http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=142049

Selasa, 4 September 2007


Anda Lebih Cerdas daripada yang Diduga
Oleh P. Adrianus*



TAHU tidak? Kamu itu lebih cerdas daripada yang kamu duga!. Cerdas itu lebih 
dari sekedar meraih peringkat yang baik serta nilai ujian yang baik di sekolah. 
Cerdas itu lebih dari sekedar pandai membaca, cepat memecahkan soal matematika 
dan menghafal. Cerdas itu lebih dari sekedar mempunyai Intellingence Quotient 
(IQ) tinggi. 

Psikolog (baca; sikolog) bernama Dr. Howard Gardner memelajari bagaimana 
anak-anak serta orang dewasa belajar. Ia menemukan ternyata ada berbagai 
indikator kecerdasan. Umpamanya, kamu bisa Cerdas dalam musik, bisa Cerdas 
Memahami Sesama dan bahkan bisa Cerdas Memahami Alam. Teori itu disebut oleh 
Dr. Howard Gardner sebagai Teori Multipel Intelijensi. 

Dua pragraf di atas dituangkan Interaksara mengakhiri kupasan buku 'Kamu itu 
Lebih Cerdas daripada yang Kamu Duga' yang ditulis oleh Thomas Armstrong, Ph. D 
dengan judul buku aslinya 'You're Smarter Than You Think'. Dengan teori ini 
Gardner mulai mengubah bagaimana para guru mengajar di sekolah-sekolah di 
seluruh dunia. 

Dr. Howard Gardner menemukan paling tidak 9 (sembilan) macam kecerdasan, yaitu 
kecerdasan bahasa, kecerdasan musik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan 
ruang, kecerdasan tubuh-kinestetik, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan 
intrapribadi, kecerdasan naturalis dan eksistensial (Armstrong, 2004). 

Mencoba menarik benang merah (baca; merefleksikan) tiga paragraf di atas, 
beberapa pertanyaan muncul dalam benak penulis. Apakah kita masih berpegang 
teguh bahwa hanya dengan mengandalkan satu macam kecerdasan saja kita akan 
sukses dalam pertarungan hidup ini? Apakah orang tua akan marah kalau anaknya 
yang rajin belajar lalu ditambahnya rajin berolahraga atau bernyanyi/latihan 
band? Apakah sekolah perlu mengembangkan pendidikan yang membelajarkan sembilan 
macam kecerdasan tersebut? Bagaimana sikap kita, terlebih sebagai pendidik, 
terhadap kenyataan bahwa ternyata kecerdasan bukan hanya logis-matematis dan 
bahasa? Apakah perlu kita mengembangkan kecerdasan lain di luar kecerdasan 
logis-matematis dan bahasa? 

Ada banyak orang yang beranggapan bahwa mengetahui IQ melalui tes IQ merupakan 
cara yang terbaik untuk menakar kecerdasan seseorang. Tes IQ untuk menentukan 
tingkat kecerdasan seseorang telah digunakan paling tidak selama 100 tahun 
terakhir. Yang dilakukan saat tes IQ yaitu memecahkan soal-soal matematika, 
mendefinisikan kata-kata, menciptakan rancangan-rancangan, mengulang 
angka-angka dalam ingatan dan menyelesaikan tugas-tugas lainnya. 

Padahal, tes IQ tidak sesempurna orang yang di tes IQ tersebut. Mengapa? Karena 
1) banyak sekali kecerdasan yang belum dikenali oleh tes IQ, 2) tes IQ tidak 
dapat meramalkan apa pekerjaan yang cocok setelah besar nanti, 3) tes IQ tidak 
dapat meramalkan ketercapaian cita-cita, 4) tes IQ hanya memerhatikan bagian 
besar dari kepandaian bidang kata-kata atau angka-angka dan 5) tes IQ 
mengabaikan kecerdasan lainnya, seperti musik, seni, alam, eksistensi dan 
hubungan antarsesama. 

Menyikapi fakta bahwa terdapat berbagai macam kecerdasan tersebut, maka sekolah 
sebenarnya telah menjangkau hal ini, buktinya bahwa terdapat beragam pelajaran 
yang disuguhkan untuk murid. Paul Suparno dalam bukunya "Teori Inteligensi 
Ganda dan Aplikasinya di Sekolah", menyebutkan bahwa untuk mengajarkan 
kecerdaan bahasa terdapat pada Bahasa, IPS, Sejarah, Agama dan Pendidikan 
Kewarganegaraan. 

