Rezim Islamis dan Tragedi Sudan

Oleh Sumanto al Qurtuby
03/09/2007

Konspirasi ini dibangun berdasarkan kepentingan yang saling 
menguntungkan: pemerintah membutuhkan legitimasi agama untuk 
melanggengkan kekuasaan politik yang diraihnya dengan cara-cara 
kotor, sementara bagi kubu Muslim radikal, koalisi dengan pemerintah 
merupakan kesempatan emas untuk menikmati kekuasaan yang mereka 
impikan. 

Suatu saat, sejumlah pengungsi Sudan mengunjungi museum Holocaust di 
Washington, D.C. Di museum ini mereka menyaksikan gunungan sepatu 
yang dikumpulkan dari para korban pembantaian Nazi yang sadis itu. 
Mengomentari peristiwa yang memakan korban jutaan nyawa manusia di 
bawah komando si kecil yang kejam itu, Hitler, salah seorang 
pengungsi berkata: "Perbedaan antara para korban di Sudan dengan 
korban Holocaust adalah kami tidak punya sepatu dan tidak seorang 
pun tahu nama kami." 

Berbeda dari para korban Holocaust (umumnya orang Yahudi dan non-
Aryan) yang bersepatu dan disensus sebelum dipaksa kerja dan 
dibunuh, para korban pembunuhan di Sudan, baik di Sudan Selatan 
maupun di Darfur, memang bertelanjang kaki dan tidak didata lebih 
dahulu. Kisah ini dituturkan Dr. William O. Lowrey, seorang aktivis 
perdamaian Sudan dalam buku yang diedit profesor Harvard Divinity 
School, David Little, Peacemakers in Action: Profiles of Religion in 
Conflict Resolution. 

Menghubungkan peristiwa di Sudan dengan Holocaust di Jerman memang 
agak berlebihan. Tapi bencana kemanusiaan di negara terluas di 
Afrika ini memang sudah sampai pada titik yang sangat 
mengkhawatirkan. Selama lebih dari dua puluh tahun, Sudan dilanda 
peperangan dan kekerasan yang menyebabkan setidaknya 2 juta nyawa 
melayang dan lebih dari empat juta jiwa kehilangan tempat tinggal. 
Mereka mengungsi di hutan-hutan, atau kabur ke negara tetangga, 
terutama Chad, Kenya, Ethiopia, dan Central African Republic. 

Itulah sebabnya Human Rights Watch menyebut Sudan sebagai salah satu 
negara dengan tingkat kejahatan kemanusiaan terburuk di dunia saat 
ini (lihat www.hrw.org). Meski negara berpenduduk mayoritas Islam-
Sunni ini (sekitar 70% dari total 40 juta jiwa) dilanda kekeringan, 
kelaparan, kekerasan dan peperangan sejak negeri ini bebas dari 
pemerintah Inggris tahun 1956, anehnya sejauh ini hampir semua 
negara berpenduduk Muslim terbesar di planet ini tidak peduli akan 
nasib Sudan. 

Standar Ganda

Berbeda dengan kekerasan di Palestina, Irak, Libanon, Afganistan, 
India, Thailand Selatan, Filipina Selatan, dll, yang mendapat 
respons luas dari dunia Muslim internasional, kasus kekerasan, 
peperangan, dan ketidakadilan di Sudan hampir tenggelam atau sengaja 
dilupakan. Itu tampak jelas dari sikap Indonesia sebagai negara 
berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Kaum Muslim di negeri ini 
begitu heroik membela hak-hak rakyat Palestina dari okupasi Israel. 
Kita juga sangat keras memprotes dan mengutuk negara-negara non-
Muslim yang dianggap campur tangan dan menindas penduduk Palestina, 
Irak, Afganistan, Thailand, Filipina, India, dan lainnya. Tapi kita 
menutup mata terhadap kekerasan, kekejaman, dan ketidakadilan yang 
dilakukan rezim Islamis Sudan—juga beberapa negara di Afrika Utara 
dan Timur lain, seperti Somalia, Libya, Ethiopia, Mesir, Uganda, 
dll., yang memperlakukan warga non-Muslim dan minoritas lain secara 
tidak adil. Negara-negara Sunni-Arab juga rajin mengkritik rezim 
Syi'ah Iran, tetapi lupa akan borok-borok di negaranya dan negara-
negara yang dikuasai kekuatan Sunni lain, termasuk Sudan.

Fenomena ini adalah salah satu contoh sikap "standar ganda" yang 
dilakukan umat beragama seperti pernah disinggung Hugh Goddard. 
Kekerasan dan ketidakadilan di Palestina, Thailand, Irak, Mindanao, 
dan lainnya, memang harus dilawan. Tapi kekejaman dan kesewenang-
wenangan di Sudan dan negara-negara berbasis Islam lain yang 
melakukan tindakan tidak manusiawi terhadap warganya juga tidak bisa 
didiamkan! Sudan adalah contoh nyata dari kekerasan yang dilakukan 
rezim Islamis, baik terhadap non-Muslim di Sudan Selatan maupun 
sesama Muslim di Darfur (Sudan Barat). 

