Artikel yang menarik sekali tentang arogansi bangsa Inggris. Runtuh gengsi 
mereka ketika ada krisis finansial.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-----Original Message-----
From: "y_dizz" <y_d...@mail2web.com>

Date: Thu, 01 Jan 2009 09:07:09 
To: <obrolan-bandar@yahoogroups.com>
Subject: [obrolan-bandar] Re: Wall Street Merangsek Naik Sekuat Tenaga...



Ngomong2 soal diskon nih, ada artikel menarik.



http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=43995



JAWA POS - [ Kamis, 01 Januari 2009 ] 
Krisis Global Mengubah Gaya Berbelanja Warga Inggris (1) 
Pindah Pasar Swalayanmu, Bukan Gaya Hidupmu





Warga Inggris dulu dikenal sangat menjaga gengsi dan prestise ketika
memilih tempat belanja yang sesuai dengan status sosial mereka. Namun,
krisis finansial yang hingga kini belum diketahui kapan berakhir telah
mengubah segalanya. 

NURANI SUSILO, London 

Bangunannya lebih kecil dibandingkan dengan supermarket yang lain. Lampu
dan hiasannya pun tak terlalu gemerlap, begitu pula catnya yang kelam.
Bukan hanya itu, tempatnya pun biasanya hanya di pojok pusat
perbelanjaan. Tidak heran, sampai beberapa bulan lalu hanya sebagian
kecil warga Inggris yang tertarik berbelanja di tempat itu. 

Poor food for poor people (Makanan murahan untuk warga kelas bawah),
begitu pandangan umum di Inggris kepada Aldi dan Lidl, dua supermarket
murah di Inggris yang dari sisi penampilan adalah si buruk rupa dalam
dongeng Beauty and the Beast. Terutama jika dibandingkan dengan
supermarket besar: Waitrose, Sainsbury, Tesco, ASDA, dan Morrison.

Ini adalah Inggris, negara tempat kelas sosial tidak hanya dilihat dari
perbedaan cara bicara, perbedaan kode pos tempat tinggal, namun juga
pada tempat dia berbelanja kebutuhan sehari-hari. Miliuner akan
berbelanja di Harrods Food Hall, para eksekutif bakal berbelanja di
Waitrose, kelas menengah akan berbelanja di Sainsbury dan Tesco,
menengah bawah memilih ASDA atau Morrison, dan poor people bakal
berbelanja di Aldi dan Lidl. 

''Saya merasa harus mencuci tangan begitu keluar dari supermarket itu,''
demikian salah satu kutipan dari warga Inggris di sebuah surat kabar
sekitar tahun lalu, ketika ditanya apakah dia pernah berbelanja di Lidl.
Saya masih ingat komentar itu karena saat itu kaget dengan arogansi
orang Inggris atau yang sering disebut sebagai snobbish. ''I wouldn't
touch their meat/fish/cheese with the bargepole (Saya tidak akan
memegang daging/ikan/keju mereka, meskipun dengan tongkat panjang),''
komentar lain yang biasa didengar di Inggris.

Namun, seperti juga tidak ada yang menyangka bahwa perbankan Amerika dan
Inggris akan kolaps, warga Inggris pun tidak pernah membayangkan krisis
ekonomi atau credit crunch -istilah yang populer di Inggris- membuat
mereka harus melupakan kelas sosial dalam hal berbelanja. Mereka
terpukul oleh naiknya harga berbagai barang kebutuhan pokok, sementara
penghasilan tetap (bahkan turun). 

Bagi mereka yang bekerja di sektor keuangan, tidak ada lagi bonus
tambahan yang biasanya berlimpah. Tidak ada pilihan lain bagi mayoritas
warga Inggris kecuali dengan berhemat besar-besaran, termasuk di
dalamnya adalah membeli kebutuhan sehari-hari yang lebih murah.

Angela Taylor, seorang warga London, yang ditemui Jawa Pos tampak
bersorak sambil memasukkan barang-barang belanjaan ke mobilnya yang
mengkilat. ''Empat puluh poundsterling (sekitar Rp 655 ribu) untuk 50
barang,'' katanya sambil meneliti kertas struk belanjanya dengan tidak
percaya. 

Selama ini ibu muda itu selalu berbelanja di Tesco, supermarket terbesar
Inggris. Hingga suatu saat, tetangganya mengajak dia berbelanja ke Aldi.
''Sebelumnya saya tidak pernah mengecek harga di toko lain. Tapi,
sekarang saya tidak akan pernah belanja lagi di Tesco,'' tekadnya sejak
berbelanja ke Aldi.

