Refleksi: Cerita patung Bamiyan mau dimainkan di Bali?

http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/9/5/bd2.htm


Meningkatkan Kewaspadaan di Pura Bakungan 

 
Latar belakang keberadaan Pura Bakungan di Desa Gilimanuk Kecamatan Melaya 
Kabupaten Jembrana patut dijadikan renungan untuk menatap masa depan yang lebih 
waspada dalam hidup ini. Akibat kecurigaan I Gusti Ngurah Pecangakan atas 
undangan adiknya, dia berpesan yang salah kepada patihnya. Seandainya I Gusti 
Ngurah Pecangakan tidak mudah curiga pada undangan adiknya, atau menyelidikan 
terlebih dahulu apa maksudnya I Gusti Ngurah Bakungan mengundang, mungkin 
peristiwa yang menyedihkan itu tidak akan terjadi. Mengapa sejarah Pura 
Bakungan ini perlu diungkap lagi? Pelajaran apa yang kita dapat di balik Pura 
Bakungan itu?
==================================================== 
Dalam kehidupan bermasyarakat banyak terjadi permusuhan atau kesalahpahaman 
karena kekurangwaspadaan menerima informasi. Jangankan informasi itu bersifat 
lisan, yang tertulis pun perlu dianalisis dan direnungkan terlebih dahulu 
sebelum mengambil kesimpulan. Ketidakwaspadaan I Gusti Ngurah Pecangakan 
disertai juga ketidakhati-hatian I Gusti Ngurah Pancoran sebagai Manca Agung 
menerima pesan dan melihat kenyataan. 


Pesan I Gusti Ngurah Pecangakan dan kenyataannya ada kuda berdarah-darah tidak 
dianalisis dengan logika dan diadakan pengecekan pada pesan yang kenyataan 
tersebut. Menetapkan suatu keputusan dan memberikan pesan kepada kerabat 
kerajaan I Gusti Ngurah Pecangakan tidak melalui proses analisis yang memadai. 
Hanya berdasarkan kecurigaan. Padahal keputusan tersebut amat strategis karena 
menentukan nasib sebuah kerajaan. 


Demikian juga I Gusti Ngurah Pancoran sebagai Manca Agung saat memutuskan bahwa 
kuda yang berdarah-darah itu sudah pasti darah kakaknya, tidak melalui proses 
analisis. Padahal keputusan itu sebelum ditetapkan seyogianya melalui analisis. 
Sejauh mana keadaan kuda yang belepotan darah. Apa tidak sebaiknya dijajaji 
dahulu keberadaan I Gusti Ngurah Pecangakan apa memang sudah mati dalam 
pertempuran atau tidak. Hal inilah yang tidak dilakukan. Semuanya lalai tidak 
waspada, akibatnya dua bersaudara menjadi bermusuhan dan dua kerajaan hancur 
berantakan. 


Kelalaian inilah yang patut direnungkan sebagai latar belakang keberadaan Pura 
Bakungan. Meskipun hal ini sebagai pengalaman buruk, namun dari pengalaman itu 
dapat dipetik hikmahnya agar jangan terulang pada diri kita maupun generasi 
seterusnya.

Untuk mengambil suatu keputusan dalam hidup ini memang ada hal-hal yang wajib 
kita lakukan sebelumnya. Lebih-lebih di Bali yang keberadaan daerahnya sempit, 
namun banyak hal yang memuat orang tertarik pada Bali. Ibarat wanita cantik 
banyak pemuda yang menaruh hati padanya. Dalam menetapkan suatu kebijakan, 
apalagi yang menyangkut nasib Bali ke depan wajib kita analisis dengan 
sebaik-baiknya. Kalau salah cara menetapkan suatu kebijakan umat manusia bisa 
kehilangan Bali yang sebenarnya. 


