa anggota Polri di lapangan masih banyak yang tidak profesional. Mantan Kapolri (1991-1993), Jenderal (Purn.) Kunarto, berpendapat, masyarakat sering kali menganggap bahwa anggota Polri yang berbaju seragam kepolisian adalah polisi yang profesional di bidang kepolisian. Dengan demikian, kalau masyarakat melihat tingkah laku polisi yang negatif, misalnya saja menangkap dan memeriksa tersangka dengan memukulnya, melakukan pungli - bahkan salah tembak atau peluru polisi nyasar, langsung dicap bahwa polisi tersebut tidak profesional. Padahal, menurut Kunarto, kelakuan polisi seperti itu tidak pernah diajarkan di pendidikan Polri. "Jenis perbuatan itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang berstatus preman, centeng dan jagoan-jagoan lainnya," kata Kunarto. Di kalangan Kepolisian Indonesia ada dikotomi. Para perwira lulusan Akpol, PTIK, Sespim, bahkan Sespati, sudah pantas/memenuhi syarat untuk disebut profesional. Akan tetapi para bintara, bahkan lulusan Secapa sekalipun, masih dianggap belum profesional melainkan baru berstatus "ahli". Salah satu alasannya, konon, karena mereka bukan sarjana dan ilmu yang mereka terima selama pendidikan, belumlah memenuhi syarat untuk disebut profesional. Inilah yang pada akhirnya mengaburkan pengertian "profesional" bagi kepolisian kita. Menurut Legged an Exley (1975), profesionalisme adalah keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis. Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan kemampuannya diakui oleh rekan sejawatnya. Para profesional tergabung dalam organisasi profesi yang menjamin berlangsungnya budaya profesi melalui persyaratan untuk memasuki organisasi itu dan memiliki Kode Etik Profesi. Benar, makin tinggi pendidikan polisi maka diharapkan semakin profesional. Akan tetapi di tingkat bawahan, profesional polisi kita masih perlu dibenahi. Faktanya, polisi hampir setiap saat menghadapi kekerasan dan kebrutalan. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Bahkan terhadap keluarga sendiri mereka keras. Itulah sebabnya, anak-anak polisi yang dulu tidurnya di kolong-kolong rumah sehingga disebut "anak kolong", rata-rata pasti dikenal nakalnya. Karena dia dicetak oleh keluarga yang keras. Untuk menutupi ketidakprofesionalannya serta membedaki kejiwaannya yang terbiasa keras, oknum-oknum polisi banyak bersikap cuek atau arogan pada kesusahan orang lain/masyarakat. Padahal, setiap orang yang datang ke polisi adalah orang yang bermasalah yang perlu pertolongan. Untuk mewujudkan polisi yang profesional, khususnya pada pangkat bawahan, memang tidaklah mudah karena semua variabel positif dalam kehidupan ini harus dikelola dengan manajemen yang baik. Pendidikan bagi polisi sungguh penting karena memberi ilmu dan pengetahuan untuk mempengaruhi dan membentuk sikap serta memberikan keterampilan. Jenderal Kunarto bahkan menekankan bahwa sangatlah penting membentuk sikap polisi. Sikap yang dimaksudkan adalah sikap untuk melakukan kegiatan yang baik, sendiri maupun bersama-sama. Suatu tindakan bisa dikatagorikan profesional apabila tindakan itu dilandasi oleh keahlian tertentu yang diperoleh dari pendidikan khusus dan dilaksanakan dengan memenuhi Kode Etik Profesi. Kerancuan pola pikir ini sering membuat seseorang tak bisa membedakan antara pekerjaan dan profesi. Ada analogi tukang batu dengan insinyur ketika membuat sebuah jembatan. Insinyur melakukan profesinya membangun jembatan itu mulai dari merencanakan, menyiapkan mengendalikan sampai jembatan itu siap pakai. Adapun tukang batu, hanya seorang "ahli" yang