Helen Smith juga tidak kalah gembira dengan Aldi yang membuat program
diskon di bagian sayur-mayur dan buah-buahan. Sebab, anak laki-lakinya
baru pindah ke rumah sendiri sehingga pengeluaran sang anak akan
bertambah. ''Hari ini saya membeli paprika, plums, dan anggur yang
dijual hanya 69 pence per bungkus. Saya akan tunjukkan kepada anak saya
struk 2,06 poundsterling untuk belanjaan saya. Padahal, dia menghabiskan
2,06 poundseterling hanya untuk anggur di Waitrose,'' kata ibu pensiunan
itu.

Tahu banyak warga Inggris yang melirik ke jaringan pasar swalayannya,
Aldi yang kantor pusatnya berada di Jerman gencar berpromosi. Salah satu
di antaranya dengan menempelkan poster di pintu masuk tokonya. Isi
pesannya: membandingkan harga satu keranjang berisi belanjaan di tokonya
dan di supermarket lain: Tesco 44 GBP (poundsterling), ASDA 46,05 GBP,
Sainsbury 48,15 GBP; dan Morrison 50 GBP. Sementara Aldi dengan
keranjang yang sama isinya, susu, daging asap, tisu, roti tawar, hingga
krem antikeriput hanya dijual 37,47 GBP!

Yang juga membuat Aldi makin digemari, meski harganya murah, kualitas
produk yang dijualnya pun tidak kalah. Krem antikeriput yang dijual di
Aldi dengan harga GBP 1,89 per botol, misalnya, menurut sebuah acara
lifestyle di TV Inggris terpilih sebagai the best bersama dengan krem
yang sama (merek Lancome) seharga GBP 50.

Terjadinya credit crunch membuka kedok bahwa banyak supermarket besar di
Inggris yang mengambil margin keuntungan yang jauh lebih tinggi daripada
seharusnya. Kenyataan itulah yang diungkapkan Aldi dalam kampanye
iklan-iklannya. Slogan terakhir Aldi adalah Don't change your lifestyle,
change your supermarket (Jangan ubah gaya hidupmu, tapi ganti pasar
swalayanmu). Menurut data, penjualan Aldi pun naik 30 persen sejak
credit crunch melanda Inggris.

Supermarket murah lain, Lidl juga diuntungkan krisis saat ini.
Pertumbuhan pasar swalayan yang juga berasal dari Jerman itu naik 13
persen. Menurut survei independen majalah Which? Lidl terpilih sebagai
pasar swalayan terbaik dengan harga termurah (the Best Value-for-Money
Retailer).

Tentu saja, supermarket lain yang ditinggalkan pembelinya ke Aldi atau
Lidl tidak tinggal diam. Mereka berupaya menurunkan harga dan juga
menjual barang dengan gaya Aldi dan Lidl, serta dengan harga yang tidak
kalah murah. Selain menurunkan harga jual barang-barang yang sudah punya
merek terkenal, kini supermarket seperti Sansbury, Tesco, ASDA, dan
Morrison menjual barang merek mereka sendiri dengan kemasan sederhana
dan dijual sangat murah. ASDA, misalnya, menjual roti tawar, telur,
cereal, dan tepung dengan masing-masing seharga 50 pence dengan label
''ASDA smart price''.

Perang harga atau price war atau supermarket war -begitu media-media
Inggris menyebutnya- membuat para pengelola supermarket Inggris saling
berlomba menarik pembeli dengan menawarkan barang yang semurah-murahnya.
Lebih murah daripada supermarket saingannya.

Terry Tyrrell, direktur utama Brand Union, lembaga konsultasi merek yang
bermarkas di London, mengakui bahwa credit crunch telah meruntuhkan
prinsip orang Inggris dalam berbelanja. Dulu masyarakat di sana dikenal
sebagai the most class-conscious shopping habits di Eropa, yakni
seseorang berbelanja untuk memperlihatkan status sosialnya di
masyarakat. 

Dengan adanya krisis yang mengganggu kantong mereka, lanjut Terry
Tyrrell, terjadi perubahan dari ''status'' ke ''value''. Orang tidak
lagi peduli apakah supermarket pilihannya mencerminkan kelas sosial
mereka. ''Tapi, lebih pada apakah supermarket pilihannya bisa
menguntungkan diri mereka.'' (el)







--- In obrolan-bandar@yahoogroups.com, "Dean Earwicker"
<dean.earwic...@...> wrote:
>
> Bah, macam mana turun 100%... gratis dong..? :)
>
> Regards,
> DE
>



Kirim email ke