Assalamualaikum,wr,wb. Sebuah rubrik yang diambil dari Harian Singgalang online hari ini.
Wassalam, HM Dt.MB (48,5 th) RATUSAN RUMAH GADANG TERANCAM ROBOH PADANG - Ratusan rumah gadang di Sumatra Barat terancam roboh. Apakah itu juga sebagai pertanda adat di Minangkabau juga akan ambruk?Bangunan yang diidentikkan sebagai lambang kebanggaan kaum itu saat ini berada dalam berbagai kondisi, antara lain dinding dan tonggak dimakan rayap, atap bocor dan lainnya. Salah satu penyebabnya adalah anggota kaum merasa kurang beruntung tinggal di rumah yang dibangun dengan gaya rumah panggung itu. Mereka dipandang orang miskin dan tidak berdaya membangun rumah untuk keluarga intinya. Akankah cerita 'Robohnya Surau Kami' karya A.A Navis akan mendapatkan versi baru menjadi 'Robohnya Rumah Gadang Kami' dengan penulis baru menjadi dokumen sastra negeri ini? Berikut temuan wartawan Singgalang dari beberapa daerah di Sumbar. Keberadaan rumah gadang yang nyaris roboh banyak terdapat di Kabupaten Tanah Datar. Kendati kabupaten itu dijuluki sebagai pusat budaya Minangkabau, rumah adat yang tidak terawat mudah ditemukan di daerah itu. Sebutlah di Pagaruyung, minimal ada satu rumah gadang dengan kondisi tanpa dinding dan atap bocor. Di Nagari Rao-rao, Kecamatan Sungai Tarab, paling tidak ada tiga rumah gadang dengan kondisi yang tak kalah memprihatinkan. Begitu juga di Kecamatan Lima Kaum, ada sekitar dua rumah gadang terancam roboh. Sekitar tiga rumah gadang lagi terdapat di Kumango. Di Nagari Padang Ganting dan Atar juga tidak kurang puluhan rumah gadang terancam ambruk. Sekarang rumah tersebut hanya digunakan sebagai gudang dengan kondisi lapuk dan atap bocor. Dari pantauan Singgalang, setidaknya setiap nagari yang berjumlah 75 nagari itu terdapat satu rumah gadang yang terancam runtuh. Sementara di Kabupaten Solok Selatan yang dikenal dengan julukan seribu rumah gadang juga dilanda fenomena yang sama. Kendati belum ada data riil tentang jumlah rumah gadang, berdasarkan survey Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Solok Selatan, dari jumlah yang mencapai ribuan itu, 5 persennya dalam kondisi rusak parah. Kabid Dikporabud Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Solok Selatan, Mukyar Muluk mengatakan, sekitar 30 persen rumah gadang tidak didiami lagi, 55 persen dihuni, dan 10 persen lagi dipakai sekali setahun. Menurut mantan Ketua KAN Pakan Rabaa Kecamatan Koto Parik Gadang Diateh (KPGD), Yuliar Dt. Rajo Salam, penyebab tidak dihuninya rumah gadang salah satu faktornya perselisihan anggota kaum. Sementara Sekretaris Suku Durian Nan Limo Ruang, Drs. Firdaus Dt. Nan Batuah Majo Lelo, berpendapat lain. Ia menilai, terancam robohnya rumah gadang adalah imbas kemajuan zaman. Rumah gadang dipandang tidak relevan lagi sebagai tempat tinggal, karena tidak memiliki WC, kamar mandi dan fasilitas lainnya. Baik Yuliar maupun Firdaus berpendapat, dalam waktu dekat ini rumah gadang berpotensi punah. Pasalnya, ada imej yang terbangun di masyarakat bahwa orang yang tinggal di rumah gadang adalah keluarga miskin. Selain itu, biaya perawatan rumah gadang tergolong besar nilai nominalnya dan ditambah lagi dengan kurangnya kesadaran anggota kaum untuk melestarikan rumah tersebut. Sedangkan Kabupaten Dharmasraya yang