Oleh: Ninuk Mardiana Pambudy & Dahono Fitrianto

Kompas, Minggu, 24 Juli 2005

Dalam ”The Orphan of Modernity and the Clash of Civilisations” (www.scholarofthehouse.com), Profesor Dr Khaled Abou Al Fadl, profesor hukum dengan spesialisasi hukum Islam dari Fakultas Hukum University of California di Los Angeles, menyebut kelompok Islam radikal adalah produk sampingan kolonialisme dan modernitas, bukan warisan paradigma Islam.

Hal itu juga dijelaskan Prof Al Fadl kepada Kompas saat ditanyakan mengapa antara Islam dan modernitas kerap terjadi ketegangan. Sejak Minggu (17/7) hingga Selasa (26/7), Prof Al Fadl berada di Jakarta dan Yogyakarta atas undangan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Sebelumnya, Prof Al Fadl berada sepekan di Singapura dan setelah Yogyakarta dia terbang ke Kuala Lumpur, Malaysia.

Selama di Jakarta Prof Al Fadl memberi ceramah dan berdialog dengan tokoh agama dan masyarakat, antara lain dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dan di Yogyakarta memberi keynote speech pada International Conference on Islam, Women and New Social Order. Berikut petikan wawancara Kompas dengan komisioner pada United States Commission on International Religious Freedom yang dibentuk Pemerintah Amerika Serikat.

Dalam ceramah di Jakarta, Senin (18/7), dan juga disebut dalam buku Anda, Speaking in God’s Name, Anda menyebut individu atau kelompok otoriter dan individu yang otoritatif.

Di dalam buku itu saya menyusun prinsip metodologi dan moral, yaitu apa dasar yang dimiliki seseorang yang mengklaim dirinya berbicara atas nama Tuhan. Saya tidak mengatakan tak seorang pun dapat berbicara mengenai keinginan Tuhan, tetapi yang saya maksud adalah tidak seorang pun dapat berbicara atas nama Tuhan. Ada beda besar di situ.

Apa yang diinginkan Allah kita ketahui melalui elemen kebenaran. Al Quran adalah elemen kebenaran dalam bentuk teks; dan elemen kebenaran yang lain adalah penggunaan akal. Dan apa yang diketahui akal harus disertai pengetahuan karena Allah menciptakan akal manusia menurut aturan tertentu.

Bila seseorang berbicara mengenai Tuhan, dia dapat saja otoritatif, yaitu orang yang dapat Anda mintai pendapat karena mereka jujur, rajin, memeriksa semua petunjuk dalam teks dan alam secara filosofis dan menyeluruh.

Namun, mengatakan patuhi saya atau Anda bukan Muslim, itu adalah otoriter. Otoriter adalah tindakan merampas wilayah milik Tuhan, dan wilayah Tuhan adalah otoritas absolut untuk mengatakan, menilai, memutuskan, dan memulai serta mengakhiri sesuatu.

Dan, buku Speaking in God’s Name seperti lapis-lapis filsafat dan pembaca yang berbeda akan sampai pada lapisan yang berbeda karena saya juga mengajukan argumentasi bahwa otoriter sesungguhnya adalah sekuler sejati.

Bisa dijelaskan?

Sekuler sejati karena tindakan otoriter membatalkan Tuhan dan menempatkan manusia di tempat Allah. Ketika saya mengatakan saya yang memutuskan serta mengatakan apa yang Islam dan bukan Islam dan mengatakan saya memiliki kekuasaan eksklusif, saya meniadakan Tuhan. Keputusan itu menjadi keputusan manusia, bukan keputusan Tuhan. Ketika itu keputusan manusia, itu adalah sekuler sejati.

Jadi, otoriter seperti monopoli di pasar gagasan, sedangkan otoritatif adalah seperti pasar bebas di pasar gagasan. Semua gagasan dan argumentasi tersedia di sana dan memberi kebebasan kepada manusia, kreasi Tuhan terbesar yaitu kreasi tentang pilihan yang membedakan kita dari makhluk lain ciptaan Tuhan. Apa pun yang mencabut elemen kebebasan memilih itu, bukan hanya itu otoriter, tetapi juga membatalkan tujuan penciptaan manusia, membatalkan kemanusiaan kita.

Mengapa banyak individu atau kelompok yang tidak toleran pada agama lain atau bahkan dalam kelompok agamanya sendiri?

