Mudah2an penulis artikel ini juga hafal lagu Indonesia Raya, tidak 
seperti yang dikutip dalam artikel tsb:

Namun WR Supratman menuliskan bait-bait lagu Indonesia Raya dengan 
penuh harap, makna dari kalimat pada lagu itu,mampu mengobarkan 
semangat setiap yang menyanyikan akan hakikat setiap insane yang 
mengaku sebangsa ini:

“Marilah kita Indonesia berseru…Indonesia Bersatu
Hiduplah tanahku, hiduplah negeri
Bangsaku rakyatku semuanya…
Bangunlah bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.”


--------------------------------
Naskah Lisya Anggraini: Lagu Kebangsaan
Posted by: "abdul kohar ibrahim" [EMAIL PROTECTED] kohar_be
Date: Mon Sep 10, 2007 12:15 pm ((PDT))

Lisya Anggraini: Lagu Kebangsaan
  http://16j42.multiply.com/reviews/
 Http://batampos.co.id/
   
   
  Lagu Kebangsaan
   
   
  Oleh: Lisya Anggraini
   
   
   
  Sekali pun sudah basah kuyup disiram satu ember air oleh kakak 
senior, seorang mahasiswa tahun pertama itu, tetap tidak bisa memenuhi 
permintaan seniornya. Ia hanya mampu menyanyikan Indonesia Raya sampai 
pada pertengahan lagu saja dan stop. Ia tidak benar-benar ingat lagi. 
Makanya ia tergagap. Meski pun beberapa mata teman-teman  menatap 
mahasiswa asal Tanjung Uma, Batam itu, dengan beragam makna.

Cerita di atas, bukan fiksi melainkan kejadian, tepatnya  lebih dari 
20 tahun lalu di sebuah kampus Pekanbaru. 

Kini, kejadian bermakna serupa ternyata juga terulang pada anak-anak 
sekolah dan Kepulauan Riau. Seorang anggota DPRD Kepri, menceritakan 
dengan perasaan prihatin, tentang anak-anak sekolah menengah dan 
sekolah dasar di Natuna dan beberapa daerah Kepulauan Riau juga tak 
mampu menyanyikan lagu Indonesia Raya, hingga tuntas.

Mengejutkan lagi, teman saya di masa awal perkuliahan 20 tahun itu, 
justru mampu menyanyikan “Majulah Singapura” secara tuntas. Meskipun 
bias saja terulang hal serupa pada anak-anak sekarang ini. Karena 
Majulah Singapura sering didengar dari televise yang ditonton mereka.


Prihatin? Ya wajar sekali. Karena lagu Indonesia Raya, yang belakangan 
ini menjadi perbincangan hangat dengan temuan ahli telematika Roy Suryo 
dengan versi berbeda, adalah lagu kebangsaan. Yang mestinya tak hanya 
hafal untuk dinyanyikan tapi diresapi maknanya. Meski pun lagu itu 
tidak semelankolis Dealova dari Once, atau Kenangan Terindah dari 
Samson.

Namun WR Supratman menuliskan bait-bait lagu Indonesia Raya dengan 
penuh harap, makna dari kalimat pada lagu itu,mampu mengobarkan 
semangat setiap yang menyanyikan akan hakikat setiap insane yang 
mengaku sebangsa ini:

“Marilah kita Indonesia berseru…Indonesia Bersatu
Hiduplah tanahku, hiduplah negeri
Bangsaku rakyatku semuanya…
Bangunlah bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.”


Tentunya ia sama sekali tak berharap hanya sekedar “dinyanyikan” 
rutinitas formil di setiap upara 17 agustus setiap tahun, atau upacara 
Senin di Sekolah, atau pada pengangkatan sumpah jabatan, atau pada 
pembukaan seremonial lainnya.

Namun, bagaimana makna lagu itu bisa dipahami, jika bila hafal saja 
tidak? 