Kekerasan yang terjadi di negeri berpenduduk lebih dari 40 juta ini, 
meminjam istilah Johan Galtung, merupakan kombinasi dari physical 
violence seperti perang, pembakaran, pemerkosaan, penganiayaan, dll, 
structural violence yang melibatkan negara dengan segenap perangkat 
militer-politiknya, dan cultural violence dengan antara lain 
menjadikan agama sebagai basis legitimasi kekerasan. Sudan patut 
mendapat perhatian global terutama dari dunia Islam karena negeri 
berbasis Islam ini telah porak-poranda akibat perang, kekerasan, 
kekeringan, AIDS, dan kelaparan yang memilukan! 

Sejarah Konflik

Dimanapun peristiwa kekerasan, peperangan, dan konflik komunal lain, 
memang memiliki akar sejarah yang panjang. Demikian halnya dengan 
Sudan. Sejarah konflik dan kekerasan di negeri yang berbatasan 
dengan Mesir ini bisa dibaca dalam buku The History of Sudan: From 
the Coming of Islam to the Present Day karya Holt & Daly. Disebutkan 
bahwa peristiwa kekerasan demi kekerasan (violent conflicts) di 
Sudan telah terjadi jauh sebelum negeri ini merdeka di tahun 1956. 
Violent conflicts ini berakar kuat pada identitas agama dan etnik, 
selain faktor sosial-ekonomi dan perebutan akses sumber daya alam 
yang melimpah seperti minyak, kayu (timber), hydropower dan aneka 
sumber bahan kerajinan. Identitas agama, kelas sosial, dan etnik, 
juga punya kontribusi penting dalam menyulut konflik dan kekerasan 
di Sudan, seperti ditulis Ann Lesch dalam Sudan: Contested National 
Identities dan Francis Deng dalam War of Visions: Conflict of 
Identities in Sudan. 

Dilihat dari persebaran etnik/suku, populasi Sudan terdiri atas Arab 
(39%), Beja (6%), dan suku-suku lokal Afrika (52%). Sementara dari 
segi agama, dari 40 juta jiwa (sensus 2005), Islam-Sunni menjadi 
kekuatan mayoritas (70%), sisanya kepercayaan lokal (25%), dan 
Kristen (5%). Dari aspek kelas sosial, masyarakat Sudan 
diklasifikasikan ke dalam empat kasta: kelas pertama ditempati warga 
Arab-Muslim-Sunni yang kebanyakan tinggal di ibukota Sudan, 
Khartoum. Kelompok yang jumlahnya sekitar 39% inilah yang mengontrol 
sistem politik dan ekonomi Sudan sejak merdeka. Dengan begitu 
merekalah yang menikmati fasilitas, privileges, dan lezatnya 
kekuasaan di satu sisi, dan yang menjadi sumber utama kekerasan di 
dalam sejarah Sudan modern. Kelas kedua ditempati warga Muslim non-
Arab terutama keturunan Afrika, dan tinggal di Khartoum (Sudan 
Utara). Kelas ketiga diduduki non-Muslim, tetapi tinggal di Sudan 
Utara. Dan kelas buntut ditempati non-Muslim (Kristen dan 
kepercayaan lokal) yang tinggal di Sudan Selatan. 

Sementara itu, dominasi Arab-Islam-Sunni di Sudan sudah terjadi 
sejak lama. Jauh sebelum Islam memiliki pengaruh di kawasan Afrika 
Utara, negeri yang kini bernama Sudan ini dihuni oleh penduduk Nubi 
di Sudan Utara dan berbagai suku di Sudan Selatan. Pengaruh Islam-
Arab di Sudan mulai terjadi sejak abad ke-7 ketika penguasa Muslim 
berhasil menaklukkan Mesir, tetangga Sudan, dan meningkat sejak abad 
ke-16. Sejak itu terjadi perkawinan silang antara orang Arab dan 
wanita lokal yang kemudian membentuk identitas budaya baru di Sudan 
Utara. Kaum imigran Arab maupun keluarga baru hasil perkawinan 
silang ini mengklaim sebagai "keluarga suci pribumi" yang kemudian 
hari menguasai dan mengontrol Sudan baik secara politik, ekonomi, 
dan agama. Itulah keserakahan yang mengantarkan pertikaian dan 
kekerasan panjang antar kelompok agama dan etnik. 

