Saya lanjutin lagi ya artikelnya. Semoga bisa menginspirasi kita untuk
tidak putus asa. Asal mau kreatif & inovatif, selalu ada kesempatan
cuan.






http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=44173



JAWA POS - [ Jum'at, 02 Januari 2009 ] 
Krisis Global Mengubah Gaya Berbelanja Warga Inggris (2) 
Kacaukan Pasar dengan Jual Seperseratus Harga Pesaing 






Banyak brand terkenal yang selama ini mengambil margin keuntungan
terlalu tinggi kelabakan setelah adanya krisis. Produk mereka disaingi
pendatang baru yang menerapkan konsep produk masal, ngetren, dan ambil
margin rendah sehingga bisa jual dengan harga super murah. 

NURANI SUSILO, London 

BERLOKASI di ujung Oxford Street, tidak jauh dari gedung Kedutaan Besar
RI di London, toko pakaian itu tidak pernah sepi dari pegunjung. Setiap
saat, pada jam operasi, konsumen berjubel di gedung tiga lantai yang
luas itu. Mereka sibuk mencoba koleksi pakaian, kaus, sepatu, tas, serta
beragam aksesori yang lain.

Di kasir, antrean selalu panjang dengan masing-masing pembeli menenteng
paling tidak satu keranjang barang belanjaan. Selamat datang di Primark,
toko high street yang fenomenal di Inggris. Di sana, baju dijual dengan
harga yang sama, bahkan di bawah biaya sekali makan siang di London.

Oleh para pemerhati fashion namanya sering dipelesetkan menjadi
Prada-Mark. Bahkan, selebriti terkenal seperti Coleen McLoughlin, istri
bintang sepakbola Wayne Rooney, tanpa risih menenteng tas belanjaan
Primark bersama tas bermerek Cloe atau Balenciaga. Ketenaran produk itu
juga terlihat dari produk keluarannya yang ditampilkan majalah elite
Vogue dan Instyle. Satu model baju bisa terjual hingga puluhan bahkan
ratusan ribu potong. 

Di Inggris yang kini terkena dampak krisis global (credit crunch), merek
paling "in" saat ini bukan lagi Prada, Louis Vuitton, Gucci, Versace,
atau merek desainer terkenal lain, tapi Primark. Sampai-sampai judul
film terkenal tentang dunia fashion, yang diadaptasi dari novel dengan
judul yang sama, The Devil Wears Prada pun diubah dengan nada guyon
menjadi The Devils (now) Wears Primark.

Ketika Primark membuka cabang terbesarnya di Oxford Street, jantung
perbelanjaan di London tahun lalu, peristiwa itu dijuluki sebagai
cultural event dengan ribuan pembeli antre sepanjang jalan. Mereka masuk
berdesakan, saling injak dan dorong, sehingga hampir terjadi kerusuhan.
Di tengah ekonomi yang mendung saat ini, saat produk desainer terkenal
dan high street (istilah di Inggris untuk industri retail) lain turun
penjualannya, Primark justru makin bersinar terang.

Berdiri kali pertama di Dublin, Irlandia, pada 1969, penjualan Primark
kali ini naik 25 persen atau senilai GBP 899 juta (899 juta
poundsterling). Dengan prestasi tersebut, Primark menjadi toko pakaian
terbesar kedua di Inggris. Penjualannya mencapai 10 persen dari total
industri pakaian di sana atau selisih sedikit di bawah Marks & Spencer
(12 persen).

Kunci sukses Primark sangat sederhana. Yakni, harga yang sangat murah,
tapi dengan model yang tidak kalah dengan produk desainer terkenal. Pada
saat krisis (credit crunch) seperti sekarang, Primark "tick all the
boxes", begitu komentar umum di Inggris: bagus, gaya, modelnya selalu
baru, dan murah!