Intoleransi terjadi ketika sebuah agama menganggap agama lain, karena tidak mau mencari keselamatan menurut agama yang pertama, maka pengikut agama lain itu menjadi tidak berharga sebagai manusia. Dan karena mereka didehumanisasi, lalu secara psikologis Anda percaya Anda bukan membunuh manusia melainkan membunuh setan, kejahatan.

Tidak diragukan, dalam hubungan antar-agama, Islam adalah yang paling toleran. Alasannya, ini dikatakan Al Quran berulang kali secara jelas, ”orang-orang di antara kamu—kepada penganut Kristiani, Judaisme—yang melakukan perbuatan baik dan berterima kasih kepada Allah, mereka tidak perlu takut dan tidak perlu menderita lebih banyak.”

Yang diajarkan Islam adalah manusia sebagai ciptaan yang memiliki akal, memiliki kemampuan memilih, dan karenanya harus ditinggikan derajatnya. Karena itu Al Quran mengatakan, ”kita harus meninggikan derajat manusia” dan bukan ”meninggikan derajat Muslim”.

Persoalannya adalah kebodohan atau ketidaktahuan. Di dalam banyak masyarakat, termasuk Islam, ketika masyarakatnya makmur dan pengetahuan menyebar dan orang dengan pengetahuan terbanyak yang paling dihargai, toleransi menyebar. Dan pada masyarakat yang tidak makmur, ketidaktahuan yang terjadi dan di situ muncul dakwah berisi kebencian, bukan menyembah Tuhan, tetapi menyembah si pendakwah. Hasilnya adalah intoleransi, tidak bisa lain.

Bagaimana dengan intoleransi di antara kaum Muslim sendiri?

Sejak masa awal Islam, selalu ada kelompok minoritas yang teologi mereka menjadikan mereka menyebut yang lain sebagai kafir. Masalah dengan kelompok ini adalah mereka hanya paham sedikit mengenai tradisi nilai perbedaan di dalam Islam, yaitu perbedaan dan keragaman adalah berkah untuk sebuah bangsa, bukan kutukan.

Islam, di antara agama-agama monoteis lainnya, secara relatif adalah yang paling dapat menghindari fenomena intoleransi di dalam agama. Sebuah hadis yang paling terkenal menyebutkan, ”Siapa pun yang menyebut orang Muslim lainnya sebagai kafir, dia sendiri berada di perbatasan menjadi kafir”. Karena, dengan menyebut orang lain kafir itu menunjukkan dia tidak mengenal Allah.

Selalu terjadi ketegangan antara Islam dan modernitas?

Persoalan terbesarnya adalah kita umat Islam bukan bagian dari pencipta modernitas, orang Muslim absen dari penciptaan modernitas.

Kolonialisme sengaja memutus kaum Muslim dari akarnya sehingga sebagian besar Muslim tidak tahu mengenai tradisi Islam. Orang-orang ini, saya tulis dalam salah satu esai saya, sebenarnya milik budaya, kemarahan, dan fundamentalisme modernitas. Mereka bukan berasal dari tradisi Islam. Mereka adalah apa yang saya sebut ”yatim piatu dari modernitas”. Modernitas datang dan menjadikan mereka yatim piatu karena mereka dicabut dari akarnya oleh kolonialisme.

Setelah kolonialisme, orang Muslim tidak mencoba mencari akar tradisinya dan menjawab tantangan modernitas dengan menyandarkan diri pada akar tradisi. Apa yang dilakukan tidak cerdas, yaitu bergegas mengadopsi ideologi apa pun yang berasal dari luar.

Bila Anda tidak memiliki akar, Anda tidak memiliki alat untuk menstabilkan diri Anda. Modernitas bergerak dalam fase yang cepat, sementara orang Muslim hanya belajar mengenai hal yang diimpor dari Barat.

Jadi, orang Muslim selalu tertinggal?

Bila orang Muslim ingin mengejar modernitas dengan basis peradaban Islam, mereka harus menguasai ilmu pengetahuan modern seperti yurisprudensi, antropologi, positivisme, naturalisme, sosiologi, realisme, dan menguasai kitab-kitab tua Islam.

Mereka yang menguasai hanya ilmu-ilmu baru tidak dapat menjawab tantangan modernitas berbasiskan Islam. Banyak orang seperti itu, mereka mengimitasi Foucault atau Derrida, tetapi tidak ada respons orisinal terhadap modernitas. Di sisi lain, kita menemui orang yang hanya belajar dari buku-buku tua, seolah-olah dunia ini berhenti.

