Lisya Anggraini: Lagu Kebangsaan
  http://16j42.multiply.com/reviews/
   
             
    
    
    

   
             
       
  Http://batampos.co.id/
   
   
  Lagu Kebangsaan
   
   
  Oleh: Lisya Anggraini
   
   
   
  Sekali pun sudah basah kuyup disiram satu ember air oleh kakak senior, 
seorang mahasiswa tahun pertama itu, tetap tidak bisa memenuhi permintaan 
seniornya. Ia hanya mampu menyanyikan Indonesia Raya sampai pada pertengahan 
lagu saja dan stop. Ia tidak benar-benar ingat lagi. Makanya ia tergagap. Meski 
pun beberapa mata teman-teman  menatap mahasiswa asal Tanjung Uma, Batam itu, 
dengan beragam makna.

Cerita di atas, bukan fiksi melainkan kejadian, tepatnya  lebih dari 20 tahun 
lalu di sebuah kampus Pekanbaru. 

Kini, kejadian bermakna serupa ternyata juga terulang pada anak-anak sekolah 
dan Kepulauan Riau. Seorang anggota DPRD Kepri, menceritakan dengan perasaan 
prihatin, tentang anak-anak sekolah menengah dan sekolah dasar di Natuna dan 
beberapa daerah Kepulauan Riau juga tak mampu menyanyikan lagu Indonesia Raya, 
hingga tuntas.

Mengejutkan lagi, teman saya di masa awal perkuliahan 20 tahun itu, justru 
mampu menyanyikan “Majulah Singapura” secara tuntas. Meskipun bias saja 
terulang hal serupa pada anak-anak sekarang ini. Karena Majulah Singapura 
sering didengar dari televise yang ditonton mereka.


Prihatin? Ya wajar sekali. Karena lagu Indonesia Raya, yang belakangan ini 
menjadi perbincangan hangat dengan temuan ahli telematika Roy Suryo dengan 
versi berbeda, adalah lagu kebangsaan. Yang mestinya tak hanya hafal untuk 
dinyanyikan tapi diresapi maknanya. Meski pun lagu itu tidak semelankolis 
Dealova dari Once, atau Kenangan Terindah dari Samson.

Namun WR Supratman menuliskan bait-bait lagu Indonesia Raya dengan penuh harap, 
makna dari kalimat pada lagu itu,mampu mengobarkan semangat setiap yang 
menyanyikan akan hakikat setiap insane yang mengaku sebangsa ini:

“Marilah kita Indonesia berseru…Indonesia Bersatu
Hiduplah tanahku, hiduplah negeri
Bangsaku rakyatku semuanya…
Bangunlah bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.”


Tentunya ia sama sekali tak berharap hanya sekedar “dinyanyikan” rutinitas 
formil di setiap upara 17 agustus setiap tahun, atau upacara Senin di Sekolah, 
atau pada pengangkatan sumpah jabatan, atau pada pembukaan seremonial lainnya.

Namun, bagaimana makna lagu itu bisa dipahami, jika bila hafal saja tidak? 

Sekalipun memang ukuran pemaknaan rasa kebangsaan tak hanya melulu diukur oleh 
hafal tidaknya lagu kebangsaan. Karena para pejuang yang rela bertempur di masa 
perang dulu mana tahu lagu kebangsaan, toh, kita belum punya kok! Atau para 
pejuang “kemerdekaan” masa kini, sebangsa almarhum Thukul apakah mesti dites 
dulu bisa tidak menyanyikan Indonesia Raya? Semuanya memang relative tak bisa 
diukur oleh satu sisi saja.

Namun, setidaknya untuk mengukur wawasan tentang kebangsaan ini, hafal tidak 
lagu kebanggaan. Meskipun memang selain pengenalan sejarah bangsa kita. Dari 
wawasan kebangsaan pula akan menyumbangkan dan menstimulasi rasa kebangsaan 
yang kuat. 

Lalu, apa yang melatari keadaan sedemikian? Indah tidaknya lagu kah? Namun 
sejauh mana pengukuran keindahan sebuah lagu selain dari makna yang 
dikandungnya? Apalagi maknanya justru menjadi pengobar semangat juang bangsa!

Tentu saja  dari berbagai sebab yang melatarinya, informasi yang diterima juga 
menjadi bagiannya. Dari penyerapan informasi, wawasan akan terbangun. Dalam 
kaitan ini media tidak bisa menolak ikut memiliki andil. Media penyiaran 
tepatnya. Mengingat karakter masyarakat kita yang lebih menyukai budaya lisan 
yakni  mendengar dan berbicara kebanding membaca dan menulis ini.

Selain itu memang media penyiaran sangat mudah dipahami apalagi diengkapi 
dengan visual. Sehingga penyampaian nilai akan sangat mudah. Terdengar telinga, 
terpandang mata, terserap di hati dan pikiran. Apalagi disampaikan terus 
menerus, nilai yang disampaikan akan terbentuk dan tak jarang mengkristal. 
Karena itu pula media dipahami tidak, saja mampu membentuk opini public juga 
membentuk pola piker, apalagi wawasan.

Mari kita melirik bagaimana realitas perkembangan asupan infromasi yang 
diterima oleh masyarakat kita di Kepulauan ini. Di Natuna, hanya ada satu RRI 
sebagai media penyiaran public. Sedangkan televise siaran Jakarta baru bisa 
ditontotn jika memiliki antena parabola, yang harganya lumayan merogoh kocek.  
Namun, siaran televise Singapura maupun Malaysia, sangat mudah mengisi layar 
kaca televise cukup dengan antena sederhana saja. 

Di Lingga? Ah, sama saja. Di Dabo Singkep? Tak jauh beda. Di Karimun? Lumayan 
lah. Namun televise negeri seberang lebih jelas dan jernih di layar kaca 
kebanding siaran televise dari dalam negeri Jakarta. Dan belakangan ini 
sayup-sayup siaran televise local mulai menghiasi layar kaca televise di sana.

Di Tanjungpinang dan Batam, segala siaran bisa dinikmati. Chanel televise dari 
Jakarta, juga televisi local. Namun, siaran televise seberang ternyata jauh 
lebih menggaet pemirsa. Karena sajian yang lebih actual, menarik, dan berisi 
serta lebih jernih di layar kaca kebanding televise local, maupun televise anak 
negeri dari Jakarta.

Dari asupan informasi didominasi oleh ‘negeri seberang’ tentu sajalah kita-kita 
di kepulauan ini lebih mengenal Singapura dan Indonesia kebanding Indonesia 
sendiri. Begitu pula lagu kebangsaan yang hanya sesekali di dengar bagi anak 
sekolah. Apalagi bagi yang bukan anak sekolah? Atau yang bukan bersentuhan 
dengan acara formal.  
Sedangkan lagu kebangsaan negeri seberang sering didengar setiap tayangan 
televise berakhir, atau lewat jingle iklan televise seberang. 

Pekerjaan besar memang bagi setiap kita. Mari kita cek anak-anak di rumah, 
apakah menjadi bagian dari yang tak hafal lagu kebangsaan? Atau malah diri 
sendiri? Iya, mari kita mengacar diri.***
  
 


       
---------------------------------
 Ne gardez plus qu'une seule adresse mail ! Copiez vos mails vers Yahoo! Mail 

Kirim email ke