Pola Pikir Ahlussunnah wal
Jama’ah
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan yang prinsipal
antara kelompok dan mazhab dalam Islam. Dalam hal ajaran Islam mereka sama
meyakini bahwa al-Qur’an dan sunnah adalah sumbernya. Para ulama dari berbagai
mazhab juga tidak berbeda mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti tentang
ke-Esaan Tuhan, kewajiban shalat, zakat, dan lain-lain. Tetapi, mereka memang
berbeda dalam hal-hal yang tidak pokok, karena mereka berbeda dalam manhaj
berpikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan penekanan mereka atas otoritas
akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah Rasul Saw.
Apabila ada di antara kelompok atau mazhab dalam
Islam yang bersikap liberal, maka hal itu karena mereka liberal dalam
menggunakan otoritas akal untuk menafsirkan ajaran Islam. Tapi perlu dicatat
bahwa liberal di sini berbeda dengan paham liberal dalam filsafat, karena
metodologi berpikir pada semua aliran dalam Islam tidak ada yang mengesampingkan
‘naql’ (teks Qur’an) sebagai sumber ajaran dalam Islam.
Masing-masing kelompok dalam pemikiran Islam
memiliki manhaj sendiri-sendiri. Mu’tazilah sering disebut
sebagai kelompok liberal dalam Islam, Asy’ariyah disebut kelompok tradisional
dan Maturidiyah disebut kelompok yang bervariasi antara liberal dan tradisional
(wasath-mu’tadil). Keliberalan, kadang-kadang juga disebut rasional,
paham Mu’tazilah, baik dalam konteks kalam atau fikih, berpangkal dari paham
bahwa akal sebagai anugerah Tuhan, memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal
yang berhubungan dengan Tuhan dan hal-hal yang dianggap baik atau
buruk.
Sementara bagi kelompok tradisonal Asy’ariyah, akal
tidak sanggup mengetahui hal itu kecuali ada petunjuk dari naql atau nashsh, dan
bagi kelompok wasath-mu’tadil yang dalam hal ini diwakili oleh Maturidiyah, akal
itu mempunyai kekuatan tetapi juga sekaligus keterbatasan. Apa yang dinyatakan
oleh akal sebagai baik, tentu ia adalah baik dan juga sebaliknya. Tapi, tidak
berarti semua perbuatan manusia sesuai dengan jangkauan akal, karena untuk
menentukan baik dan buruk itu hanya dapat diketahui melalui
naql.
Jadi, kalau diringkas paradigma atau manhaj
berpikir dalam Islam itu dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang
memberikan otoritas tinggi kepada akal, kelompok yang menganggap lemah terhadap
akal dan kelompok yang bervariasi di antara dua kelompok yang pertama tadi.
Apabila manhaj ini dihubungkan dengan paham akidah, maka peran akal dan naql itu
berhubungan dengan masalah-masalah Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya; dan
apabila dihubungkan dengan masalah-masalah fikih, maka peran akal dan naql itu
berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf).
Adapun dalam konteks akhlak atau tashawuf, maka
peran akal atau naql berhubungan dengan paham tentang hubungan spiritual antara
manusia dengan Tuhan.
Dalam ketiga aspeknya, yakni akidah,
fikih dan tashawwuf, Ahlussunnah wal Jama’ah memang memiliki prinsip manhaj
berpikir taqdîm al-nashsh ‘ala al-‘aql. Bedanya dengan paham liberal dalam
Islam, meskipun sama-sama mengacu kepada nashsh, Ahlussunnah wal Jama’ah tidak
terlalu mendalam menggunakan pendekatan ta’wîl (mengalihkan arti harfiah
terhadap ayat-ayat mutasyâbihât), yang memberikan ruang agar nashsh sejalan
dengan makna yang ditangkap oleh akal. Dalam hal ini, Ahlussunnah wal Jama’ah
mendudukkan akal hanya sebagai alat bantu untuk memahami nashsh. Karena itu,
penafsiran agama tidak harus sejalan dengan akal, karena akal seringkali juga
salah dalam daya tangkapnya.
