Bung Manneke Yth,

Apabila membahas sistim kebijakan Pemerintah Orde Baru dengan
nilai-nilai dan norma yang berlaku sekarang, maka peraturan yang
dibuat tahun 60-an bisa saja dikatagorikan sebagai diskriminatif,
melanggar hak azasi, dsb, dsb,dsb.
Kebijakan sosial-politik Pemerintah tahun 60an harus ditinjau dengan
mengacu pada segala macam faktor yang terkait pada situasi dan kondisi
negara pada saat itu.

Sekitar 5 tahun setelah G30s/PKI, sistim politik pemerintah difokuskan
pada pemulihan keamanan, ketertiban dan stabilitas politik, dimana
segala kebijakan yang dibuat pada masa itu mengacu pada sistim politik
yang berlaku. 

Kita semua tahu bahwa, saat itu hubungan Indonesia-Cina sangat mesra,
sehingga tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking, ditambah lagi
banyak warga keturunan Cina yang memang menjadi kader atau
onderbouwnya PKI. 
Akibatnya, ada peraturan-peraturan yang menyangkut etnis Cina, dibuat
bedasarkan adanya kecurigaan bahwa masyarakat keturunan memiliki
ikatan kuat dengan tanah leluhur, sementara rasa nasionalisme pun
dinilai sangat rendah.

Charles A. Copple dalam bukunya "Indonesian Chinese In Crisis" (1983)
antara lain menjelaskan bahwa, salah satu sumber munculnya stereotip
dan prasangka atau bahkan perasaan anti Tionghoa adalah terletak pada
adanya kompetisi dalam bidang ekonomi antara pribumi dan non pribumi
selain disebabkan oleh adanya perbedaan kepercayaan dan kultur, adanya
golongan tertentu yang terkesan hidup eksklusif dan memiliki
nasionalisme yang diragukan, masih kentalnya sifat ethnosentrisme dan
menganggap budaya sendiri lebih unggul pada satu sisi dan sementara
pada sisi lain kebudayaan masyarakat lain
dipandang lebih inferior.

Agar supaya terciptanya integrasi sosial, dikeluarkannya surat
keputusan Preskab No.127/U/Kep/12/1966 yang menganjurkan, ulangi:
menganjurkan, agar supaya golongan etnis Tionghoa bersedia mengganti
nama mereka dengan nama Indonesia melalui prosedur yang mudah sehingga
proses pembauran dapat berjalan dengan baik.

Jadi, kebijakan ini bersifat anjuran atau himbauan, tidak ada unsur
pemaksaan, tidak ada sangsi atau tindakan hukum bagi mereka yang menolak.

Silahkan baca Pasal 1. dibawah, yang penekanannya pada kata "ingin":
(Kutipan):
KOMANDO OPERASI TERTINGGI
PRESIDIUM KABINET AMPERA
REPUBLIK INDONESIA
-------------------------------

KEPUTUSAN PRESIDIUM KABINET
No.: 127/Kep/12/1966
KETUA PRESIDIUM KABINET

Pasal 1
(1) Warga Negara Indonesia jang masih memakai nama-nama perseorangan
dan nama keluarga Tjina jang ingin mengganti namanja dengan nama
Indonesia dapat menjatakan keinginannja setjara tertulis pada Kepala
Daerah Tingkat II atau pedjabat jang ditundjuk
(2) Nama-nama jang dipilih tidak boleh melanggar adat sesuatu daerah
atau tidak boleh dianggap sebagai sesuatu gelar, dan tidak boleh
melanggar tata kesusilaan;
(3) Kepala Daerah atau Pedjabat jang ditundjuknja atas nama Menteri
Kehakiman memberikan tanda penerima atas surat pernjataan ganti nama
jang dimaksud
(4) Sedjak jang bersangkutan menerima surat tanda penerima seperti
jang tersebut dalam ajat(3) ia dapat memakai nama jang baru
(5) Apabila dalam djangka waktu 3 bulan sedjak ia menerima surat tanda
penerima jang dimaksud dalam ajat(3) di atas, tidak terdapat sanggahan
atau gugatan atas pemakaian nama baru itu dari siapapun jang
disalurkan melalui Kepala Daerah tingkat II jang bersangkutan, maka ia
dapat menggunakan nama tersebut seterusnja dan dianggap telah mendapat
izin dari Menteri Kehakiman seperti jang dimaksud dalam pasal
Undang-undang No. 4 tahun 1961 -----kutipan selesai.



(kutipan):
Inpres No 14 Tahun 1967 yang menghimbau kegiatan seni budaya, adat
istiadat, aksara China di Indonesia diselenggarakan secara
kekeluargaan dan di tempat ibadah.

PERTAMA: 
Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menunaikan 
ibadatnya, tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas
culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus
dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.
KEDUA: 
Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara
tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan 
keluarga. -----kutipan selesai.



Larangan ini tidak bersifat absolut, kesempatan menyelanggarakan masih
diberikan selama itu tidak dilakukan dimuka umum.


Buktinya, selama pemerintahan Orde Baru masyarakat Budha masih
bersembahyang dan merayakan Imlek di Klenteng dan Vihara, selama 32
pemberlakukan peraturan ini masih banyak warga etnis Cina yang fasih
menguasai bahasa Cina dan tradisi budaya Cina juga masih dipertahankan
dengan baik.


Jadi, segala tuduhan Anda mengenai aturan larangan terbukti berlebihan
(manipulatif), ciri inilah yang saya maksud dengan "Cinderella Syndrom".


Wassalam, yhg.
----------------


Manneke Budiman <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Nambahin Henny: ada aturan pemerintah tentang ganti nama, apa itu? 
Ada larangan mempraktikkan tradisi budaya Cina, apa namanya itu? 
Ada larangan penerbitan dalam bahasa Cina, apa pula namanya itu? 
Ada larangan mendirikan sekolah Cina, apa namanya itu? 
Yap Hong Gie baru bangun dari hibernasi 30 tahun ya?

manneke


Kirim email ke