Assalaamu'alaikum wr. wb.   

Sobat muda muslim, ini artikel Studia edisi 297/Tahun ke-7 (12 Juni 2006).
Edisi cetaknya sudah beredar di Jadebotabek sejak hari Jumat pekan ini.
Selamat membaca...   

*[Dapatkan juga edisi cetaknya di jaringan kami di berbagai kota besar
lainnya: Aceh, Padang, Bengkulu, Palembang, Pangkalpinang, Bandarlampung,
Serang, Sukabumi, Bandung, Sumedang, Cirebon, Indramayu, Yogyakarta, Solo,
Semarang, Bangil, Pasuruan, Surabaya, Jember, Banjarmasin, Samarinda,
Balikpapan, Kendari, dan Makasar]   

Saran dan kritik, silakan kirim ke:  
Redaksi: [EMAIL PROTECTED]
Penerbit: [EMAIL PROTECTED]
HP: 0856-1943803
Kunjungi situs kami di: http://www.dudung.net
Akses via HP: http://mobile.dudung.net (dan dapatkan arsip artikel
sebelumnya. Free!)

Ingin diskusi, ngasih info, ngasih masukan berupa kritik dan saran, gabung
aja di tempat mangkal kita: buletinstudia.multiply.com     
Untuk berlangganan edisi cetak, hubungi: 0813-81561253

Salam,  
Redaksi Buletin Studia  
Bogor
---
STUDIA Edisi 297/Tahun ke-7 (12 Juni 2006)
Jerman Vs Yogya

Ini bukan sedang berandai-andai mempertemukan timnas sepak bola Jerman dengan 
tim sepak bola PSIM Yogyakarta atau PSS Sleman. Bukan pula sedang bermimpi 
untuk saling berhadapan klub asal Jerman, Bayern Muenchen melawan Persiba 
Bantul. Nggak banget. Karena menurut feeling saya sih, Arab Saudi yang udah 
keren aja digunduli 8 gol tanpa balas di Piala Dunia 2002 oleh Michael Ballack 
dan kawan-kawan. Pikir-pikir, apalagi kalo kesebelasan PSIM Yogyakarta, PSS 
Sleman dan kesebelasan Persiba Bantul? Bukan tak mungkin kalo terjadi hujan gol 
ke gawang PSIM Yogyakarta, PSS Sleman atau Persiba Bantul.

Bukan pesimis dan ngerendahin, tapi emang prestasi kita jauh banget dibanding 
Jerman (PSS Sleman aja terancan degradasi ke Divisi I menemani Persiba Bantul). 
Lagian kebangetan kalo ngebandingan Bayern Muenchen ama PSIM, PSS dan Persiba. 
Hehehe. Oya, bahkan PSIM dan PSS udah ngajuin pengunduran diri dari Divisi 
Utama Liga Djarum, sementara Persiba juga akan ngundurin diri dari Divisi I 
Grup III Liga Indonesia dengan alasan seluruh fasilitas hancur dan pemainnya 
trauma gara-gara gempa. Maklumlah, klub-klub ini didanai dari APBD (Anggaran 
Belanja dan Pendapatan Daerah) dari pemda masing-masing. PSIM Yogyakarta aja 
tahun ini dapat jatah Rp 8,9 miliar (duit segitu sih setara dengan gajinya 
Andriy Shevcenko sebulan di Chelsea musim depan).

Sobat muda muslim, dengan judul tulisan “Jerman Vs Yogya” ini sekadar ingin 
merenung aja, bahwa perhatian kita, perhatian rakyat negeri ini, dan perhatian 
warga dunia akan lebih fokus ke Jerman ketimbang fokus ke Yogyakarta dan 
sebagian Jawa Tengah. Gemerlap pesta Piala Dunia akan mampu ‘menyihir’ kita 
untuk memalingkan perhatian dari mengurus atau merhatiin korban gempa. Saat ini 
aja penanganan terhadap korban gempa  masih jauh dari memuaskan, apalagi kalo 
udah digelar hajatan Piala Dunia pada 9 Juni ampe 9 Juli 2006 nanti, sebulan 
penuh, kayaknya makin terlantar aja deh. Kasihan banget ya?