Ketiga kelompok tersebut sebenarnya bisa diringkas
menjadi dua kelompok, karena kelompok yang ketiga, yakni wasath mu’tadil, dapat
digabungkan dalam kelompok yang kedua, mengingat dalam manhaj berpikirnya
sama-sama menempatkan akal sebagai alat bantu memahami nashsh dan terbatas daya
tangkapnya. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa antara kelompok tradisional
Asy’ariyah dan kelompok moderat Maturidiyah terdapat perbedaan kecil dalam hal
akal tadi. Bagi kelompok tradisional Asy’ariyah, akal hampir sama sekali tidak
memiliki daya dan otoritas, sedangkan bagi kelompok Maturidiyah akal mempunyai
daya dan otoritas, meskipun tidak setinggi seperti yang dikonsepsikan paham
liberal. Meskipun akal bagi Maturidiyah sanggup mengetahui perbuatan yang baik
dan buruk bagi manusia (dalam konteks fikih), ia tetap terbatas dan tidak
mutlak, sehingga dalam keadaan tertentu tetap harus tunduk kepada makna nashsh
apa adanya.
Dalam paham liberal ta’wîl digunakan secara ketat,
sehingga nashsh harus sejalan dengan makna yang ditunjukkan oleh akal. Dalam
Asy’ariyah, takwil didudukkan dalam otoritas sangat terbatas, sehingga paham
keagamaannya terkesan tradisional, karena penafsiran tidak boleh melampaui makna
yang tersurat dalam nashsh. Sementara Maturidiyah menggunakan metode ta’wîl
secara mendalam tetapi terbatas. Manhaj berpikir seperti ini tidak hanya terjadi
di kalangan ulama Kalam dan fikih, tetapi juga terjadi di kalangan ulama
tashawuf.
Karena Ahlussunnah wal Jama’ah selalu
mengambil jalan yang moderat, paham tashawuf yang ekstrim, seperti paham
tashawuf yang disebut dengan istilah wahdah al-wujûd (unity of being) tidak
diakui sebagai paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Semua paham yang menggunakan manhaj berpikir
seperti itulah yang kemudian disebut sebagai paham ‘Sunni’. Para penganut manhaj
berpikir yang oleh ulama diyakini mendekati kebenaran itu disebut juga sebagai
kelompok purifikasi yang berusaha mengembalikan paham keagamaan yang dinilai
bid’ah kepada paham yang sesuai dengan sunnah. Tetapi, manhaj berpikir
Ahlussunnah wal Jama’ah seperti disepakati oleh jumhûr (mayoritas) ulama itu
tidaklah satu, tetapi variatif. Di antara mereka ada yang sangat terikat oleh
makna nashsh apa adanya, dan ada yang tidak begitu ketat terikat kepada nashsh.
Dengan pola ini, maka penganut Sunni pun beragam, yakni ada yang berpola
tradisional, eksklusif dan ada yang modern-eksklusif. Maka, paham ini dapat
menerima budaya pluralisme dan cenderung lebih terbuka untuk meng-cover dan
mengakomodasi semua bentuk perubahan.
Secara sederhana bisa disarikan bahwa dalam aspek
akidah, manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah itu :
a) Menggunakan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman dan menggunakan bahasa kontemporer dalam upaya membela akidah dalam menghadapi arus yang berusaha untuk menghancurkan dan mengaburkan ajaran Islam. b) Berpegang pada sikap tawqîf, tanzîh dan tafwîdh dalam masalah-masalah mutasyâbihât yang ada dalam Qur’an dan Sunnah, seperti ayat: ... يد الله فوق أيديهم ... … Tangan Allah di atas semua tangan mereka… (QS. al-Fath: 10) c) Merupakan mazhab jalan tengah (moderat), tidak menafikan sifat Allah dan tidak men-tasybîh-kan (menyerupakan)-Nya dengan makhluk. e) Memadukan akal dan nashsh dalam pengertian mendahulukan nashsh sebagai dasar utama, dan akal sebagai penunjang. Apabila terjadi pertentangan antara akal dan nashsh, maka didahulukan nashsh, karena akal tidak mampu untuk memahami kehendak nashsh. Dalam bidang syari’ah, Ahlussunnah wal Jama’ah
menetapkan 4 (empat) sumber yang bisa dijadikan rujukan bagi pemahaman
keagamaannya, yaitu: al-Qur’an al-Karim, sunnah Nabi, ijma’ (kesepakatan ulama),
dan qiyas (analogi).
Dari keempat sumber yang ada, Al-Qur’an telah dijadikan Ahlussunnah wal
Jama’ah sebagai sumber utama dan pertama.