bekerja menyiapkan material batu saja dan memasangnya. Dari analogi ini, bisa ditarik kesimpulan apakah Polri sudah banyak mencetak "insinyur jembatan" seperti itu atau baru sampai pada tahapan "tukang batu" atau hanya seorang "ahli"? Jika polisi melepaskan tembakan tanpa memperhitungkan dampaknya -- apalagi sampai menewaskan masyarakat sipil yang tidak berdosa dengan peluru nyasarnya - berarti polisi itu hanyalah "ahli" menembak. Ia jelas-jelas tidak profesional. Apalagi, dalam kasus Bripka SW yang sengaja menembak siswi SMP, Niasari, kita sependapat dengan Jenderal (Purn.) Kunarto bahwa Bripka SW bukanlah polisi melainkan "polisi preman" yang sama sekali jauh dari profesional. Setidaknya ada dua kendala serius yang menghadang profesionalisme polisi yaitu : Lemah dalam penguasaan teknis khas kepolisian (salah tembak, salah tangkap, peluru nyasar, penyiksaan untuk mengorek pengakuan) dan lemah dalam manajerial. Keduanya merupakan prasarat penting dalam operasionalisasi kepolisian modern sesuai dengan tuntutan masyarakat modern masa kini. Manajerial amat berkaitan dengan penempatan komandan di tingkat Polsek sebagai ujung tombak operasional polisi. Patut dipikirkan bahwa Kapolsek haruslah berijazah sarjana atau sekurang-kurangnya D-3. Tingkat pendidikan sangat memengaruhi kemampuan manajerial, termasuk ketajaman dan kepekaan menganalisis permasalahan serta mengambil keputusan. Di tingkat Polsek di luar Polda Metro Jaya, tidak sedikit Kapolsek yang berjalan sendirian tanpa ada masukan dari anak buahnya yang kebanyakan lulusan SMA/SLTA yang berpangkat brigadir. Hal ini mengakibatkan sistem manajerial Kapolsek tak bisa mengembangkan juknis-juknis yang diturunkan dari tingkat Polres maupun Polda. Pada tahun 1990-an, pimpinan Polri pernah berusaha mengangkat profesionalisme dengan menyekolahkan perwira-perwira Polri yang berwawasan masa depan, ke luar negeri. Tetapi yang betul-betul tertarik sekolah di Amerika ketika itu, hanya seorang yakni Kolonel/Kombes (Pol.) Drs. M. Farouk. Ia mampu menyelesaikan program M.A. hanya 1 tahun dari 2 tahun yang dijadwalkan. Kendala berikutnya yang menghambat profesionalisasi Polri adalah soal rekrutmen atau penerimaan anggota Polri. Ketika Jenderal Kunarto menjabat Kapolri, ia sempat mempermasalahkan rendahnya kesadaran dan tanggung jawab anggota polisi yang berdinas di lingkungan pembinaan personel. "Jarang sekali polisi yang bertugas di bidang pembinaan personel yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi pada masa depan Polri. Karenanya waktu saya jadi Kapolri, orang intel saya tugasi sebagai Direktur Personalia. Saya sendiri secara diam-diam memantau kegiatan rekrutmen. Termasuk tes Secaba, Secapa dan PTIK, Sespim dan Sesko. Biar adil, lakukan ujian yang benar. Yang berprestasi baik harus mendapat kesempatan yang lebih juga," kata Kunarto. Ada sebuah pendapat Kunarto yang patut menjadi landasan tugas polisi. Profesionalisme kepolisian sudah mati-matian diterapkan. Bahkan Polri telah bekerja sama dengan pemerintah Inggris melalui program Bramshill yang hasilnya sudah meluas. "Namun ada kelemahan pokok yakni, kita tahu ilmunya, tahu kegunaan dan manfaatnya, tetapi tidak tahu cara terbaik mengaplikasikannya," ujar Kunarto. Inilah yang menyebabkan seorang polisi di lapangan sering lupa pada tugas pokoknya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. "Suksesku Adalah Senyummu" terkesan hanya jadi tulisan di setiap kantor polisi.*** Penulis, wartawan senior "Pikiran Rakyat". Pengajar tidak tetap pada salah satu Pusdik Polri