Untuk membelajar Matematis-Logis terdapat pada Matematika, IPA dan Ekonomi. 
Membelajarkan murid akan kecerdasan ruang ada pelajaran menggambar. Untuk 
meninggikan kecerdasan tubuh-kinestetis pada pendidikan jasmani olahraga dan 
kesehatan. Meninggikan kecerdasan musikal murid ada Seni Budaya. Untuk mengasah 
kecerdasan lingkungan terdapat mata pelajaran Biologi. Untuk menajamkan 
kecerdasan intrapribadi, interpribadi dan eksistensial terdapat pengembangan 
diri. Jadi, sebenarnya sekolah formal sudah melaksanakan pembelajaran multiple 
intelijensi ini. 

Permasalahan yang terjadi adalah kadang kita kurang menyadari hal ini. 
Menganggap pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika dan IPA 
yang lebih penting, tinibang pelajaran di luar itu. Mengapa? Ada banyak alasan, 
misalnya untuk menyiapkan murid menghadapi ujian nasional. Akhirnya, anak yang 
tadinya mencintai pelajaran olahraga (karena cita-citanya ingin menjadi atlet) 
atau yang suka latihan band/suka karaokean di rumah disela-sela kerajinannya 
belajar, eh malah dimarahi/diomelin oleh orang tuanya. 

"Ngapain lu suka latihan band/karaokean atau sering latihan 
basket/voli/olahraga lainnya, kan itu tidak menjamin masa depanmu, mendingan 
kamu les bahasa Inggris, Matematika, Kimia, Fisika atau Ekonomi". "Gih pergi 
les, cepat-cepat!!!". "Ngapain sih piano, gitar, nyanyi pake les segala?". 
"Ndak ada gunanya tu". Pelajaran itu kan tidak di-UN-kan!. "Ntar tidak lulus 
ujian ibu/bapak yang malu". Itulah sederetan celotehan ibu/bapak melihat 
anaknya tidak mau pergi les. Celoteh ibu/bapak tersebut mencerminkan terjadinya 
paradoks terhadap kecerdasan anak (murid). 

Hemat penulis, sikap kita sebagai orang tua, yaitu memberikan bimbingan yang 
toleran terhadap anak, biarkan dia berkembang dengan bakat/talentanya. Tugas 
orang tua adalah memberikan arahan, pertimbangan baik/buruk suatu kegiatan dan 
memberikan peringatan jika si anak sudah berada di luar jalur 'rel' 
sesungguhnya. 

Lalu, tugas guru di sekolah, yaitu guru/staff dan yang lainnya, berikanlah 
pengertian yang cukup, penjelasan yang maksimal dan dampingan intensif kepada 
muridnya. Ingatkan bahwa manusia itu unik yang memiliki banyak kecerdasan. 
Murid sebenarnya dapat mempelajari semua pelajaran dengan baik. Cuman, caranya 
yang perlu dikatahui. Sudah selayaknya sekolah membimbing murid mengenai 
bagaimana mempelajari sesuatu. Guru dapat meracik pembelajaran yang menyentuh 
kedirian setiap murid dan menjangkau semua kecerdasan dominan, agar setiap 
potensi kecerdasan ditinggikan semuanya. Sadarkan murid bahwa tidak ada satupun 
orang/murid/anak yang bodoh alias semuanya cerdas. 

Libatkan mereka dalam pembelajaran (gunakan aroma pembelajaran 
konstruktivisme), gali sebanyak mungkin informasi dari murid, gunakan mereka 
sebagai sumber belajar, jadikan murid sebagai 'guru' bagi murid yang lainnya, 
sehingga kita mempertegas peran kita adalah sebagai guru (master) sekaligus 
fasilitator dan mediator pembelajaran. Guru di kelas diharapkan dapat 
menciptakan suasanan pembelajaran yang menyenangkan, inpiratif, inovatif, 
komunikatif dan memberdayakan murid. Angkat setinggi-tingginya kecerdasan 
majemuk murid agar mereka sanggup menyongsong tantangan (misalnya Ulangan, 
Ujian Sekolah/Nasional) kini, esok maupun kelak ketika mereka sudah berada di 
masyarakat. 

Akhirnya, untuk menjangkau semua itu, penulis kira perlu dibangun sebuah 
networking (arti; jejaring) antarstakeholders pendidian, bangun komunikasi yang 
inten, terus-menerus. Guru di sekolah perlu dukungan orang tua. Mari membangun 
sebuah network pendidikan baik komunikasi antara guru-murid-orang tua, sehingga 
murid juga merasa didukung sepenuhnya oleh semua orang. Itu semua bermuara pada 
dtinggikannya, ditingkatkannya, dinaikkan setinggi-tingginya kecerdasan setiap 
anak (murid). 



*) Penulis Kepala SMP dan Guru SMA Santo Fransiskus Assisi dan, 

Dosen Akper Dharma Insan, Pontianak 

Kirim email ke