jumlah rumah gadangnya mencapai 400 buah, separuhnya terancam ambruk. Kebanyakan rumah gadang itu terdapat di Gunung Medan dan Pulau Punjung. Ada rumah tanpa penghuni dan diselimuti semak belukar. Tetapi anehnya, kebanyakan rumah gadang di daerah itu malah dihuni oleh pendatang yang merantau ke sana. Rumah gadang bukannya dihuni oleh anggota kaum, melainkan orang lain yang mencari penghidupan di sana. Sementara anggota kaum sendiri merasa terhina tinggal di rumah gadang. Pasalnya, tinggal di rumah gadang dianggap sebagai orang yang tidak berdaya secara ekonomi. Selain itu juga faktor gengsi, masyarakat lebih merasa modern kalau tinggal di rumah yang berlantai keramik daripada tinggal di rumah panggung.Di Kota Solok juga ditemukan sekitar 25 dari 75 rumah gadang dalam keadaan memprihatinkan. Seperti rumah gadang di tepi Jl. KTK. Menurut Ketua LKAAM Kota Solok, H. Yusril Dt. Khatib Pamuncak mengatakan, banyak rumah gadang dengan keadaan yang menyedihkan. Setidaknya sebanyak 15 rumah gadang juga sedang direnovasi dengan perpaduan bangunan batu dan kayu serta tidak lagi beratap ijuak. Rumah gadang riskan hilang kalau tidak ada kepedulian kaum untuk menyelamatkannya. Apalagi untuk membangun rumah gadang atau renovasinya butuh dana yang tidak kecil. Sekretaris LKAAM Kabupaten Solok, Naspi Datuk Mudo Nan Itam mengatakan, setidaknya di Kabupaten Solok terdapat 1.000 rumah gadang. Sebagiannya kondisi rumah tersebut masih utuh, namun sebagian besar lagi dalam keadaan rusak yang nyaris roboh. Dindingnya dimakan rayap dan atapnya kebanyakan bocor. Menurut Naspi, tradisi merantau adalah penyebab terlantarnya rumah gadang. Selain itu, perkembangan di masyarakat, rumah gadang bukan lagi dijadikan tempat utama dalam penyelesaian masalah keluarga maupun kaum. Kecenderungan lain, anak yang sudah berkeluarga enggan tinggal di rumah gadang. Lebih suka membangun rumah sendiri meski lokasinya tak jauh dari rumah gadang. Rumah gadang yang sekarang berada dalam tahap renovasi, antara lain di nagari Saningbakar, terdapat 18 unit rumah gadang yang direnovasi yang biayanya berasal dari pemerintah provinsi Sumbar. Di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung rumah gadang sudah banyak terlihat lapuk dan tidak terawat sehingga kondisinya terancam roboh. Diperkirakan ada sekitar 300 unit rumah gadang di daerah yang terkenal dengan julukan lansek manih itu. Salah satu penyebab terancam robohnya rumah gadang tersebut adalah besarnya biaya perawatannya. Sehingga tidak salah rasanya kalau masyarakat setempat lebih memilih membangun rumah baru daripada merenovasi rumah gadang. Sehingga rumah gadang mulai sulit ditemukan. Kalaupun ada, rumah gadang dimaksud sudah direnovasi dan nyaris kehilangan identitasnya sebagai rumah kebesaran kaum. Selain itu, rumah gadang tesebut jarang dihuni masyarakat dan terkesan hanya sebagai lambang kebesaran kaum di daerah itu. Menurut Zainal Wann, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sawahlunto Sijunjung mengatakan, rumah gadang yang terdapat di daerah ini diperkirakan masih banyak dan masih dihuni oleh masyarakat setemapt. Di nagari Sijunjung misalnya, ada sebuah perkampungan masyarakat yang masih didominasi banguann rumah gadang. Sekitar 95 persen bangunan yang ada masih berupa bangunan rumah gadang lama dengan usia yang tergolong tua. Namun kondisi bangunannya sudah lapuk. Hal itu terjadi karena ketidakberdayaan keuangan kaum untuk memperbaikinya. Di Kabupaten Agam, tepatnya di Paninjauan, Koto Kacik, Tanjung Raya dan Tilatang Kamang, dan Banuhampu di Kabupaten Agam, masih terdapat rumah gadang. Namun rumah-rumah tersebut terkesan lusuh, tidak terawat dan dibiarkan begitu saja dimakan zaman. Ada pula rumah gadang yang dirombak dan hal itu nyaris menghilangkan identitasnya sebagai rumah gadang. Seperti halnya rumah gadang kaum mantan Presiden RI, Mr. Assaat yang sukunya Pili di Banuhampu. Rumah gadangnya sudah banyak yang dirombak, sehingga tidak lagi terlihat seperti aslinya. Menurut Muhammad Irfan, 25, salah seorang cucu, Mr. Assaat, kini rumah gadang yang pernah dihuni Mr. Assaat, kakeknya tidak ada lagi, karena sudah dirombak, kendati demikian modelnya dengan mudah dapat dilihat persis seperti yang terdapat di Area Kebun Binatang Bukitinggi. Rumah adat yang terdapat di sana modelnya diambil dari rumah kediaman Mr. Assaat. Seandainya tidak ada aral melintang dalam tahun 2006 nanti, keinginan keluarga akan direalisasikan untuk merehab rumah adat tersebut, persis seperti aslinya, termasuk perabotannya. Wali Nagari Banuhampu, Gusmal Sutan Batungkek Ameh, menuturkan upaya pelestarian rumah gadang sudah pernah disampaikan kepada pemerintah kabupaten, namun belum ada jawaban yang pasti. Sementara Kepala Dinas Pariwisata dan Seni Budaya, Ir. Edwardi, mengatakan kebijakan untuk merehab gedung-gedung bersejarah seperti rumah adat itu sudah dituangkan dalam Renstra Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya tahun 2006, namun realisasinya masih menunggu dana dari APBD nantinya. Ketua Umum LKAAM Sumbar, H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie juga tidak menafikan fenomena kultural yang memprihatinkan itu. Datuk melihat penyebabnya adalah unsur pembiaran yang didorong pikiran sempit anggota kaum. Orang sekarang merasa risih tinggal di rumah gadang, apalagi dengan kepala keluarga yang lebih dari satu. Dahulunya berlaku rimbun-rimbun batutuah. Artinya, kalau ada dua orang anak gadis dari pemilik rumah gadang, ketika terjadi pernikahan putri pertama, kamar pengantinnya di anjuang. Menikah putri yang satu lagi, putri pertama tadi bersama suami dan anaknya pindah ke kamar dalam. Dahulunya juga di rumah gadang, tepatnya di tonggak tuo atau sako, diresmikan pengangkatan seorang penghulu suatu kaumnya. Selain itu, rumah gadang juga difungsikan sebagai tempat baralek. Pendeknya, rumah gadang disaktikan, sehingga dengan demikian anggota kaum secara moral terpanggil dan berkewajiban memeliharanya. Sekarang yang terjadi malah sebaliknya, orang malu tinggal di rumah gadang karena dinilai sebagai orang miskin. Semestinya di Minangkabau yang dikenal dengan sistem matrilokal, yaitu pihak pria pulang ke rumah perempuan, kata Datuk, rumah tetap lestari. Namun apa boleh dikata, unsur pembiaran telah menggerogoti pola pikir masyarakat. Masyarakat merasa lebih terhormat tinggal di rumah sendiri ketimbang di rumah gadang. - Tim Website http://www.rantaunet.org _____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ____________________________________________________