Gagalnya Perjanjian Damai

Perjanjian damai memang sudah diteken baik di Sudan Selatan maupun 
di Darfur. Namun, kekerasan demi kekerasan terus berlanjut karena 
rezim Khartoum sering mengkhianati perjanjian. Peace Agreement yang 
ditandatangani pemerintah pusat dengan kubu pemberontak di Sudan 
Selatan, Sudan People's Liberation Movement (SPLM) juga ternoda oleh 
kematian mendadak dan misterius pemimpin pemberontak, Dr. John 
Garang, pada sebuah kecelakaan helikopter 30 Juli 2005. Kaum 
pemberontak di Sudan Selatan menuduh rezim Khartoum berada di balik 
aksi pembunuhan itu. Kerusuhan pun kembali meledak sehingga 
menyebabkan ribuan orang terbunuh. 

Situasi politik di Selatan juga tidak kunjung mereda karena 
pemerintah pusat Sudan melanggar klausul perjanjian yang antara lain 
berisi pembagian jatah 50% hasil minyak bumi yang dieksplorasi di 
Sudan Selatan untuk kemakmuran warga di sana. Minyak memang menjadi 
andalan sumber kekayaan Sudan. Negeri ini bisa menghasilkan USD 1,5 
miliar per tahun dari minyak (diperkirakan kandungan minyak Sudan 
mencapai 1,2 miliar barel). Tapi celakanya, uang hasil minyak itu, 
selain dikorupsi untuk foya-foya para pejabat, juga dipakai untuk 
membeli peralatan tempur dari Cina, Belarusia, Rusia dan negara 
lainnya untuk menghancurkan warga sipil.

Belum reda masalah di Sudan Selatan, pemerintah Sudan kembali 
menghadapi masalah serius di Darfur. Kekerasan di Darfur meletus 
sejak Februari 2003. Pelaku penyerbuan, pembunuhan, pembakaran, 
perampokan dan pemerkosaan atas warga Darfur adalah gerombolan 
milisi dan preman Arab yang bernama Janjaweed dengan dukungan 
pemerintah pusat yang kebetulan juga dikuasai orang-orang dari etnik 
Arab. Pemerintah Sudan merekrut milisi Janjaweed yang berasal dari 
beberapa etnik Arab nomaden yang bermigrasi ke Darfur sejak 1980-an. 
Mereka mau direkrut pemerintah sebagai milisi untuk menghancurkan 
warga sipil Darfur—meskipun sesama Muslim—dengan harapan mendapatkan 
pekerjaan sebagai tentara atau polisi Sudan. 

Sebagai bangsa nomaden, ajakan berperang dari pemerintah dianggap 
sebagai rejeki nomplok dan alasan untuk merampok dan menguasai tanah 
serta lahan permukiman warga. Di pihak lain, rezim Khartoum tidak 
mau menggunakan tentara sebab banyak tentara yang berasal dari 
Darfur. Selain itu, dengan menggunakan tentara sipil, pemerintah 
bisa berkelit dari tuduhan kejahatan perang yang disponsori oleh 
negara. Rezim Khartoum memang sering berkilah bahwa kekerasan Darfur 
adalah kekerasan antar warga sipil, bukan kekerasan negara atas 
rakyat sipil. 

Pengusa dan Islam Garis Keras

Rezim Sudan adalah contoh nyata dari konspirasi tentara-pemerintah 
dan Islam garis keras. Sejak diktator kejam Jendral Ja'far Nimeiri 
mengkudeta Sudan tahun 1969, dia segera menggandeng kekuatan Islam 
garis keras seperti Ikhwanul Muslimin untuk mengontrol dan 
memerintah Sudan di bawah bendera Syariat. Keputusan itu ditentang 
keras para tokoh Muslim moderat seperti Muhammad Mahmud Taha, guru 
Prof. Abdullah Ahmad an-Na'im—sebuah penentangan yang mengakibatkan 
kematiannya. Kongkalikong penguasa dan Muslim radikal ini terus 
berlanjut di masa Sadiq al-Mahdi dan Omar Bashir saat ini. 

Konspirasi ini dibangun berdasarkan kepentingan yang saling 
menguntungkan: pemerintah membutuhkan legitimasi agama untuk 
melanggengkan kekuasaan politik yang diraihnya dengan cara-cara 
kotor, sementara bagi kubu Muslim radikal, koalisi dengan pemerintah 
merupakan kesempatan emas untuk menikmati kekuasaan yang mereka 
impikan. Akibat persekongkolan ini, terjadilah kekerasan yang 
mengerikan sepanjang sejarah Sudan yang tidak hanya memakan korban 
orang-orang Kristen dan kepercayaan lokal di Sudan Selatan, tapi 
juga kaum muslim sendiri yang melawan mainstream Khartoum seperti di 
Darfur. 

Apa yang terjadi di Sudan adalah warning buat pemerintah Indonesia 
yang sering "main mata" dengan kelompok Islam garis keras. Kasus 
Sudan juga menjadi bukti untuk kesekian kalinya bahwa aplikasi 
syariat tak jarang hanya akal-akalan kelompok "Islam kanan" demi 
kekuasaan, bukan demi Islam, rakyat, apalagi Tuhan! 


Kirim email ke