Memang sih, nggak bakalan mungkin semua perhatian kita tumpahkan kepada 
saudara-saudara yang menjadi korban gempa. Kita semua adalah manusia, yang 
sudah punya tugas dan kewajiban sendiri. Pemerintah pusat dan daerah juga punya 
tugas lain selain ngurus korban gempa, negara lain juga sama harus memikirkan 
negerinya sendiri. Itu sebabnya, nggak bisa ngelarang juga bagi siapa pun untuk 
meminta orang lain lebih fokus ngurusin satu masalah. Karena memang 
masing-masing udah punya kegiatan tersendiri.

Hanya saja, kita sangat prihatin banget dengan cara penanganan yang dilakukan 
pemerintah negeri ini. Bukan ngejelek-jelekkin, tapi emang nggak memuaskan. 
Sejak Sabtu pagi, 27 Mei 2006, gempa melanda Yogyakarta dan sebagian Jawa 
Tengah, terutama Klaten, sampai sekarang masih aja ada korban gempa yang nggak 
keurus. Bahkan, gempa yang terjadi pada dua pekan menjelang digelarnya Piala 
Dunia di Jerman itu, kini mulai kehilangan daya tarik masyarakat, kalah dengan 
gemerlap pesta Piala Dunia.

Padahal, gempa berkekuatan 5,9 pada skala Richter (menurut catatan Badan 
Geologi Departemen ESDM angkanya 6,2 pada skala Richter) telah memakan lebih 
dari 6.000 korban jiwa dan merusakkan hampir 100 ribu bangunan.Cukup besar 
memang. Karena kekuatan ini konon kabarnya setara dengan ledakan 56 ribu ton 
bom atau setara dengan bom atom yang dijatuhkan Amerika di Hiroshima, Jepang 
pada 1945.

 

Buruknya kita

Ungkapan sebuah iklan rokok yang cukup menyindir rumitnya birokrasi di negeri 
ini seharusnya menjadi renungan. Kayaknya banyak juga deh di antara kita yang 
tahu bunyi ungkapan itu. Yup, “Jika masih bisa dipersulit, kenapa harus 
dipermudah. Tanyaken apa?”

Udah jadi rahasia umum kalo ngurus KTP aja bisa berhari-hari, malah saya 
sendiri mengalaminya. Sehari-dua hari masih saya tanya. Seminggu saya tanya 
lagi, belum kelar. Sebulan, juga belum kelar. Akhirnya saya biarkan hanya 
karena ingin tahu apakah benar selama ini anekdot dari temen-temen kalo ngurus 
KTP aja bisa lama. Ternyata setelah dua tahun pun belum kelar juga. Mungkin 
arsipnya udah hilang. Ah, untung uangnya nggak besar yang saya keluarkan, jadi 
nggak terlalu rugi. Atau… jangan-jangan karena nggak besar itulah akhirnya 
nggak kelar-kelar KTP-nya? Hehehe…

Nah, budaya birokratis ini pun ternyata menimpa korban gempa, lho. Di Yogya, 
ada oknum petugas posko bantuan yang memberikan syarat bagi korban gempa yang 
hendak ngambil jatah bantuan kudu nunjukkin KTP-nya. Walah, keburu kelaparan 
dong. Karena birokrasinya harus berbelit. Jangan-jangan nanti kudu ngurus KTP 
dulu? Lama lagi dong? Aduh, nggak kebayang gimana ribetnya.

Belum lagi soal meratanya bantuan. Meski bantuan terus mengalir dari berbagai 
pihak, termasuk dari luar negeri, tapi masih banyak rakyat yang mengaku tak 
menerima bantuan. Bahkan seorang teman di Yogyakarta yang kebetulan menjadi 
bagian dari korban gempa, menuturkan bahwa di tempat tinggalnya saja, bantuan 
yang datang nggak sebanding dengan jumlah korban gempa. Akibatnya, ketua RT 
setempat rela nombokkin dari kas RT untuk membeli beras senilai Rp 2 juta. Ah, 
di mana bantuan itu? Terasa begitu lambat datangnya.

Sudah hampir  dua minggu setelah gempa, ketika artikel ini ditulis, pemerintah 
masih kebingungan ngurus korban gempa. Hari pertama bengong dan terkaget-kaget. 
Hari kedua, sibuk koordinasi. Hari ketiga, kewalahan nerima bantuan. Hari 
keempat, baru kirim-kirim bantuan. Hari kelima banyak warga yang nggak 
tersentuh bantuan. Hari keenam mulai ribut saling menyalahkan. Ah, 
jangan-jangan nanti malah lupa karena sibuk nonton Piala Dunia yang kayaknya 
nggak mungkin banget untuk dibatalin gara-gara gempa di negeri ini. Menyedihkan 
sekali.

