Pergumulan Menguakkan Identitas 


Resensi Atas Novel Terbaru Sindhunata: Putri Cina
Oleh MARIA HARTININGSIH


Bisa didapatkan di Khatulistiwa Online, www.khatulistiwa.net




 

Narrowly constructed, the present is never and always. It is here and 
gone with the tick of the clock, then here again. 

(Michael T Isenberg, Puzzles to the Past: An Introduction to Thinking about 
History, 1985) 

Banyak orang tunduk pada waktu, tetapi tidak begitu halnya dengan Sindhunata. 
Dalam novelnya terbaru, "Putri Cina", Sindhunata meletakkan masa lalu di dalam 
masa kini, membuat waktu tak berkerangka, tak punya ruang; bahkan ruang dan 
waktu tiada, ketika keduanya melebur ke dalam peristiwa. 

Peristiwa itu adalah tragedi Mei tahun 1998 di Jakarta, yang menurut catatan 
Tim Relawan untuk Kemanusiaan, menewaskan 1.217 orang, 91 terluka, dan 31 
hilang. Peristiwa itu menghancurkan kepercayaan kepada negara, membiakkan 
prasangka, dan, mengutip F Budihardiman (2006), menggelembungkan negativitas 
yang didefinisikan oleh sesuatu di luar diri, yakni dampak yang ditimbulkannya. 
Terutama yang menyebabkan kerusakan total dari hidup kebersamaan: peristiwa 
pemerkosaan dan penganiayaan seksual terhadap para perempuan etnis Tionghoa, 
yang terlacak hampir sebulan setelah peristiwa kerusuhan itu. 

Banyak fiksi dan drama telah ditulis dan dimainkan untuk mengingatkan orang 
pada tragedi itu, khususnya peristiwa pemerkosaan, yang terus disangkali, 
sampai 
detik terakhir sebelum pernyataan pengakuan diikuti permintaan maaf Presiden BJ 
Habibie kepada rakyat Indonesia pada 15 Juli 1998. 

Pernyataan itu tidak menyebut secara spesifik "perempuan etnis Tionghoa", 
tetapi tragedi itu telah membuka kedok betapa rentannya identitas tunggal yang 
ditempelkan pada seseorang dan segolongan manusia. 

Menggemakan suara korban adalah bagian dari upaya membangkitkan kesadaran 
untuk menolak rasialisme dan kekerasan terhadap perempuan.. Juga cara bertutur 
ketika pengungkapan fakta sangat berisiko atas nama "bukti", sementara kata 
terakhir harus direbut dari pena para pelaku agar bagian gelap sejarah bangsa 
ini dikuakkan. 

Di antaranya adalah cerpen Seno Gumira Ajidarma, Clara (1999), dibacakan dan 
dipentaskan sebagai drama di berbagai kampus. Seno juga membuat komik tentang 
itu. 

Nozuma III (2005) karya Marga T mengingatkan pada kasus tewasnya Ita 
Martadinata. Kemudian Richard Oh dalam Pathfinders of Love (1999). Dari sisi 
pelaku, Chachay Syaifullah menulis Sendalu tahun 2005. 



Antara mitos dan sejarah

 

Kisah Putri Cina merupakan pergumulan eksistensial menyangkut 
identitas-identitas: Siapa dia sesungguhnya dan mengapa ia bernama Putri Cina? 
Di manakah ia ketika tiada lagi wajahnya? (hal 13) 

Sebagian narasi dalam buku ini menggunakan bahasa indah, tidak mengada-ada 
dan sangat dalam tentang kejawaan. Dialog antara Putri Cina dan 
Sabdapalon-Nayagenggong dalam beberapa hal mengingatkan pada pemikiran Hannah 
Arendt tentang banalitas kejahatan dan pandangan Elie Wiesel tentang kejahatan 
tersembunyi di dalam diri manusia, yang membuat manusia tega berlaku keji pada 
siapa pun. 

Dalam Putri Cina, Sindhunata memasuki wilayah yang tak bisa dikatakan 
sepenuhnya sebagai mitos. Bagian yang dikembangkan menjadi novel ada dalam 
disertasi antropolog Nancy K Florida dari Universitas Michigan, AS, diterbitkan 
dalam buku Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in 
Colonial Java (1995). 

Naskah Babad Jaka Tingkir yang tersimpan di Keraton Surakarta itu ada 
kaitannya dengan Pakubuwana VI, yang lenyap dalam pembuangan Belanda tahun 
1830. 
Kisah Jaka Prabangkara yang membuka kisah Putri Cina adalah bagian dari babad 
tersebut. 

Jaka Prabangkara adalah anak Prabu Brawijaya dari seorang selir, yang dibuang 
ke Cina oleh ayahnya setelah titah sang ayah melukis permaisurinya, Putri 
Cempa, 
terlihat begitu sempurna, sampai kepada noda hitam di ujung pahanya. 

Prabangkara akhirnya menjadi menantu Maharaja Kaisar Cina, menurunkan banyak 
anak-cucu, yang nantinya berlayar menuju ke tanah leluhurnya, Tanah Jawa. Putri 
Cina adalah keturunan Prabangkara. 

Ada dua Putri Cina dalam novel ini. Yang pertama adalah Putri Cina yang 
diceraikan Prabu Brawijaya, ibu dari Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa yang 
kelak menggulingkan sang ayah. Dia membawa Tanah Jawa menapaki zaman baru, dan 
oleh para wali diminta menjadi jembatan antara Jawa Lama menuju Jawa Baru, 
antara agama lama menuju agama baru. 

Putri Cina lainnya adalah Giok Tien, pemain ketoprak Sekar Kastubo. Hampir 
setengah bagian terakhir mengeksplorasi kisah Giok Tien, termasuk kisah 
cintanya 
dengan pemuda Jawa bernama Setyoko, suami, yang kelak menjadi Senapati Gurdo 
Paksi di Kerajaan Medang Kamulan Baru. 

Di sini mitos dan sejarah bergulat menjadi kenyataan hidup. Peran Eng Tay 
yang dilakonkan Giok Tien dalam ketoprak Sam Pek-Eng Tay adalah lakon hidupnya 
sendiri. Cinta yang mengikat, cinta pula yang memisahkan. Seperti kesia-siaan. 

Akan tetapi, adakah kesia-siaan ketika kita menyaksikan kupu-kupu cinta tak 
lagi memisahkan Jawa dan Cina, kupu-kupu kuning yang mati di utara, memanggil 
hujan yang menyegarkan dan menyuburkan tanah; kupu-kupu Putri Cina yang 
mengubah 
bunga-bunga kematian menjadi kehidupan dan menaburkan permata berupa buah-buah 
doa ke seluruh dunia. 

Novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu 
berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu menghadapi beragam 
persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam. Identitas menjadi permainan 
politik. Di situ, memakukan identitas tunggal tak hanya berbahaya, tetapi juga 
kejam. 

Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks politik yang berbeda-beda. 
Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga terjadi waktu itu (hal 149-150). 
Sejarah kontemporer mencatat pengambinghitaman etnis Cina sejak tahun 1740 (hal 
85-86). 

Sebuah novel menawan, dengan mengabaikan gambar sampulnya. 

Ilusi identitas 

Novel ini membawa pesan: identitas tunggal adalah ilusi. 

Siapa Cina? Siapa Jawa? Nilai kemanusiaan kita ditantang ketika keberagaman 
manusia dimampatkan ke dalam satu sistem kategorisasi tunggal yang 
sewenang-wenang (Amartya Sen, 2007). 

Ironisnya, identitas selalu dijadikan locus politik. Pijakannya kultur. 
Padahal, kebudayaan bertumbuh dari perjumpaan antarmanusia. Lakon ketoprak Sam 
Pek-Eng Tay hanyalah satu contoh dialog dalam kebudayaan. Tak ada sekat. 
Sedangkan ciri fisik hanyalah "kulit" ketubuhan yang membalut pikiran dan jiwa; 
"dunia kecil" dalam "dunia besar" bernama Semesta yang dibahas sangat dalam di 
buku ini. 

Antropolog Perancis, Jean-François Bayart, membantu membebaskan "kita" dari 
"kekamian", dengan menulis perjalanan intelektual seputar politik dan 
kebudayaan 
yang berkelindan dengan politik kontemporer tentang identitas dalam bukunya, 
The 
Illusion of Cultural Identity (2005). 

Saya membaca Putri Cina dengan ingatan pada karya Sindhunata, Kambing Hitam 
(2006). Di situ ia tak menolak "identitas" yang didefinisikan pihak di luar 
dirinya, tetapi merengkuhnya sebagai kerinduan terdalam hati manusia akan 
sebuah 
tanah air abadi, yang damai dan tenteram, yang tak pernah memisah-misahkan 
manusia lagi. 

Dan identitas? Pada halaman 302-303, penyair Tao Yuan Ming mengatakan, "Tak 
berakarlah hidup manusia ini, seperti debu jalanan, kita beterbangan, dibawa 
angin, ditebarkan ke mana-mana…."


Segera klik www.khatulistiwa.net dan dapatkan bukunya.
 






















      ________________________________________________________ 
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang Anda! Kunjungi 
Yahoo! Answers saat ini juga di http://id.answers.yahoo.com/

Kirim email ke