Innallaaha ya'muru bil adli wal ihsaani. "SEJUMLAH anak yang mengalami kekurangan makan (baca: kelaparan) di Lombok, NTB, akhirnya meninggal dunia". Demikian laporan sebuah stasiun televisi beberapa hari lalu seraya menayangkan gambar anak-anak balita yang meninggal dunia dalam kondisi mengenaskan.
Di daerah mana pun di Tanah Air tercinta ini, apabila ada yang meninggal lantaran menderita kelaparan, sejatinya adalah sebuah tamparan keras bagi pengelola negara (umara'), dari pejabat yang paling tinggi sampai pejabat yang paling rendah. Ironis memang, di negeri permata khatulistiwa yang subur ini, peristiwa tragis itu masih saja terjadi. Yang mestinya juga merasa tertampar dengan munculnya peristiwa memilukan itu adalah kita yang mengaku sebagai orang beriman. Betapa tidak, karena kualitas keimanan kita berkaitan langsung dengan kepedulian sosial di mana kita berada. Sungguh, mestinya hati kita sedemikian gentar manakala kita menyadari bahwa ciri-ciri penghuni neraka adalah orang-orang yang semasa hidupnya di dunia tidak (berupaya) saling berpesan dalam kesabaran dan tidak pula saling berpesan dalam kasih sayang, misalnya untuk menyantuni mereka yang sedang kelaparan. Inilah ciri-ciri penghuni neraka menurut Allah SWT: "Orang-orang yang tidak memberi makan pada hari kelaparan kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat atau orang miskin yang sangat fakir (sehingga tidak mampu makan atau memberi makan anaknya sebagaimana mestinya). Dan (tidak pula) termasuk orang-orang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih saying," (Q.S. al-Balad [90]: 14 - 17). Bisa saja karena kebetulan, peristiwa menyedihkan yang terjadi di bumi Gora (NTB) itu, ditayangkan media massa seiring dengan maraknya penayangan upaya pemberantasan korupsi dan penjarahan kekayaan negara, seperti penebangan liar (illegal logging) dan semacamnya. Tampaknya, kedua peristiwa itu, yakni kematian balita karena kelaparan di satu sisi, dan ramainya pemberitaan berbagai kasus korupsi dan pencurian kekayaan negara di sisi yang lain, terdapat "benang merah" yang menghubungkan kedua peristiwa itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Fakta-fakta seperti itu, bagaimana pun menunjukkan satu hal, bahwa kita memang belum mampu mewujudkan amanah UUD 1945, khususnya dalam hal memanfaatkan kekayaan negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan perintah Allah SWT agar kita menyantuni fakir miskin melalui zakat, infaq dan shodaqoh, belum juga dapat kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Karena itu, betapa pentingnya bagi setiap orang beriman untuk ikut serta dalam mengembangkan dan memperkuat keberadaan Badan Amil Zakat yang ada. Adalah bukan isapan jempol manakala kesejahteraan yang kita harapkan menjadi sulit diwujudkan lantaran belum tegaknya hukum dan keadilan sebagaimana mestinya. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat yang dikutip pada awal Mimbar ini, Allah SWT menginstruksikan agar kita berlaku adil: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ahsan," (Q.S. an-Nahl [16]: 90). Kondisi penegakan hukum dan keadilan yang masih jauh dari memuaskan, diharapkan menyadarkan kita semua, khususnya para "hamba hukum" di negeri ini untuk dengan lebih serius melaksanakan tugasnya, sehingga kesejahteraan yang kita harapkan tak hanya menjadi mimpi di siang bolong. Sayyidina Ali r.a. "menerjemahkan" kata ahsan (kebajikan) dalam surah an-Nahl tersebut sebagai kedermawanan. Jadi, bisa dibayangkan betapa jika semakin banyak orang beriman melaksanakan instruksi Allah itu, tentu akan semakin terkikis kemiskinan di sekitar kita. Yang tidak kalah pentingnya adalah, melalui "jembatan" tegaknya keadilan itulah kesejahteraan akan mudah diwujudkan. Umara' (penyelenggara negara) yang berupaya bersikap adil dan ahsan, bisa ditemui, misalnya pada diri Umar bin Khattab r.a. Sampai-sampai Khalifah Umar memanggul sendiri bahan makanan yang mesti diberikan kepada fakir miskin yang, kala itu, diketahui mengeluh tidak mampu membeli makanan. Umar, sebagaimana dia kemukakan kepada sahabatnya, takut pada suatu hari kelak di mana dia dimintai pertanggungjawab, yakni pada hari kiamat. Sesungguhnyalah tidak seorang pun yang tidak dimintai pertanggungan jawab di hari kiamat terhadap apa pun yang telah dilakukan saat menjalani kehidupannya di dunia yang singkat ini. Karena itu, peringatan Allah SWT dalam Alquran, maupun penegasan Rasulullah SAW sehubungan dengan pentingnya menyantuni fakir miskin dan anak yatim, sungguh layak diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, maka kerugianlah yang akan diderita, baik di dunia maupun di akhirat kelak. "Bukan termasuk orang beriman, apabila dirinya kenyang, tapi membiarkan (begitu saja) tetangganya yang lapar," demikian sabda Rasulullah SAW. Sedangkan yang dimaksud tetangga di sini adalah bukan hanya sebatas tetangga sebelah, namun tetangga dalam radius 40 (empat puluh) rumah dari rumah kita. Seriuskah kita dengan keimanan kita? Jawabnya, tentu saja tercermin dalam seberapa serius diri kita, apakah secara pribadi atau berkerja sama (berjamaah), memperhatikan dan menyantuni fakir miskin yang ada. --------------------------------- Do You Yahoo!? Yahoo! Small Business - Try our new Resources site! _____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________