Madam Khouw Yth, Kalau sudah bohoat, tapi masih juga suka ngintip posting saya berarti, dihati yang paling dalam Anda masih ada kerinduan pada tulisan saya ....
Kita lompati saja komen-komen Anda yang reseh, tapi masuk pada isu soal politik busuk soal kebijakan segregasi etnis Pemerintah Kolonial Belanda. Bahwasanya, sekarang kita menganggap Belanda melakukan politik busuk devide et impera, tapi pada kenyataannya kebanyakan warga etnis, khususnya kaum pedagang, pemilik perkebunan, dan elit Cina di zaman itu, berkolaborasi sangat erat dengan pihak penguasa. Pemberian status istimewa, pendidikan yang setara dengan warga Eropa, bahkan sekolah Tionghoa khusus bagi warga keturunan, dimanfaatkan benar oleh nenek moyang kita. Coba deh, Anda ngintip-ngintip buku sejarah tentang kehidupan ekonomi-sosial etnis Tionghoa di abad-abad yang lalu, tidak perlu malu mengakui fakta sejarah. Komen seperti: "... tapi karena banyak duit dan dekat dengan militer, maka tentu saja Mr. Yap tidak pernah merasa tertindas oleh Pemerintah Orde Baru," adalah analogi apriori dan tendensius, mending kalau benar lagi ........... 1. Dekat dengan militer tidak perlu kaya dan banyak duit. 2. Sebaliknya, kalau kere juga tidak akan diterima dikalangan "elit" Cina. 3. Soal merasa tertindas atau tidak bukan tergantung pada tebal-tipisnya dompet. Memang sikap dan watak kita agak berbeda, kebetulan saya tidak memiliki inferior kompleks .... Wassalam, yhg. ---------------- "idakhouw" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Hi Manneke, Saya sudah sampai taraf bo-hoat (frustrasi[?] dalam dialek Hokkian:) tiap kali membaca postingan Mr. Yap ini, jadi biasanya saya lewatkan saja. Kalau diperhatikan posting2nya sepertinya orang ini sudah keracunan (baca: membiarkan diri dengan senang hati dibodohi) ideologi militeristik, jadi nggak-akan-kemana2 lah, pasti di situ2 aja. Lha sudah banyak orang bicara tentang politik busuk dibalik kebijakan segregasi etnis Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, kok nggak ngerti juga!! Mungkin bukan karena hibernasi, tapi karena banyak duit dan dekat dengan militer, maka tentu saja Mr. Yap "tidak pernah merasa tertindas oleh Pemerintah Orde Baru," seperti diucapkannya. Ida