Ini artinya bahwa :
1) Apabila terdapat masalah-masalah kehidupan yang mereka hadapi, mereka
mencari pemecahannya lebih dahulu dalam al-Qur’an. Apabila masalah tersebut
terdapat pemecahannya dalam al-Qur’an, maka selesailah sudah permasalahan
tersebut.
2) Apabila masalah tersebut tidak mereka temukan dalam al-Qur’an, maka
Ahlussunnah wal Jama’ah mencari pemecahannya dalam sunnah Nabi Saw. Apabila hal
itu terdapat dalam sunnah Nabi, maka selesailah sudah masalahnya.
3) Apabila masalah itu tidak ada pemecahannya dalam sunnah Nabi, maka
mereka mencari pemecahannya dalam ijma’ (kesepakatan ulama) para ahl al-hall wa
al-‘aqd di kalangan para ulama yang lebih dahulu. Apabila masalah tersebut
terdapat pemecahannya dalam ijma’, maka Ahlussunnah tidak mencari pemecahannya
ke sumber yang lain.
4) Apabila masalah yang dihadapi juga tidak ada pemecahannya dalam ijma’, maka Ahlussunnah menggunakan akal mereka untuk melakukan ijtihâd dengan mengqiyaskan hal-hal yang belum diketahui status hukumnya kepada hal-hal yang sudah diketahui status hukumnya apabila kedua hal tersebut memiliki faktor-faktor persamaan. Sebagai dalil dalam penggunaan empat sumber ini adalah firman Allah Swt.
dalam surat al-Nisâ: 59,
يأيها الذين أمنوا أطيعواالله وأطيعواالرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول ... Firman Allah ‘athî’û Allâh’, taatlah kamu kepada
Allah menunjukkan keharusan merujuk kepada kitab Allah, yaitu al-Qur’an. Firman
Allah ‘wa-athî’û al-Rasûl’, (dan taatlah kamu kepada Rasulullah Saw.),
memberikan isyarat untuk menggunakan Sunnah Nabi Saw. Firman Allah ‘wa uli
al-amr minkum’, memberikan isyarat tentang kewajiban menggunakan ijma’
(kesepakatan) umat yang diwakili oleh para ulama ahl al-hall wa al-‘aqd, dan
kalimat ‘Fa-in tanâza’tum fî syai-in fa ruddûhu ila Allâh’, memberikan isyarat
tentang penggunaan qiyas.
Para sahabat dalam kehidupan beragama mereka telah
mengikuti jejak Rasulullah, baik dalam ucapan, perbuatan, petunjuk dan tingkah
laku. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it tabi’in, mengikuti para sahabat.
Dengan demikian, maka al-Qur’an, kehidupan Rasul Saw., para sahabat dan tabi’in
merupakan sumber keteladanan bagi kehidupan umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di dalam melaksanakan berbagai kehidupan
beragama, termasuk tashawuf dan akhlak.
Ahli tashawuf Sunni bersepakat
(ijma’), bahwa tujuan tashawuf adalah untuk mendapatkan Rida Allah. Hal tersebut
ditempuh dengan jalan memerangi hawa nafsu. Di dalam mengamalkan tashawuf,
Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti cara tashawuf dari tharîqah Syeikh Junayd
al-Baghdadi.
Adapun akhlak menurut Ahlussunnah wal Jama’ah
adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan bebas dan penuh kesadaran. Ia
terdiri dari perangai mulia, karakter dan agama. Hal itu didasarkan kepada
al-Qur’an dan Sunnah. Firman Allah Swt. (QS. al-Qalam: 4,
وإنك لعلى خلق عظيم Dan sesungguhnya kamu menyandang akhlak yang mulia. (QS. al-Qalam: 4) Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa akhlak (akhlâq) adalah
beragama dengan sempurna. Sedang tafsir al-Jalâlayn (kitab tafsir yang ditulis
oleh Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi) mengartikan akhlak
sebagai karakter dan adat.
Dengan demikian, maka pengertian akhlak adalah
adat, karakter, perangai, kehalusan hati dan istiqamah dalam beragama. Tersebut
dalam hadits:
إن من أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا (رواه الترمذي والحاكم) Mukmin yang sempurna adalah mereka yang karakter dan adatnya baik. (HR. al-Turmudzi dan al-Hakim). =============
by arland
from
PBNU Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan. Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu. YAHOO! GROUPS LINKS
|