Sebagai contoh tas merek Cloe yang dipakai Coleen McLoughlin harganya
GBP 700 (sekitar Rp 11,3 juta). Namun, tas serupa versi Primark kurang
dari seperseratus harga itu alias hanya GBP 5 (sekitar Rp 81 ribu).
Jaket kulit Primark dijual GBP 12 sangat mirip dengan jaket kulit merek
Gucci seharga GBP 3.000. Begitu pula sepatu. Harga sepasang merek
Christian Louboutin adalah GBP 385, model sepatu serupa dijual hanya GBP
15 di Primark .

Sebagai gambaran murahnya harga-harga di Primark, pengeluaran untuk
sekali makan siang di pusat kota London yang terdiri atas sandwich atau
salad, crisps (keripik kentang), pisang atau apel, serta sebotol air
mineral atau minuman ringan rata-rata GBP 10 atau sekitar Rp 162 ribu.

Awalnya Primark hanya digemari pelajar dan mahasiswa, kalangan yang
memperhatikan penampilan, tetapi dengan bujet yang tipis. Di sana mereka
bisa mendapatkan jins model terbaru dengan harga GBP 12, sementara
paling murah di toko lain adalah GBP 40. Namun, sekarang pekerja
kantoran serta fashionista yang berkantong tebal pun berburu di Primark.

"Saya mendapati editor fashion di Milan (Italia) pun membicarakan produk
keluaran Primark," kata Paula Reed, editor majalah Grazia kepada BBC
Money Program.

Primark beberapa kali menghasilkan produk "ikon" yang diburu warga biasa
hingga selebriti. Tren ini diawali ketika Primark menjual jaket ala
militer mirip yang sering dipakai Michael Jackson saat penyanyi itu
tengah berjaya. Jaket itu kembali populer setelah Kate Moss, model
paling terkenal Inggris, sering memakainya. Jaket serupa buatan Primark
yang tersedia dalam 12 warna dengan harga GBP 18 (sekitar Rp 292 ribu)
laris manis, terjual lebih dari 250 ribu buah. 

Setelah jaket, pada musim panas lalu Primark kembali menjadi incaran.
Hal ini terjadi ketika jaringan yang kini punya 123 cabang itu
mengeluarkan polka-dot dress. Dijual dengan harga GBP 12 per potong,
baju terusan kota-kotak berbagai warna dengan kancing di depan itu
terjual hampir 100 ribu buah.

Belum lama ini sequin dress warna emas seharga GBP 18 sold out di
seluruh toko dalam waktu singkat setelah majalah-majalah mode memujinya.
Begitu dicarinya baju itu, melalui situs lelang internet Ebay beberapa
pemilik menjualnya kembali dengan harga berlipat hingga GBP 85. 

Primark bisa menjual baju dengan harga murah karena produknya dibuat di
Tiongkok, India, atau Eropa Timur. Selain menekan biaya produksi,
Primark mengambil margin keuntungan yang kecil untuk setiap produknya.
Selain harga, Primark memastikan produknya mengikuti tren, ditampilkan
dalam peragaan busana para desainer terkenal, atau dipakai para
selebriti. Strategi kunci lainnya adalah kecepatan. Dari konsep hingga
sampai di toko, Primark hanya perlu waktu maksimal enam minggu.

"Modelnya baru, warnanya bagus-bagus dan lucu-lucu. Model dan warna yang
belum ada di Jakarta," kata Isnaeni Priyantini, wanita asal Bekasi, Jawa
Barat, saat ditemui Jawa Pos di London. "Bahkan, dibanding di Jakarta,
harganya masih jauh lebih murah," tambah ibu lima anak yang memborong
tas dan sepatu Primark untuk oleh-oleh.

Isnaeni tidak sendiri. Kini, para turis mancanegara yang datang ke
Inggris yang biasanya mengeluhkan mahalnya barang dan biaya hidup
seperti menemukan oasis. Memang Harrods, pertokoan paling mewah di
Inggris milik Mohamad Al Fayed, masih ramai. Namun, biasanya di sana
mereka hanya cuci mata (window shopping) dan berfoto di monumen Puteri
Diana-Dodi Al Fayed yang berada di lantai dasar. Tapi, giliran mau
transaksi belanja, mereka berpindah tempat ke gerai Primark. (el)



Reply via email to