Perda
Risau Beleid Bilah Bambu

Kerisauan  kini  tak  lagi  hinggap  di  benak Daeng Usman. Warga Desa
Padang,  Kecamatan  Gantarang,  Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,
ini merasa keluarganya aman dan terlindungi. Ini semenjak pemberlakuan
Peraturan   Daerah  (Perda)  Nomor  03  Tahun  2002  tentang  Larangan
Penjualan  dan  Penertiban  Minuman Keras. "Dulu banyak anak perempuan
yang diganggu pemuda-pemuda desa yang nongkrong sambil mabuk-mabukan,"
kata  bapak  berusia 41 tahun itu. Maklum, dua anak gadis Usman tengah
beranjak dewasa.

Kini  Usman  tak  lagi melihat polah nakal. Para berandal desa agaknya
keder  dengan  sanksi  dari  perda  itu. Yakni ancaman dicambuk dengan
bilah  bambu  sebanyak  40 kali bila tertangkap mabuk. Selain itu, ada
pula  hukuman berupa sanksi moral. "Kalau ada yang kena hukuman, semua
warga  desa  tahu.  Jadi, mereka yang mau berbuat jahat malu rasanya,"
ujarnya.

Penerapan aturan semacam ini tidak dipermasalahkan warga desa. Maklum,
kini  mereka  merasa  lebih aman dan terlindungi. Polisi pun tak perlu
repot  membasmi  penyakit masyarakat yang sebenarnya bisa diselesaikan
sendiri  oleh  masyarakat.  "Kini  tidak  ada lagi yang berani terbuat
jahat di desa kami. Hidup kami pun tenteram," tuturnya.

Perda  bernuansa  syariat Islam di Bulukumba tak hanya satu. Ada empat
perda  yang berpatokan pada syariat Islam. Selain minuman keras, yakni
soal  pengaturan  zakat,  berbusana  muslim,  dan baca-tulis Al-Quran.
Perda  Islami  juga  dibuat  di  enam  pemda  lain di wilayah Provinsi
Sulawesi  Selatan.  Kota Makassar pun mengikuti jejak pemda lain. DPRD
di  sana  kini  tengah  menggodok  rancangan  Perda  Zakat. "Ini perda
bernuansa  syariat Islam pertama yang disusun," kata anggota DPRD Kota
Makassar, Iskandar Tompo, bangga.

Nun  jauh melintasi Laut Jawa, di ibu kota negara, Jakarta, 56 anggota
DPR-RI   gusar   dengan  perda-perda  syariah  itu.  Selain  di  tujuh
kabupaten/kota  di  Sulawesi  Selatan,  ada  15 tempat lain yang punya
perundangan  daerah  setipe.  Menurut  juru bicara kaukus wakil rakyat
ini,  Nusron Wahid, beleid semacam itu inkonstitusional. "Kami meminta
pimpinan  dewan  menyurati presiden untuk mencabut perda-perda semacam
itu,"  ujar  seorang  anggota  kaukus  dari  Partai  Damai  Sejahtera,
Constant Punggawa.

Nusron   mengatakan,   pembuatan   perda   seharusnya   mengacu   pada
Undang-Undang    10    Tahun    2004,    yakni   tentang   pembentukan
perundang-undangan  dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 45. Setiap
peraturan  harus selalu mengacu pada UUD 45, dan agama tidak dijadikan
sebagai  sumber  acuan. "Depdagri harus proaktif menyikapi perda ini,"
katanya.

Aksi  56  anggota dewan itu sontak menimbulkan pro-kontra. Pakar hukum
tata  negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Denny Indrayana
mendukung. Alasannya, konstitusi (UUD 45) tidak mengadopsi formalisasi
syariat Islam. Selain itu, perda ini bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. "Pada Pasal 10 ayat 3
disebutkan,   agama   tidak  termasuk  wilayah  kewenangan  pemerintah
daerah," ujarnya kepada wartawan Gatra Basfin Siregar.

Mengenai  upaya  pencabutan perda-perda tersebut, menurut pria berusia
34  tahun  itu,  ada  celah hukumnya. Yakni melalui judicial review ke
Mahkamah  Agung.  Masalahnya,  pengajuan  uji materiil ini ada tenggat
waktunya.  Maksimal  180  hari setelah ketentuan itu ditetapkan. Kalau
lewat? "Itu jadi problem. Perdebatannya panjang," katanya.

Sementara  itu, menurut Progo Nurjaman, Sekretaris Jenderal Departemen
Dalam  Negeri,  ada  dua  cara  lain untuk mengatasi perda bermasalah.
Selain  lewat  pengajuan  uji  materiil  ke Mahkamah Agung, perda bisa
dicabut   atas  inisiatif  pemimpin  daerah  yang  bersangkutan.  Dan,
"Dibatalkan  dengan  hukum  yang  lebih  tinggi status hukumnya, yakni
peraturan  menteri/peraturan  presiden,"  kata Progo kepada Bernadetta
Febriana dari Gatra (baca: Susah Mencabut Perda Bermasalah).

Kubu  pendukung  perda  syariah  tak kekurangan dalil. Mereka menjawab
tuntutan  pencabutan  itu tak kalah keras. Respons paling nyata justru
datang dari DPR sendiri. Perlawanan dimulai dari pernyataan Ketua MPR,
Hidayat  Nur  Wahid.  Dia  mengungkapkan  keheranannya  atas  sikap 56
sejawatnya    itu.    "Masyarakat   tempat   berlakunya   perda   saja
tenang-tenang.  Mereka  ini  mewakili masyarakat yang mana? Apa mereka
itu dari daerah yang diberlakukan perda itu?" katanya tegas.

Puncaknya,  Selasa  lalu  134  anggota dewan meneken kontra-memorandum
mendukung  tetap berlakunya perda yang dipermasalahkan itu. Pernyataan
ini   ditandatangani  anggota  DPR  dari  delapan  fraksi.  Surat  ini
diserahkan  langsung  kepada Ketua DPR, Agung Laksono. "Kami berharap,
Ketua  DPR-RI  tidak  menindaklanjuti  surat permintaan 56 anggota DPR
tertanggal  17  Mei,"  ujar Lukman Hakim Saifuddin, anggota DPR Fraksi
PPP yang menjadi juru bicara.

Lukman  mengatakan,  perda-perda  yang dituduh inkonstitusional karena
bernuansa  syariat Islam adalah perda yang lahir dari proses demokrasi
yang  melibatkan  seluruh  fraksi  di  DPRD  dalam mewujudkan aspirasi
masyarakat  di  daerah.  "DPR  tidak  punya  kewenangan  apa pun dalam
mengeliminasi produk legislatif dan eksekutif di daerah," katanya.

Memang  diakui  Lukman,  Indonesia  bukan negara yang berdasarkan pada
agama  tertentu,  pun  bukan  negara  sekuler.  Negara  ini,  katanya,
berdasarkan  Ketuhanan  Yang Maha Esa seperti tercantum pada Pancasila
dan  UUD 1945. Dia lalu menyitir pendapat proklamator Moh. Hatta bahwa
sila pertama Pancasila adalah fundamen moral, tempat berpulang keempat
sila lainnya.

Kumpulan  wakil  rakyat pendukung perda syariah itu berpendapat, tidak
mungkin  memisahkan  sila  pertama  Pancasila  dari  agama.  "Anggapan
syariat  Islam  bertentangan dengan konstitusi merupakan pendapat yang
ahistoris dan tidak berpijak pada konstitusi!" katanya.

Gayung pun bersambut. Meski adu pendapat tentang perda bernuansa Islam
ini  sedemikian  ramai, semakin banyak saja pemda yang terus menggodok
perda  seperti  ini.  Misalnya  Kabupaten  Cianjur,  Jawa  Barat, yang
mengusung  Perda  Gerbang Marhamah atau Gerakan Pembangunan Masyarakat
Berakhlakul  Karimah.  "Perda  ini  justru  akan  meningkatkan  saling
pengertian  dan  interaksi  antara  masyarakat,"  kata  Muhammad Toha,
anggota DPRD Cianjur.

Toha  dan  koleganya  keukeuh  meneruskan pembahasan perda itu. Mereka
telah  berhasil  meyakinkan  pihak  yang  menolak penerapan perda itu.
Drafnya  saat  ini  tengah  memasuki  tahap  penyelarasan pasal-pasal.
"Tanpa  mengurangi  rasa hormat pada pemerintah pusat, perda ini jalan
terus.  Jangan  khawatir, nonmuslim dan penganut agama lain jauh lebih
nyaman dengan perda ini," ia menegaskan. Amin!

Arief Ardiansyah, Sulhan Syafi'i (Bandung), dan Anthony (Makassar)
[Nasional, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 29 Juni 2006

http://www.gatra.com/artikel.php?id=95952


--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Kirim email ke