Bila kita membaca dan mempelajari Al Quran dan meresapkannya dalam hati, kita akan melihat Islam adalah tentang etika dan moral. Etika Islam pada dasarnya adalah menghormati dan menghargai seluruh ciptaan-Nya. Al Quran menyebutkan Tuhan menciptakan manusia berbeda- beda. Padahal, jika Tuhan menghendaki kita semua satu, kita semua menjadi Muslim. Dia juga mengatakan kepada kita untuk tidak melakukan kerusakan—korupsi—di muka Bumi.

Anda memberi perhatian khusus mengenai ketidaksetaraan relasi jender dan dalam buku In God’s Name Anda mengangkat topik bra dan sepatu tumit tinggi?

(Tertawa) Sebenarnya bukan hanya itu topik yang saya sampaikan. Dengan memilih dua topik itu, saya sengaja ingin menunjukkan keabsurdan pemahaman otoriter. Orang-orang otoritarian itu dapat diumpamakan orang yang sujud dan seharusnya berserah diri kepada Allah, tetapi masih punya waktu memerhatikan apakah orang itu memakai sepatu hak tinggi atau bra.

Ini inkonsisten dengan makna kepatuhan dan berserah diri seperti yang dikehendaki Islam. Tanpa otoritas dari Allah kepada Anda, tiba-tiba Anda menemukan sesuatu di dalam Quran dan mengambilnya lepas dari konteks, kemudian sengaja mencari-cari kesalahan perempuan. Hal ini bukan hanya menindas, tetapi mencari-cari kesalahan yang tidak perlu.

Mengapa mengangkat isu perempuan?

Karena Allah itu tidak berjenis kelamin. Allah menyayangi perempuan dan terlihat dalam Al Quran selalu disebut al mukminin dan al mukminat, laki-laki dan perempuan beriman.

Al Quran jelas-jelas menyebutkan adanya kemitraan antara keduanya untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kejahatan. Al Quran tidak mengecualikan perempuan dalam melaksanakan perintah itu. Dalam Islam, sama sekali tidak ada pernyataan yang menyebutkan Hawa menyebabkan Adam melakukan dosa.

Saya bersikeras memasukkan isu perempuan karena mereka separuh ciptaan Allah dan Allah memerintahkan kita menghormati seluruh ciptaannya. Kaum Muslim tidak akan pernah bisa makmur, tidak bisa menjawab tantangan modernitas, kecuali perempuan diberi haknya secara utuh dan sama dengan laki-laki, karena dalam modernitas Anda perlu semua intelektual di masyarakat untuk bekerja bersama.

Dalam kasus Indonesia, sejumlah daerah karena otonomi daerah ingin menerapkan syariah Islam sebagai hukum formal. Apakah masih relevan saat ini?

Menurut saya, orang yang berpendapat demikian sebenarnya tidak memahami syariah sebenarnya. Tujuan syariah adalah mencapai kemakmuran masyarakat. Syariah terbagi dua, yaitu ibadah yang berhubungan dengan ritual dan muamalat yang berhubungan dengan manusia lain.

Dalam ibadah, kita tidak mencampuri dan memaksa orang.

Tentang muamalat, hubungan antarmanusia, prinsip dasarnya adalah berinovasi, bukan meniru. Berinovasi berdasarkan kesejahteraan masyarakat. Itu sebabnya Umar bin Khattab menolak menerapkan hukuman pada pencuri ketika kondisi Madinah sedang buruk.

Prinsip etika dan moral Islam tidak pernah berubah, tetapi ketika berbicara tentang perintah positif dan aturan Islam, harus dipikirkan dan dipertimbangkan ulang berdasarkan perkembangan zaman.

Tentang hukuman potong tangan pada pencuri, misalnya, harus dipertimbangkan beberapa kondisi yang disyaratkan Islam sebelum menjatuhkan hukuman itu. Apakah negara mampu menanggung kehidupan orang itu setelah dipotong tangannya? Apakah masyarakatnya juga mampu bersikap etis dengan tak memandang rendah orang itu? Jadi, tidak sesederhana itu untuk mengatakan, ”Ah, kita terapkan syariah!”

Selain itu, kesadaran seseorang tentang dunia pada zaman lain dapat saja berbeda. Ayat Al Quran yang menjelaskan hal itu dapat dipahami bermakna: jangan biarkan pencuri menjadi makmur di antara kalian. Bersikap tegaslah dalam mencegah pencurian. Kalau kita sembarangan menerapkan ini, akan terjadi banyak ketidakadilan dan ketidakadilan bertentangan dengan tujuan syariah.


Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke