Babad Diponegoro ANTON
(I) Ontowiryo, 1820 Berkatalah : Ratu Kencono Hujan rinai di pelupuk ladang Kala matahari tak lagi garang Kemarilah Pangeran...kuperlihatkan sejarah Dimana aksaranya tertulis pada bintang-bintang terang Sejarah adalah mata hati kita Ia tegak dari mimpi-mimpi senja Dan dibangunkan oleh embun yang jatuh di tepi jendela Duduklah, Ontowiryo...... Dengarkanlah cerita ini dengan telinga seksama Tatkala jaman masih sentosa Padi rimbun berbunting Dan prajurit belum lagi tunduk pada api putih yang menyala-nyala dari Batavia sana Eyangmu membuka tanah Mentaok Dengan cinta dan rimbunan air mata bahagia Dia lahankan cita-cita Menggeser Demak ke tanah selatan Jawa Disanalah takdir sejarah Mataram bermula Dan mengembalikan kejayaan Gadjah Mada Yang sempat lumer oleh Panglima Armada Melaka... Maka ditaruhlah secangkir air dari sampan cawan tanah liat ....Minum lah dulu...... Hujan rinai selesai sudah Guratan pelangi membentuk lengkungan di tenggara Dan beberapa petani pulang ke peraduan Bagai berlabuh setelah bertarung hidup Sang Pangeran masih duduk terpekur Diam-diam hatinya terbara Oleh intrik di dalam keraton semboja Dengan teritik gelitik Patih Danureja Dipahaminya bahwa ke agungan raja punah sudah Dalam kelam senja Ia membuta Namun Sang Sultan Sepuh menahannya ...hadaplah dulu pada Sang Ratu Kencono.... Agar tenang jiwamu Agar kekal wibawamu (Berkatalah lagi Ratu Kencono...) Nak Mas Pengeran Yang dilimpahkan anugerah cinta Dan senyum Tuhan Kuasa Jaka Tingkir dulu di padu ke Dampar Trenggono Bukan tanpa sebab Bukan tanpa musabab Dia arungi Bengawan Solo Dikalahkannya empat puluh buaya Ditidurinya puteri Raja Ditandanginya Sunan Kalijaga Dia titisan Raja Majapahit yang moksa Dia pengembali tahta Jawa Pada penerang sesungguhnya Ontowiryo masih terdiam Di remas-remasnya batang tombak Senggaluh Di bukanya blangkon prabu ratu Kakinya digeser pelan Dan matanya berloncatan dari bingkai-bingkai ukiran Jati senyawa Nak Mas Pengeran... Lalu datanglah Ario Penangsang Sang Penuntut tahta Ndemak Dia jalari tanah Blora Kemarahan Dia padati lasjkar Jipang Panolan dengan Air mata api Dan bibirnya sungging tanpa bekas.... Lalu dia menghamba ilmu pada Kyai Jopar Sidik Dia sembah sujud pada Kyai Kudus itu Lalu bertaruh tangan merebut tanah Demak Maka bersama Jopar Sidik Dia ke ndalem Kalijogo Di tepian hutan Kadilangu Kala itu sore masih mengambang Lembayung senja pun belum datang "Dimas Kalijogo" sapa Djopar dengan nada setegak menara suar Teluk Belanga "Berilah tahta Ndemak pada Nak Mas Pengeran Penangsang" Kalijogo diam, matanya redup namun bibirnya ranum Ia geser pikirannya Sejarah ada di mejanya Dan kini legendanya sedang bertatap muka Dengan teman yang murka Kemurkaan Panglima para Wali Sunan Kudus berhati singa Mencari kekuasaan di tanah Jawa Lupakah dia bahwa orang Jawa lebih berbudaya Maka tegaklah badan Kalijogo Dia taruh keris sukmolimo Di meja berantu macan "Kyak Djopar" "Aku tiada tahu kekuasaan Demak" "Anak desa ini, anak Pajang dari lereng Merapi..." "Tapi tahukah Kyai?' "Dialah darah suci Majapahit "Penerus Bhre Wijaya" "Penegak Sentosanya Tanah Jawa" Kalijaga berjalan ke arah teritis dan memandang bunga melati "Kyai Djopar, bunga melati itu wangi, dan kewangian seseorang terletak di hati, bukan kekuasaan yang bikin mati" ".....Sudah...Sudah" Penangsang gebrak meja berantu macan "Aku muak berbicara seperti bulan liar...mana hak Bapakku "Mana tahta yang di sikut Prawoto" "Cepat berikan kesini" Penangsang Berdiri dan mencabut Keris Kyai Setan Kober Jaka Tingkir meloncat ke belakang di pegangnya kursi agar tiada ia terjengkang dan dihantam tangan perkasa Penangsang Sunan Kudus sang Panglima Wali Berhati Singa meloncat Bagai