Mantap mah Etek Hanum, sangat mencerahkan.Mungkin dalam agama kito iko nan
di sabuik Qona'ah - Selalu merasa tercukupi denganrezki Allah.

Pada tanggal 06/08/03, hanifah daman <[EMAIL PROTECTED]> menulis:
>
> Sebagai bahan renungan
>
>   Salam
>
>   Hanifah Damanhuri
>
> "M. Edwin" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>   To: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
> From: "M. Edwin" <[EMAIL PROTECTED]>
> Date: Wed, 02 Aug 2006 09:04:46 +0700
> Subject: [mtiui97] Hidup cukup
>
> -----BEGIN PGP SIGNED MESSAGE-----
> Hash: SHA1
>
> Crossposting.
> IMHO ini opini yang bagus. Walaupun mungkin bisa muncul pendapat yang
> berbeda.
>
> ======================================================================
> Bang Uki telah lebih dari 20 tahun berdagang nasi uduk di pinggir
> Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Uduk yang sungguh enak. Tiap
> pagi puluhan orang antre untuk makan di tempat atau dibawa pulang.
> Paling lama dua jam saja seluruh dagangan Bang Uki?ada empal, telur,
> semur daging,tempe goreng?ludes habis. Begitu setiap hari, 20 tahun
> lebih.
>
> Pertengahan 1980-an, ekonomi Orde Baru tengah menanjak ke puncak
> ketinggiannya. Bang Uki, dengan ritme stabil batang pohon cabai yang
> terus berproduksi, belanja pukul satu dini hari, masak mulai pukul
> dua, berangkat pukul empat, dan seusai subuh telah menggelar barang
> dagangnya. Tepat jam tujuh pagi, semua tuntas. Pukul sepuluh, ia sudah
> nongkrong di teras rumah, lengkap dengan kretek, gelas kopi, dan
> perkutut. "Tinggal nunggu lohor," tukasnya pendek.
>
> Berulang kali pertanyaan bahkan desakan untuk membuka kios terbukanya
> hingga lebih siang sedikit ditolak Bang Uki.
> "Buat apa?" tukasnya. "Gua udah cukup. Anak udah lulus es te em.
> Berdua bini gua udah naik haji. Apalagi?" Pernah sekali penulis
> jumpai ia sedang memasak di rumahnya. Langit di luar masih gelap.
> Kedua mata Bang Uki terpejam. Tangan- nya lincah mengiris bawang
> merah. Saya menegur. Tak ada reaksi. "Abah masih tidur," istrinya
> balas menegur.
>
> Kini, 15 tahun kemudian, Bang Uki sudah pensiun. Wajahnya penuh
> senyum. Hidupnya penuh, tak ada kehilangan. Kami yang kehilangan,
> masakan sedap khas Betawi. Kami sedikit tak rela. Bang Uki terlihat
> begitu ikhlasnya. Wajahnya terang saat ia dimandikan untuk kali
> terakhirnya. Dua jam berdagang, enam jam bekerja, telah mencukupkan
> hidupnya.
>
> Dan Bang Uki tidak sendiri. Nyi Omah juga tukang uduk di Pasar Jumat,
> Pak Haji Edeng tukang soto Pondok Pinang, pun begitu. Tukang pecel di
> Solo, gudeg di Yogya, nasi jamblang di Cirebon, atau bubur kacang
> hijau di Bandung, juga demikian. Mereka yang bekerja dan berdagang
> untuk mencukupi kebutuhan hidup. Jika telah cukup, untuk apa bekerja
> lebih. Untuk apa hasil, harta atau uang berlebih?
> "Banyak mudaratnya," kilah Pak Haji Edeng.
>
> Mungkin. Apa yang kini jelas adalah perilaku bisnis dan ekonomi
> tradisional negeri ini ternyata mengajarkan satu moralitas: hidup
> wajib dicukupi, tetapi haram dilebih-lebihkan. Berkah Tuhan dan
> kekayaan alam bukan untuk kita keruk seorang. Manusia adalah makhluk
> sosial. Siapa pun mesti menenggang siapa pun.
>
> Alternatif kapitalisme
> Moralitas berdagang "Bang Uki" tentu bertentangan dengan apa yang
> kini menjadi moral dasar perekonomian material- kapitalistik. Di mana
> prinsip laissez faire atau free will dan free market digunakan tak
> hanya untuk memberi izin bahkan mendesak setiap orang
> untuk "mendapatkan sebanyak-banyaknya dengan ongkos sesedikit
> mungkin". Satu spirit yang nyaris jadi kebenaran universal dan hampir
> tak ada daya tolak atau daya koreksinya.
>
> Dan siapa pun mafhum dengan segera, prinsip dan moralitas ekonomi
> modern itu bukan hanya melahirkan orang-orang yang sangat kaya,
> bahkan keterlaluan kayanya (semacam pembeli Ferrari seharga Rp 5
> miliar yang mubazir di Jakarta yang macet), tetapi juga sejumlah
> besar orang yang hingga kini tak bisa menjamin apakah ia dapat makan
> atau tidak hari ini.
>
> Moralitas kapitalistik hanya menyediakan satu jalur sosial berupa
> filantrofisme, yang umumnya hanya berupa "pengorbanan" material yang
> hampir tiada artinya dibanding kekayaan bersih yang dimilikinya.
> George Soros, misalnya, dengan kekayaan 11 miliar dollar AS (hampir
> sepertiga APBN Indonesia), mengeluarkan 400 juta dollar (hanya
> sekitar 4 persen atau setara dengan bunga deposito) untuk berderma
> dan menerima simpati global di sekian puluh negara.
>
> Dan siapa peduli, bagaimana seorang Bill Gates, Rupert Murdoch, Liem
> Sioe Liong atau Probosutedjo menjadi begitu kayanya. Moralitas dasar
> kapitalisme di atas adalah dasar "legal" untuk meng- amini kekayaan
> itu. Betapapun, boleh jadi, harta yang amat berlebih itu diperoleh
> dari cara-cara kasar, telengas, ilegal bahkan atau?langsung dan
> tak langsung?dari merebut jatah rezeki orang lain.
>
> Dan siapa mampu mencegah atau menghentikannya? Pertanyaan lebih
> praktisnya adalah: Siapa berani? Tak seorang pun. Hingga sensus
> mutakhir menyatakan adanya peningkatan jumlah harta orang- orang kaya
> dunia sebanding dengan peningkatan jumlah orang yang papa. Belahan
> kekayaan ini sudah seperti palung gempa yang begitu dalamnya.
>
> Lalu di mana Bang Uki? Ia tak ada di belahan mana pun yang tersedia.
> Ia ada dan memiliki dunianya sendiri. Yang mungkin aneh, alienatif,
> marginal, tersingkir, luput, apa pun. Namun sesungguhnya, ia adalah
> sebuah alternatif. Bukan musuh, lawan, atau pendamping kapitalisme.
> Ia adalah sebuah tawaran yang membuka kemungkinan di tengah kejumudan
> (tepatnya ketidakadilan) tata ekonomi dunia saat ini.
>
> Ekonomi cukup
> Prinsip "hidup yang cukup" Bang Uki adalah landasan bagi
> sebuah "ekonomi cukup", di mana manusia tidak lagi mengeksploitasi
> diri (nafsu)-nya sendiri, juga lingkungan hidup sekitarnya. Ia
> mengeksplorasi potensi terbaiknya untuk memenuhi keperluan manusia,
> sebatas Tuhan?yang mereka percaya?menganjurkan atau membatasinya.
> Bagaimana "cukup" itu didefinisi atau dibatasi, tak ada?bahkan tak
> perlu?ukuran dan standar. Seorang pengusaha dan profesional dapat
> mengukurnya sendiri dengan jujur: batas "cukup" bagi dirinya. Jika
> bagi dia dengan keluarga beranak dua, pembantu dua, tukang kebun,
> satpam atau lainnya, merasa cukup dengan sebuah rumah indah, dua
> kendaraan kelas menengah, mengapa ia harus meraih lebih?
> Mengapa ia harus melipatgandakannya?
>
> Apalagi jika usaha tersebut harus melanggar prinsip hidup,nilai
> agama, tradisi dan hal-hal lain yang semula ia junjung tinggi?
> Andaikan, sesungguhnya ia mampu menghasilkan puluhan miliar tabungan,
> sekian rumah mewah peristirahatan bahkan jet pribadi, dapat
> dipastikan hal itu hanya akan menjadi beban. Bukan melulu saat ia
> berupaya meraih, tetapi juga saat mempertahankannya.
>
> Bila pengusaha tersebut berhasil men- "cukup"-kan dirinya, secara
> langsung ia telah mengikhlaskan kekayaan lebih yang tidak
> diperolehnya (walau ia mampu) untuk menjadi rezeki orang lain. Ini
> sudah sebuah tindak sosial. Dan tindak tersebut akan bernilai lebih
> jika "kemampuan lebihnya" itu ia daya gunakan untuk membantu usaha
> atau sukses orang lain. Sambil menularkan prinsip "ekonomi cukup", ia
> akan merasakan "sukses" atau kemenangan hidup yang bernuansa lain
> jika ia berhasil membantu sukses lain orang dan tak memungut serupiah
> pun uang jasa.
>
> Maka, secara langsung satu proses pemerataan demi kesejahteraan
> bersama pun telah berlangsung. Palung atau sen- jang kekayaan pun
> menipis. Kesempatan meraih hidup yang baik dapat dirasakan semua
> pihak. Pemerintah dapat bekerja lebih efektif tanpa gangguan-gangguan
> luar biasa dari konflik-konflik yang muncul akibat ketidakadilan
> ekonomi.
>
> Dan seorang pejabat, hingga presiden sekalipun, dapat pula
> mendefinisikan "cukup" baginya: jika seluruh kebutuhan hidupku,
> hingga biaya listrik, gaji pembantu hingga pesiar telah ditanggung
> negara, buat apalagi gaji besar kuminta? Moralitas seperti ini adalah
> sebuah revolusi. Dan revolusi membutuhkan keberanian, kekuatan hati
> serta perjuangan tak henti.
>
> Maka, "cukuplah cukup". Kita sederhanakan sebagai prinsip
> hidup/ekonomi yang "sederhana". Kian sederhana, maka kian cukup kian
> sejahteralah kita. Ukurannya? Yang paling sederhana, usul saya:
> semakin tinggi senjang jumlah konsumsi dibanding jumlah produksi kita
> sehari-hari, makin sederhana, makin cukup dan sejahteralah kita.
> Jika Anda mampu membeli Ferrari, mengapa tak mengonsumsi Mercedes
> seri E saja, atau Camry lebih baik, atau Kijang pun juga bisa. Dan
> dana lebih, bisa Anda gunakan untuk tindak-tindak sosial, untuk
> membuat harta Anda bersih, aman, dan hidup pun nyaman penuh senyuman.
>
> Beranikah Anda? Berani kita? Tak usah berlebih, kita cukupkan saja.
>
> Oleh : Radhar Panca Dahana Sastrawan
>
>
> ---------------------------------
> Yahoo! Messenger with Voice. Make PC-to-Phone Calls to the US (and 30+
> countries) for 2ยข/min or less.
> --------------------------------------------------------------
> Website: http://www.rantaunet.org
> =========================================================
> * Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi
> keanggotaan,
> silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
> * Posting dan membaca email lewat web di
> http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
> dengan tetap harus terdaftar di sini.
> --------------------------------------------------------------
> UNTUK DIPERHATIKAN:
> - Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
> - Besar posting maksimum 100 KB
> - Mengirim attachment ditolak oleh sistem
> =========================================================
>



-- 
Afda Rizki
--every man dies but not every man lives--
--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Kirim email ke