HARUS ADA ATURAN DAERAH SOAL BIAYA SEKOLAH [ Rabu, 11 Agustus 2004 | 9 pembaca | 4.703 byte ]
JAKARTA (Media): Untuk mencegah munculnya persoalan biaya sekolah, pemerintah provinsi harus membuat peraturan daerah pendidikan. Upaya ini sebagai cara mengontrol aturan main yang diterapkan sekolah. Demikian salah satu kesimpulan yang muncul pada acara Diskusi Panel Peranan Komite Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan oleh Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik), kemarin. Menurut Syamsidar Siregar, panelis dari Komisi E DPRD DKI Jakarta, banyaknya laporan orang tua tentang tingginya biaya sekolah serta 'pemaksaan' bayaran oleh sekolah, terjadi akibat komunikasi yang tidak jalan antara orang tua siswa, kepala sekolah, dan komite sekolah dalam penetapan biaya sekolah, dan kepala sekolah dianggap kurang transparan. Selain itu, penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), antara komite sekolah dan orang tua siswa, kebanyakan hanya berisi laporan, tanpa memberi tahu kepada orang tua siswa berapa besar penerimaan sekolah tersebut. Syamsidar juga menilai gejolak di sekolah muncul, karena penetapan biaya yang harus ditanggung orang tua siswa dipukul rata, sehingga siswa yang tidak mampu akan menderita kerugian, karena biaya yang diterapkan dirasakan membebani. Kondisi seperti itu bisa terjadi, lanjut Syamsidar, karena tidak aturan standar yang mengikat dengan sangsi yang jelas terhadap pelanggaran. "Kondisi seperti di atas, bisa terjadi karena belum ada perda tentang pendidikan," kata dia. Ketua Dewan Pendidikan Jakarta Barat, H Muhasim berpendapat senada. Menurut dia, tidak adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan pendidikan di daerah, menyebabkan banyak pihak leluasa mengedepankan kepentingannya sendiri-sendiri, sehingga muncul ekses-ekses negatif pada pengelolaan pendidikan, dan tidak jarang pengelolaan pendidikan menjadikan lembaga pendidikan sebagai ajang bisnis. Ia mencontohkan banyak sekolah bersama dengan komite sekolah yang menentukan biaya pendidikan seenaknya, tanpa memerhatikan kondisi masyarakat di lingkungan sekolah tersebut. Sementara Azhar Lubis, Ketua komite Pendidikan SMUN 8, mengatakan bahwa DPRD tidak perlu lagi menunggu pemerintah untuk membuat perda pendidikan tersebut, sebab DPRD memiliki hak inisiatif untuk mengajukan perda lebih dahulu, untuk selanjutnya dibicarakan dengan DPRD. Menanggapi usulan Perda Pendidikan tersebut Ahmad Heryawan, dari Komisi E DPRD DKI Jakarta dan Syamsidar Siregar berjanji akan memprioritaskan inisiatif Perda Pendidikan pada masa kerja DPRD baru yang akan datang. Sedangkan mengenai kinerja komite sekolah, Didi Supriyadi meyakini banyak komite sekolah yang sudah melakukan fungsi dan tugasnya dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti penggalangan dana dan membantu sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Namun demikian diakuinya, masih ada komite sekolah yang justru ingin menjadi komite sekolah sebagai ladang pekerjaan baru, sehingga mereka meminta gaji, uang saku, ataupun tender proyek pembangunan sekolah. "Bahkan ada komite sekolah yang ingin mendirikan yayasan dengan dalih ingin memajukan sekolah," kata Didi sembari menambahkan bahwa pembentukan yayasan dalam sekolah hanya akan menimbulkan nuansa bisnis di sekolah, dan pada akhirnya dipastikan akan merugikan siswa. Panelis lainnya, Widhya Bagja, Komite sekolah SMAN 39, justru heran dengan adanya fenomena seperti itu. "Pembentukan komite sekolah disahkan oleh kepala sekolah, jadi saya sangat heran bila kepala sekolah mengesahkan kepengurusan komite sekolah seperti itu, ada apa?," kata Widhya yang mengaku sebagai staf ahli Panglima TNI. Di sisi lain menyinggung 'mahalnya', Syamsidar mengemukakan bahwa perlu dibuat standar biaya berdasarkan kemampuan ekonomi orang tua, dengan demikian siswa yang orang tuanya tidak mampu tidak akan membayar biaya sekolah terlalu tinggi. Atau bagi orang tua yang tidak mampu akan dibebaskan dari beban biaya, dan sebaliknya orang tua siswa yang mampu hendaknya bisa memberi subsidi silang. Tapi dalam pandangan Bejo Suyanto, Ketua Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Nasional Jakarta (LPM-UNJ), mengatakan standardisasi itu amat diperlukan untuk mengurangi beban biaya orang tua pada awal masa tahun ajaran baru. Hanya saja dalam pandangan Margani Mustar, panelis lainnya yang juga Kadis Dinas Dikmenti DKI Jakarta, melihat penentuan standardisasi biaya seperti itu, amat sulit dilakukan. Sebab sekolah di DKI memiliki keragaman yang sangat tinggi, baik keragaman dalam hal kemampuan orang tua siswa, atau keragaman dalam hal kebutuhan sekolah bagi proses belajar mengajar. Margani khawatir standardisasi akan berdampak pada tersendatnya peningkatan kualitas sekolah dan siswa lulusannya. (sumber: media indonesia : Hru/B-4) --------------------------------- Yahoo! Messenger - Communicate instantly..."Ping" your friends today! Download Messenger Now ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________