Untuk mengambil suatu keputusan Resi Patanjali menyatakan ada lima tahapan yang 
wajib dilakukan yakni Tarka artinya segala sesuatunya wajib diperdebatkan 
terlebih dahulu. Di Bali ada istilah ruang musuhin. Maksudnya segala sesuatu 
sebelum diambil keputusan wajib dilihat apa baiknya dan apa juga buruknya. 
Menyangkut ajaran Tarka ini hendaknya tidak disamakan dengan bertengkar. 
Nirwitarka maksudnya adalah setelah diperdebatkan, maka hasil perdebatan itu 
direnungkan kembali. 


Sawicara artinya hasil renungan tersebut lebih lanjut dianalisis dengan 
secermat mungkin. Selanjutnya Nirwicara artinya hasil analisis itu kembali 
direnungkan juga secara mendalam. Tahap akhir barulah Samanta, artinya diambil 
keputusan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Lima tahapan itulah yang 
semestinya dilakukan dalam mengambil suatu keputusan, lebih-lebih menyangkut 
hal-hal yang mengandung risiko besar, apalagi menyangkut kepentingan orang 
banyak.

Dalam Lontar Siwa Budhagama Tattwa ada juga ajaran untuk mengambil suatu 
keputusan dengan melakukan lima tahapan yaitu Maya, Upeksa, Indrajala, Wikrama 
dan Lokika. Maya artinya segala sesuatu data yang masih kabur hendaknya dibuat 
jelas. Atau tahapan pengumpulan data. Upeksa artinya data yang sudah jelas itu 
dianalisis dengan cermat. Indrajala artinya hendaknya dari data yang telah 
teranalisis itu diambil beberapa kesimpulan untuk dianalisis kembali berbagai 
segi positif dan negatifnya. Wikrama artinya bertindak. 

Salah satu dari beberapa kesimpulan dalam proses Indrajala itu harus ditetapkan 
untuk dilaksanakan. Selanjutnya  dilaksanakan dan diyakini paling sedikit segi 
negatifnya berdasarkan hasil analisis tersebut. Lokika artinya dalam bertindak 
melaksanakan keputusan yang ditetapkan itu hendaknya selalu berdasarkan 
pertimbangan logika atau akal sehat.

Demikian beberapa konsep pemikiran dalam Susastra Hindu yang wajib kita 
renungkan dalam setiap mengambil keputusan, apalagi menyangkut hal-hal yang 
mengandung risiko besar dan dampak sosialnya yang luas.

Keberadaan Pura Bakungan dapat dijadikan media untuk membangun kewaspadaan diri 
dan sosial dalam menata berbagai aspek kehidupan. Di samping itu dua bersaudara 
yaitu I Gusti Ngurah Pecangakan dan adiknya I Gusti Ngurah Bakungan setelah 
perang tanding sama-sama menyadari kelalaiannya sebagai pemimpin. Kesadaran 
akan kelalaiannya itu menyebabkan dua kerajaan menjadi bermusuhan dan 
menyebabkan penderitaan rakyat. 

Kesadaran itu menyebabkan dua bersaudara itu mohon agar Dewata mem-pralina 
dirinya. Hal itu sebagai rasa tanggung jawab atas kesalahannya. Hal itu sebagai 
sifat kesatria, seperti kebiasaan pemimpin di Jepang mundur diri kalau merasa 
gagal. Ini maksudnya untuk memberi kesempatan kepada orang lain demi 
kepentingan orang banyak. 
Sifat kesatria seperti itu perlu direnungkan agar jangan pemimpin yang jelas 
sudah gagal tetap memaksakan diri bercokol menjadi pemimpin hanya untuk 
mendapatkan fasilitas hidup enak. Permohonan dua bersaudara I Gusti Ngurah 
Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan itu bukanlah suatu kekonyolan, tetapi 
suatu penyerahan diri kepada Hyang Widhi atas kelalaiannya untuk mendapatkan 
perbaikan. 


Ke depan sifat kesatria seperti itu tentunya tidak mesti diwujudkan dengan cara 
bunuh diri. Akan lebih indah dengan mundur diri kalau memang sudah nyata-nyata 
gagal sebagai pemimpin. * wiana

Kirim email ke