kijang liar Ke belakang Jaka Tingkir Dipegangnya tangan Jaka Tingkir dengan kekuatan pohon gandewa "Cepat...Sarungkan...sarungkan kerismu!" Teriak sang Sunan pada Penangsang dengan mata nyalang dan bibir penuh tanda. Dengan wajah ngunngun Penangsang menyarungkan kerisnya "....tahukah kau arti ini semuanya, Ontowiryo?" Penangsang tiada mau isi peluang Ia tidak tahu tanda-tanda ketajaman suara Kecerdasan pikiran Dan ketangkasan gerak mata "Sarungkan kerismu" itu tanda tancapkan kerismu di badan si anak desa Dan Penangsang memang diam Dia akhirnya mati Di tepi Bengawan Solo Ditombak eyangmu yang masih belia Danang Sutawijaya Jika marahmu kau hantamkan pada tembok sang Maskalak Maka kau akan dikurung ribuan tentara putih Mereka datang sebagai sejarah Keluarpun harus jadi sejarah Bila kau hanya kobarkan marahmu Banting sana, geplak sini Mereka hanya bernyanyi-nyanyi sambil peluk perempuan Dan minum-minuman keras Lalu kau terkurung di benteng batavia Bagai elang tiada bernyawa Maka gunakan akal anakku Agar kau jadi Danang Sutawijaya Bukan Penangsang berhati amarah ....Ontowiryo diam "Eyang Puteri besok aku akan hadap ayahanda Raja" Aku tiada sedia menjadi Raja Aku bukanlah putera permaisuri Dan aku muak dengan Danureja Yang injak tanah Jawa dengan akal buaya Dia undang tentara Batavia Sambil lupa di Madiun sana Ada pemberontak bergaris panah Dengan kutipan para Cina Mereka membakar loji dan rumah wedana Bersiap menuju Lasem Tapi aku akan menyatukan mereka Untuk siap mendekap cinta Terimalah hormatku Eyang Puteri Aku menolak jadi Raja Dan aku adalah peneguh Pangeran Jawa Yang dimatanya tersimpan mata cinta Dan tidak dikalahkan Hujan Air Jingga ...Aku pamit Eyang Ratu Salamku untukmu.... (II) Patok-Patok Kali Segoro Danurejo duduk wajah sumringah hati bungah Dipandangnya Residen Yogya Lalu dengan takzim sang permata Danuredjan berkata: Salam tunggal untukmu Bopo Paduka Residen Pemegang Kuasa tanah Kedu Dan menancap gagah di pelataran Bagelen Salam tunggal untukmu......... Sang Residen tersenyum ceria Hatinya bulat matanya kejora Di panggulnya beban dari Batavia Untuk urus Voorstenlanden Yogya Dan buat jalan semesta Antara Magelang ke tengah kota Dengan membelah sungai membangun jembatan Agar cepat laju meriam Agar gesit pertahanan di tanah Mataram Inggris sudah dilinggis Pada Raffles mereka menangis Kini sang Oranye pemegang kuasa Di tanah waris Danang Sutawijaya Dimana Rajanya adalah hasil lembut lenguh Pembayun Yang menjadi ronggeng di tengah desa Pada hutan Wonoboyo Kini sang Residen Adalah matahari jingga perkasa Kekuasaannya melebihi Pangeran Trunajaya Gagahnya bagai Raden Arosbaya ".............Baeklah Danureja" Sang Residen bertitah Ingin tahu taktik sang parentah Dari lubuk pikir Danureja Yang hatinya dirambati lumut dosa Hanya ingin harta dan tahta Tanpa peduli negara Yang dibangun Mangkubumi dengan air mata Danureja membangun legenda Tentang nama yang akan rusak di masa muda Geger kali mangsa Danureja membangun patok-patok kali segoro Dibuatnya patok berwujud kuasa Di tepi jalan Ontowiryo Ia ingin tanah Pangeran alim ini menjadi sesempit tanah petani Dan tak lagi ia datang mau kuasa di keraton tiada suci Karena keraton sekarang tempat asyik bermain judi Dengan taruhan wanita-wanita jago tari Sambil minum-minum segelas wisky Yang kata pembantu Residen di impor dari Itali Pangeran....Pangeran.... Anak tangan Danuredjo buat patok kali segoro Di bukit-bukit milik kita Di ladang-ladang petani kita Di tepi sungai tempat macan bramantala meraup airnya Bagaimana...Pangeran ".......Cabut Patok Kali Segoro!" Perintah Sang Pangeran Maka sejarah berbuah Di dalam dunia yang mulai berubah Tanah Jawa menjelang banjir darah Makam Panembahan Senopati bermuncrat merah Para abdi dalem terpekur takut Karena macan hitam melompat-lompat di atas cungkup Pertanda bahaya datang bagai banjir sang petaka Seperti Jaman Amangkurat yang penuh angkara Seperti Kemarahan Sultan Agung gagal punah di tanah Jayakarta (III) Diponegoro di Keraton Yogyakarta Pada Paseban agung buwanatala Di telatar pendopo sang Patih menggelar kerja Maka datanglah sang Pangeran Yang sudah bersalin nama Menjadi Diponegoro Dipo bermakna Banteng Banteng Berbunyi keberanian Maka dia adalah Sang Banteng Tanah Jawa Yang datangnya sudah di sukma Oleh Prabu Jayabaya Pada ratusan tahun di muka Bahwa ada Raja murni Berpakaian suci Berundak keris Luk Tujuh Dengan Pamor Mangkutowuluh Dia akan menjadi Sang Penerus sejati Raja Jawa Tanah Merdeka "......Hai Danuredjo!!!!" Pekik Sang Pangeran dengan sejuta Murka "Kemari kau" "Aku Sibuk Pangeran urus saja dengan wakilku Raden Teja" Sang Pangeran meledak Hatinya meloncat seperti macan hitam di atas cungkup panembahan Dia mengaum Bibirnya terjepit Matanya menyipit Kemarahannya sudah tegak bagai menara lama di benteng Tua Petir gelegar lamat-lamat turunlah suara Ki Ageng Selo Membantu kerongkongan Sang Pangeran "Kemari...Tunjukkan kau adalah lelaki" "Bukan pemain tonil empat babak" Yang bikin tawa Belanda keparat! Sang Patih menggigil Tulang lututnya rontok, bulu kuduknya melayang sampai undak-undak Ia menyapa Pangeran dengan dua tungkup tangan Tanda setia Hambanya Pada Paduka Sang Patih jongkok jalan dengan kepala runtuh Dilihatnya Sang Pangeran berpakaian Kesumba Blangkonnya Hijau Panatih Lambang dia memang anak Raja Tangannya menggelar kuasa Bibirnya melumat sirih Sang Pangeran Meludah Sambil bertitah : "Cabut Patok-Patok Kali Segoro!" (Danuredjo berbicara pelan ) Ampun beribu duka Duko Ratu Duko hamba Yang dipertuan Tanah Mataram Pewaris keagungan Raja Binatara Patok itu sudah ada pada titah Tuan Bopo Paduka Residen Diketahui Eyang Paduka Gubernur Jenderal Mereka menitah Masakan hamba membantah Hamba hanya turut parentah ...."Danuredjo, tinggal pilih...." Cabut patok-patok kali segoro Apa kau melayang ke Imogiri dengan keris Mangkutowuluh Danuredjo mundur Ia lari..... Sang Patih Lari Ke utara Dekat stasiun cikar Di tenggara pasar Tempat tinggal orang-orang besar Termasuk Residen bertubuh kekar Diponegoro geleng kepala Ia pulang dengan hati sunyi Seperti bukit-bukit batu di pegunungan Tembayat Yang pernah dilihatnya ketika mengunjungi bundanya Nyai Ratu Hastungkorowati Puteri Sang Kyai Berdarah turun Pandanaran Dari Saudagar berkawal Seh Domba Yang Suaranya menggeletar Pada keping-keping batu gunung Jabalkat (III) Doa Pagi Jelang pagi di barat Tegalrejo Bintang Kejora tak lagi tunggal sinarnya Matahari kerlap kerlip di batas cakrawala Hujan embun belum lagi sempurna Setelah berdoa dalam kalimat bersayap surga Di iringi sedikit rintihan tak bersuara Tentang masa depan Yogya Tentang cinta yang lenyap bagai embun dipeluk cahaya Sang Pangeran menduka pelan Keraton menjadi sarang penyamun sialan Duh, Gusti yang Menjadikan Jadi Yang menciptakan cipta Diantara kehidupan dan gagahnya cita-cita Tanah Mataram tak lagi binatara Kini aku harus saksikan Kepala Sultan diinjak-injak Residen Hubert Tanpa hati Tanpa jiwa Hilang sudah martabat Karena dulu toh semuanya digadaikan Pada intrik penuh politik Pada panggang taktik licik Danurejo bisa tertawa Ia mengiris-ngiris giginya Duh, Gusti Allah Yang Maha Kuasa Dalam Rimba Raya hamba terpesona Tentang cinta penuh air mata Bagaimana nasib Yogya Satu dua Cinta Malam Sudah ditundukkan Pada kepasrahan Kalaupun esok Kentol-Kentol Banyumasan berdatangan Maka aku akan Adakan sedikit gertakan Sang Pangeran berhenti berdoa Di pandanginya sawah ladang peninggalan eyang buyutnya Satu-satu padi ditimpa embun pagi Dan sempurnalah pagi ini Tahun itu 1825 Sebuah kegemparan dimulai Pada sebuah ladang dekat tangsi Dekat Magelang Dimana Tegalrejo menjadi saksi Tentang Pangeran kinasih yang sakti ....Bermula pada Patok Kali Segoro di Tenggara Tegalrejo (IV) Danurejo-Diponegoro Pagi ketika matahari belum sempurna tegak di kepala Pada paseban kepatihan di barat Sitinggil Sang Pengayuh Mataram Patih sedang bekerja Dihadapinya meja Beberapa stempel berserakan kacau bentuknya Satu-satu tanda tangan bersliweran Tapi lucunya Setiap tanda tangan Residen Hubert Ia sembah bagai Tuhannya Danureja....Danureja Sang Perlambang pintu Belanda Dengan Bir dan Wisky Dia gadaikan keraton Mataram Tanpa hati tanpa cinta Karena toh Danureja Bertuhan Benda bermalaikat Maksiat Karenanya ia bisa berkhianat Pada keturunan Sang Ratu yang diwahyukan Cakraningrat Sembah Hamba Pada Pangeran Ontowiryo.... "Simpan Sembahmu pada Residen di barat Keraton aku tiada suka dengan manusia berpikiran dua Jelaskan padaku Kenapa patok sudah kau pasang di tenggara tanahku Hingga para penyewa tanahku tiada berani memacul harapan disana Ladang-ladang tak lagi tumbuh jagungnya Sawah tak lagi bunting buahnya Dan mangga tak lagi ranum bentuknya......" "Nyuwun Duko Pangeran" Tanah pangeran kami ambil sedikit untuk kepentingan gubernemen "Hai Danureja!" Sejak kapan kau jadi pengabdi Belanda Eyangmu adalah senapati yang kuasa Dia taklukan Madiun di tangannya Pemegang amanah Amangkurat Setia pada tanah-tanah yang tersusun di Mentaok Mengapa kau bikin aku ledak amarah Dengan sikapmu yang seperti pohon cemara Lenggak sana lenggok sini Tanpa tujuan yang bergema! "Saya tidak kuasa dengan Perintah Pangeran" Danureja.....Danureja Sang pewaris kepatihan di barat Sitinggil Mencari muka depan Residen Belanda Tak tahu dia dilaknat di muka Pada sejarah yang tergelar luka (V) Kyai Taftajani Berkatalah Kyai Taftajani di sore waktu Ketika Matahari tak lagi garang cahaya Dan kabut mulai turun menggelanggang di tanah Magelang Nak Mas Pangeran Yang dicintai Tuhan Dianugerahkan kebesaran Dan nama cinta Yang menjadi sejarah generasi kemudian Apa yang kau renungkan? Diponegoro merengut dalam Hatinya bongkar pasang Antara marah dan dendam Nak Mas Pangeran Janganlah kau lukai hati dengan pikiranmu Larikan cintamu pada jantung dan berilah sedikit air dzikir Agar indah hatimu Agar tak lagi sua ganasmu Diponegoro diam sejuta irama Ia marah dendam Diingatnya kejadian kemarin pagi Masih saja dia menyimpan Pada lumbung-lumbung amarahnya Pada kisah-kisah getarnya..... Tuan Guru Taftajani Yang dianugerahi ilmu laduni Bisakah kasih aku sedikit pepatah petitih Dimana orang Minang sering bilang Adat basandi Syarak Syarak basandi kitabullah Apakah jika aku lawan Belanda Bagaimana hukumnya? ....Syahid Nak Mas Pangeran Pangeran Diponegoro berdiri Dia pandangi sawah ladang Dia tekuni jatuh lembutnya cahaya Begitu indah tanah Jawa Begitu gagah sorga dunia Kenapa tanah ini bisa direbut Belanda Dengan barisan cecunguk berotak dosa...? (VI) Keprak Kuda Putih Pagi sunyi Tadi malam ada pertemuan Tentang adu senjata Kira-kira siapa yang menang Diponegoro atau Tuan Belanda Tapi semua sepakat Rakyat Jawa harus bertindak Diponegoro keluar pintu Dia melangkah pelan Dan berkatalah dalam hati Aku akan jadi Arjuna dalam peperangan ini Menjadi permata tanah Mataram Kuda Putih Kyai Pamotan Tunggangan yang dibersihkan budak Bali Sungguh gagah tanpa cela Rambutnya rentang seperti priyayi muda Kikikannya jantan bagai kuntilanak teriak Jalannya rentang persis serdadu Jipang Diponegoro lantang naik kuda Kyai Pamotan Keprak kuda Putih Kyai Pamotan ....Lamat-lamat sejarah terulang pada kisah si Gagak Rimang ANTON