Lebih lucu dan parah lagi adalah masih juga ada pihak-pihak atas nama penjaga 
situs bersejarah malah mikirin gimana caranya ngerenovasi Candi Prambanan yang 
rusak dihajar gempa. Kalo sampe kejadian kayak gitu, sementara nasib manusia 
masih terlantar, kasihan banget nasib makluk hidup bernama manusia yang kalah 
bersaing untuk mendapatkan perhatian dengan benda mati bernama candi. Aneh tapi 
nyata!

Entah, mungkin ketika pertandingan perdana Piala Dunia 2006 digelar pada 9 Juni 
2006 ini di Stadion Allianz-Arena, Munich, yang mempertemukan tuan rumah Jerman 
dan Kosta Rika, nasib saudara kita di Yogyakarta dan sekitarnya justru sedang 
sibuk mencari makanan, tempat berteduh untuk tidur, dan sambil khawatir 
diguncang gempa susulan.

Bukan mustahil pula ketika Miroslav Klose berhasil menyarangkan bola ke gawang 
Kosta Rika, bukan hanya stadion Allianz-Arena yang bergemuruh sorak-sorai 
menyambut kemenangan, tapi seluruh jutaan pendukung Jerman di dunia akan 
berteriak senang dan mungkin menangis haru. Pada saat bersamaan, ada jerit dan 
tangis warga korban gempa di Yogyakarta dan sekitarnya yang menahan lapar dan 
diliputi kecemasan. Bukan mustahil kan?

Ketika pertandingan demi pertandingan digelar, mungkin saja warga korban gempa 
juga bisa menikmati hiburan dari para bintang sepak bola dunia yang berlaga di 
Piala Dunia. Tapi, apakah urusan perut bisa kenyang hanya dengan melihat aksi 
Ronaldinho menggocek bola dan memasukkannya ke gawang lawan? Bagaimana dengan 
kita di sini? Jangan-jangan, setiap malam malah begadang nonton sepak bola dan 
lupa sama saudaranya, meski dengan hanya mengirimkan doa di shalat malam.

Sobat muda muslim, dalam sepak bola sering terjadi psywar alias perang urat 
syaraf untuk meruntuhkan mental tim lawan. Perang itu bisa berupa menjelekkan 
tim lain biar orang mendukung timnya. Sementara ketika gempa di Yogya dan 
sekitarnya, perang urat syaraf kerap dilakukan oleh para oknum politisi yang 
memanfaatkan kondisi ini untuk menjelekkan lawan politiknya. Ah, menyedihkan 
sekali.

Sobat, bukan pula maksud kita nuduh yang nggak bener, bukan juga meragukan niat 
baik masyarakat kita untuk nyumbang korban gempa dengan menggelar posko-posko 
di pinggir jalan. Tapi, maaf, ternyata ada juga yang tega mengais rejeki di 
atas penderitaan korban gempa. Itu sebabnya, stasiun Metro TV aja mengumumkan 
bahwa mereka tidak pernah membuka posko di sembarang tempat. Itu dilakukan 
untuk menghindari pencatutan nama lembaganya dalam menghimpun dana.

Memang sulit melacak aliran dana dari banyaknya posko yang bertebaran di 
jalanan, apakah nyampe ke korban, atau malah menjadi ladang nyari usahanya? 
Wallahu’alam. Semoga saja, korban gempa bukan menjadi komoditas unggulan untuk 
nyari usaha dari beberapa oknum masyarakat atas nama mereka. Kasihan. Kalo pun 
kita nggak bisa menolong mereka dengan harta dan tenaga, ya minimal dengan doa. 
Jangan malah mengeksploitasi penderitaan mereka demi keuntungan pribadi. Oke?

 

Antara Jerman dan Yogya

Pernah tahu berapa harga tiket nonton pertandingan langsung di Piala Dunia 
nanti? Harga tiket paling mahal dalam acara pembukaan adalah 300 euro atau 
sekitar Rp 3,57 juta (kategori 1) dan yang paling murah (kategori 4) tiketnya 
berbandrol 65 euro atau sekitar Rp 773 ribu. Harga tiket itu kian meroket pada 
babak final. Paling mahal dibandrol 600 euro (Rp 7,14 juta) dan paling murah Rp 
1,42 juta. Coba sekarang kalkulasikan sendiri, harga-harga tiket itu dikalikan 
jumlah penonton yang biasanya mencapai puluhan ribu orang di satu stadion, lalu 
kalikan 64 pertandingan selama sebulan penuh. Ckckck...