Sekalipun memang ukuran pemaknaan rasa kebangsaan tak hanya melulu 
diukur oleh hafal tidaknya lagu kebangsaan. Karena para pejuang yang 
rela bertempur di masa perang dulu mana tahu lagu kebangsaan, toh, kita 
belum punya kok! Atau para pejuang “kemerdekaan” masa kini, sebangsa 
almarhum Thukul apakah mesti dites dulu bisa tidak menyanyikan 
Indonesia Raya? Semuanya memang relative tak bisa diukur oleh satu sisi 
saja.

Namun, setidaknya untuk mengukur wawasan tentang kebangsaan ini, hafal 
tidak lagu kebanggaan. Meskipun memang selain pengenalan sejarah bangsa 
kita. Dari wawasan kebangsaan pula akan menyumbangkan dan menstimulasi 
rasa kebangsaan yang kuat. 

Lalu, apa yang melatari keadaan sedemikian? Indah tidaknya lagu kah? 
Namun sejauh mana pengukuran keindahan sebuah lagu selain dari makna 
yang dikandungnya? Apalagi maknanya justru menjadi pengobar semangat 
juang bangsa!

Tentu saja  dari berbagai sebab yang melatarinya, informasi yang 
diterima juga menjadi bagiannya. Dari penyerapan informasi, wawasan 
akan terbangun. Dalam kaitan ini media tidak bisa menolak ikut memiliki 
andil. Media penyiaran tepatnya. Mengingat karakter masyarakat kita 
yang lebih menyukai budaya lisan yakni  mendengar dan berbicara 
kebanding membaca dan menulis ini.

Selain itu memang media penyiaran sangat mudah dipahami apalagi 
diengkapi dengan visual. Sehingga penyampaian nilai akan sangat mudah. 
Terdengar telinga, terpandang mata, terserap di hati dan pikiran. 
Apalagi disampaikan terus menerus, nilai yang disampaikan akan 
terbentuk dan tak jarang mengkristal. Karena itu pula media dipahami 
tidak, saja mampu membentuk opini public juga membentuk pola piker, 
apalagi wawasan.

Mari kita melirik bagaimana realitas perkembangan asupan infromasi 
yang diterima oleh masyarakat kita di Kepulauan ini. Di Natuna, hanya 
ada satu RRI sebagai media penyiaran public. Sedangkan televise siaran 
Jakarta baru bisa ditontotn jika memiliki antena parabola, yang 
harganya lumayan merogoh kocek.  Namun, siaran televise Singapura 
maupun Malaysia, sangat mudah mengisi layar kaca televise cukup dengan 
antena sederhana saja. 

Di Lingga? Ah, sama saja. Di Dabo Singkep? Tak jauh beda. Di Karimun? 
Lumayan lah. Namun televise negeri seberang lebih jelas dan jernih di 
layar kaca kebanding siaran televise dari dalam negeri Jakarta. Dan 
belakangan ini sayup-sayup siaran televise local mulai menghiasi layar 
kaca televise di sana.

Di Tanjungpinang dan Batam, segala siaran bisa dinikmati. Chanel 
televise dari Jakarta, juga televisi local. Namun, siaran televise 
seberang ternyata jauh lebih menggaet pemirsa. Karena sajian yang lebih 
actual, menarik, dan berisi serta lebih jernih di layar kaca kebanding 
televise local, maupun televise anak negeri dari Jakarta.

Dari asupan informasi didominasi oleh ‘negeri seberang’ tentu sajalah 
kita-kita di kepulauan ini lebih mengenal Singapura dan Indonesia 
kebanding Indonesia sendiri. Begitu pula lagu kebangsaan yang hanya 
sesekali di dengar bagi anak sekolah. Apalagi bagi yang bukan anak 
sekolah? Atau yang bukan bersentuhan dengan acara formal.  
Sedangkan lagu kebangsaan negeri seberang sering didengar setiap 
tayangan televise berakhir, atau lewat jingle iklan televise seberang. 

Pekerjaan besar memang bagi setiap kita. Mari kita cek anak-anak di 
rumah, apakah menjadi bagian dari yang tak hafal lagu kebangsaan? Atau 
malah diri sendiri? Iya, mari kita mengacar diri.***

Kirim email ke