Sekarang kita nengok ke Yogya dan Klaten, berapa jumlah dana untuk korban gempa 
yang berhasil dikumpulkan? Mungkin termasuk besar dan seharusnya bisa segera 
menyelesaikan problem korban gempa jika tidak belibet birokrasinya. Bantuan 
yang udah kelihatan gede-gede (setidaknya yang tecatat di media massa), 
kayaknya cukup bisa membantu deh. Entah itu bentuknya hibah alias cuma-cuma 
atau dalam bentuk pinjaman lunak.

Menurut Koran Tempo edisi 31 Mei 2006, beberapa negara yang ikut menyumbang 
untuk Indonesia (di buletin kesayangan kamu ini hanya ditulis sepuluh dari 29 
negara yang disebutkan di Koran Tempo), di antaranya: Jepang (Rp 93, 84 
miliar); Inggris (Rp 68 miliar); Arab Saudi (Rp 46 miliar); Uni Emirat Arab (Rp 
36,8 miliar plus 39 tenaga medis); Kuwait (Rp 36,8 miliar); Amerika Serikat (Rp 
23 miliar dan 100 tenaga medis); Italia (Rp 23 miliar); Australia (Rp 21,16 
miliar); Korea Selatan (Rp 18,4 miliar plus 19 tenaga medis dan obat-obatan); 
Cina (Rp 18,4 miliar). Bayangin deh, dari 10 negara aja yang nyumbang, paling 
nggak dananya udah terkumpul Rp 385,4 miliar. Belum lagi dari pemerintah pusat 
dan pemerintah daerah plus dari bantuan banyak pihak dan lembaga di negeri ini. 
Pastinya udah terkumpul dalam jumlah besar kan?

Mungkin dana ini, jika disalurkan dengan benar langsung kepada korban gempa, 
bisa lebih bermanfaat dan cepat mengakhiri penderitaan saudara kita di sana. 
Meski tentunya masih kurang kalo harus membangun puluhan ribu rumah dan 
bangunan lainnya yang poranda akibat gempa. Tapi seenggaknya kalo urusan makan, 
pakaian, dan tempat yang rada mendingan buat tidur (karena ada warga yang harus 
berdesakan di kandang kambing) aja sih insya Allah cukup. Lagian dananya juga 
insya Allah akan terus mengalir. Entah, nanti kalo hajatan sebulan penuh Piala 
Dunia digelar. Mungkin, aliran dana akan lebih banyak disetor ke para bandar 
judi untuk taruhan nebak skor akhir pertandingan. Bukan tak mungkin kan?

Jerman sebagai shahibul bayt World Cup 2006, akan terus mendapat sorotan dunia. 
Dan Yogyakarta, Bantul, Sleman, dan sekitarnya yang poranda digoyang gempa 
lambat-lambat laun akan dilupakan. Jeritan histeris menyaksikan pertandingan 
sepak bola akan beradu kuat dengan jeritan histeris yang minta pertolongan dan 
kelaparan. Jangan-jangan, mungkin akan banyak nyanyian, tangisan, jeritan, dan 
haru di Jerman sana ketimbang di Yogyakarta. Wallahu’alam. [solihin: [EMAIL 
PROTECTED] http://sholihin.multiply.com]

http://buletinstudia.multiply.com/journal/item/42
-- 
Buletin Remaja Studia terbit setiap Senin sejak Januari 2000, "Gaul, Syar'i, 
dan Mabda'i" Penerbit: Studia Publication. HP 0812-8841181. Website: 
http://www.dudung.net dan http://buletinstudia.multiply.com, e-mail: [EMAIL 
PROTECTED] dan [EMAIL PROTECTED] Mailing List: [EMAIL PROTECTED]

Echte DSL-Flatrate dauerhaft für 0,- Euro*!
"Feel free" mit GMX DSL! http://www.gmx.net/de/go/dsl





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
See what's inside the new Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/2pRQfA/bOaOAA/yQLSAA/9rHolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Mari bersama-sama mengharumkan Islam lewat kebudayaan/seni Islami

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/nasyid-indonesia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke