Tolong dibaca aturan di footer dibawah
--------------------------------------
Sukseskan Pulang Basamo Juni 2008


Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu

Sadang amuah lo pena disurek-an mangarang carito
pendek kisah pajalanan maninggaan kampuang 37 tahun
nan lapeh. Tapekno Mai 1970.

Wassalamu'alaikum,

Lembang Alam

MV BELLE ABETO

Aku menyalami ibu sekali lagi. Beliau menciumku dan
berbisik; 'Hati-hati kamu di jalan. Dan cepat tulis
surat setelah sampai.' Aku mengangguk, berusaha
tersenyum agar tampak tegar. Lalu melangkah menaiki
tangga kapal besar bercat putih bernama Belle Abeto
itu. Menjinjing tas kulit tua pemberian mak ngah,
berisi beberapa helai pakaian, aku mengiringkan
orang-orang yang sama-sama menaiki tangga kapal. Cuaca
Teluk Bayur yang panas, berdesak-desak menaiki tangga,
menjinjing tas yang meski tak seberapa berat tak urung
menyebabkan keringatku bercucuran. Dan sebenarnya juga
air mataku bercucuran. Aku sedih meninggalkan ibu dan
adik-adikku di kampung. Ini adalah pertama kali aku
menyeberangi lautan, menuju tanah seberang, ke
Jakarta. 

Di atas kapal aku ikuti orang-orang yang membawa
bebannya masing-masing menuju entah kemana. Kami
berjalan di lorong yang panjang. Aku tidak mau
bertanya. Kapal ini kelihatannya besar sekali. Orang
tua didepanku berhenti di tempat banyak tempat tidur
bertingkat bersusun-susun yang sudah penuh dengan
barang-barang. Dia bertanya dimana tempat tidur yang
masih kosong kepada orang-orang itu, yang kelihatannya
sudah menempati tempat mereka masing-masing. Orang itu
menunjuk ke arah samping. Benar saja, disana masih
banyak tempat kosong. Aku tidak perlu bertanya mau
menempati tempat tidur yang mana, segera saja memilih
sebuah dipan di bagian atas, agak dekat kipas angin.
Ruangan ini pasti panas dan pengap sebentar lagi,
begitu firasatku. Aku letakkan barang-barangku. Tas
kulit tua dan sebuah 'kambuik' berisi oleh-oleh. Aku
coba mengamati tempat ini baik-baik agar tidak lupa.
Soalnya aku akan kembali kesisi dekat tangga tempat
aku naik. Aku ingin melambaikan tangan ke arah ibu
dari atas kapal ini. 

Aku menemukan tangga ke arah dek dan naik ke atas. Ada
sebuah lapangan luas di atas sana. Aku segera
melangkah kesisi sebelah darat dan melayangkan
pandangan ke bawah mencari-cari dimana ibu berdiri.
Aku segera menampak beliau, sedang berdiri dan
mencari-cari pandangan ke arah atas. Aku berteriak
memanggil beliau sehingga orang-orang dikiri kananku
menoleh kepadaku. Ibu rupanya mendengar teriakanku.
Beliau menoleh ke arahku sambil melambaikan tangan.
Air mataku bercucuran lagi. Tentu tidak mungkin kami
bercakap-cakap dengan jarak sejauh itu. Ibu hanya
melambai-lambaikan tangan yang kubalas dengan lambaian
tangan pula. 

Kapal Belle Abeto itu akhirnya membunyikan suling yang
terakhir dan siap berangkat. Aku tetap berdiri di
pinggir pagar dek. Disini orang berdesak-desak ingin
melambai ke arah bawah. Di bawah ratusan orang
menyemut melambai-lambai pula ke arah kami. Mataku tak
lepas-lepas melihat ke arah ibu berdiri . Kapal ini
mulai bergerak pelan-pelan meninggalkan tempatnya
bersandar. Terus bergerak sampai akhirnya menuju ke
luar teluk. Orang-orang yang berdiri di dermaga
terlihat semakin kecil dan akhirnya dermaga sendiripun
tak terlihat lagi. 
Orang-orang sudah mulai meninggalkan sisi kapal. Tapi
aku tidak. Aku masih berdiri disini memandang ke arah
tempat kapal ini tadi bersandar. Aku berdiri di
geladak itu hampir satu jam. 

Kapal ini sekarang bergerak di tengah laut dan semakin
jauh dari pantai. Aku senang memperhatikan air laut
yang beriak-riak disamping kapal. Masih ada beberapa
orang yang juga sedang menikmati pemandangan riak
gelombang laut ini. Laut sati rantau bertuah.

Sudah menjelang sore ketika aku kembali ke dek tempat
tidur. Sempat pula aku kehilangan arah dan
berputar-putar sambil mengingat-ingat. Alhamdulillah,
akhirnya aku menemukan kembali tempatku dari arah
sebelah yang lain. Mataku menangkap kambuik yang
kutandai dengan pita kain di atas tempat tidur. Di
sebelah menyebelah penuh orang. Ada yang tidur-tiduran
dan ada yang mengobrol bercerita. Seorang ibu yang
duduk di dipan bagian bawah tempat tidurku menyapaku
ramah. Kami terlibat dalam obrolan pula. Dia akan ke
Semarang, mau menghadiri kelahiran cucunya yang
pertama. Ibu ini berasal dari Painan. Nanti dia akan
dijemput anaknya yang lain setiba di Tanjung Periuk.
Aku lebih banyak mendengarkan saja cerita ibu yang
berbahagia itu.

Sekitar jam lima, ada pemberitahuan melalui pengeras
suara bahwa makan malam akan segera dibagikan.
Penumpang dek diminta datang mengambil makanan dengan
membawa tiket. Aku bergegas turun ingin pergi melihat
dapur umum tempat mengambil makanan itu. Aku
menawarkan diri mengambilkan makanan kepada ibu tadi
yang di sambutnya dengan senang hati. Dia mengulurkan
tiketnya kepadaku. Aku bergegas mengikuti orang-orang
yang bergerak menuju ke satu tempat. Kami antri karena
gangnya agak sempit. 

Menjelang maghrib terdengar suara orang mengaji dari
pengeras suara. Aku baru ingat bahwa kapal ini adalah
kapal pengangkut jamaah haji. Aku tahu bahwa ada
mushala cukup besar di kapal ini. Ibu tadi
mengingatkanku untuk pergi sembahyang berkaum-kaum ke
mushala. Aku mengiyakan dan bersiap-siap pergi
mengambil wudhu. Kamar mandi dan peturasan di kapal
ini cukup bersih. Tidak percumalah sebagai kapal haji.
Ramai yang hadir ke mushala untuk shalat berjamaah.
Sebelum iqamat pak Imam mengumumkan bahwa shalat akan
dijamak. 

Sesudah shalat ada ceramah agama. Sebagian dari jamaah
mendengarkan ceramah dan sebagaian yang lain buru-buru
keluar meninggalkan mushala itu. Aku ikut mendengarkan
ceramah. Tidak terlalu lama, mungkin hanya sekitar dua
puluh menit. Setelah itu kami keluar dari mushala itu.


Aku mendengar percakapan dua orang anak muda sebayaku
yang mengatakan akan ada band sebentar lagi di
geladak. Keduanya sedang berjalan menuju tangga naik
kesana. Aku ikuti mereka. Ternyata di geladak sangat
ramai. Orang duduk di lantai geladak sambil menunggu
dan menonton beberapa orang yang sedang mengangkat
peralatan musik. 

Langit cerah penuh bintang-bintang dan kapal yang
gagah ini melaju dengan tenang. Aku berdiri di pinggir
geladak melihat ke arah pantai nun jauh disebelah
sana. Terlihat api-api kecil berkerlap kerlip. Tentu
cahaya kerlap kerlip itu berasal dari rumah-rumah
nelayan di pinggir pantai. Pemandangan yang baru
sekali ini aku alami dan aku menikmatinya. Menakjubkan
sekali. 

Tidak lama kemudian alat-alat musik itu mulai
dimainkan. Kelihatannya para pemain band itu adalah
anak buah kapal ini. Suara musik itu riuh rendah
mendayu-dayu. Dan ada yang menyanyikan lagu Teluk
Bayur. Lalu para penumpang ikut tampil menyumbangkan
suara.  Suasananya cukup meriah. Aku memperhatikan
saja dari kejauhan, dari tempat aku berdiri di pinggir
pagar geladak. Aku masih saja sesenggukan di dalam
dadaku, dan rasanya aku terasing sendiri di tengah
suasana ceria penumpang lain.

Jam sembilan aku tinggalkan geladak dan kembali ke dek
tempat tidur. Ibu orang Painan itu rupanya belum
tidur.  Dia menanyakan kenapa aku sudah kembali saja
sementara di atas orang masih bernyanyi-nyanyi. Aku
katakan bahwa mataku sudah mengantuk. Aku naik ke
dipanku di sebelah atas dan berusaha untuk tidur.
Tidak mudah. Angan-anganku membawaku kembali ke
hari-hari kemarin. Inilah kebiasaan burukku kalau aku
baru berpisah dengan ibu. Tiga hari yang lalu jam
segini aku masih dikampung di tengah-tengah
adik-adikku. Dua hari yang lalu jam segini aku sedang
bercerita-cerita di rumah etek di Olo di Padang. Tadi
malam jam segini aku dikuliahi sepupuku tentang
Jakarta. Yang terakhir ini menari-nari lebih jauh.
Pokoknya, kata sepupuku itu, jangan sekali-kali kamu
tunjukkan bahwa kamu orang asing di Jakarta.
Berlagaklah bahwa kamu adalah penduduk Jakarta. Begitu
keluar dari kapal, berjalan arah ke pintu gerbang.
Disana akan kamu temui banyak orang memegang sepeda
seperti sedang menunggu sesuatu. Mereka tukang ojek
sepeda. Hampiri satu tukang ojek itu dan mintak
diantarkan ke stasiun bus, di depan. Bilang, ke
stasiun bus di depan berapa duit bang? Berapapun dia
bilang, tawar sepuluh perak. Tarifnya segitu. Lalu
kamu cari bus berwarna kuning. Ada dua, Merantama dan
Djakarta Transport. Naiki yang mana saja karena
keduanya jurusan Grogol. 

Begitu pesan sepupuku itu. Aku masih ingat ketika tadi
malam mereka tertawa terkekeh-kekeh mendengar aku
salah mengucapkan, ’berapa uang’ bukan ’berapa duit’.
Tapi akhirnya aku tertidur juga.

Keesokan harinya aku banyak berada di geladak sambil
melihat-lihat. Aku berjalan-jalan dari anjungan ke
buritan. Sudah kudapatkan teman yang aku senang
berbicara  berbincang-bincang. Rasa haru  berpisah
dengan ibu dan kampung mulai cair sedikit demi
sedikit. Menyenangkan juga melihat ikan lumba-lumba
berenang mengiringi kapal di kejauhan. Di sebelah kiri
sayup-sayup terlihat pantai barat pulau Sumatera,
sedang disebelah kanan hanya laut tanpa batas. Kapal
tetap melaju meninggalkan riak dibelakang. Di sore
hari kedua ini terasa kapal agak sedikit bergoyang.
Ibu orang Painan mengatakan bahwa kita berada di
Kataun. Ombak Kataun ini lebih besar, katanya. Aku
mencatat semua itu di otakku.

Malam harinya kami kembali shalat berjamah di mushala.
Tentu saja juga siang tadi, shalat zhuhur dan asar
dijamak. Dan sesudah shalat ada ceramah lagi.
Penceramah kali ini bukan Buya yang kemarin malam. Dia
berceramah tentang hubungan Islam dan Kristen, dan
taktik orang-orang Kristen yang suka begini-begitu.
Tapi tiba-tiba suara pengeras suara dan lampu mushala
mati. Usut punya usut, rupanya ada seorang petinggi
kapal itu orang Kristen. Mungkin dia tersinggung
dengan isi ceramah tadi. Seorang jamaah mengatakan,
agar besok peristiwa mik dan lampu mushala di kapal
pengangkut haji mati ketika sedang berceramah ini
harus dimuat di koran Abadi.

Dan malam inipun ada band seperti kemarin. Bahkan
kelihatannya lebih meriah. Lebih ramai penumpang yang
ikut menyanyi. Aku bisa menikmati pertunjukan malam
ini. Atau mungkin karena dadaku sudah tidak seperti
tadi malam sesenggukannya? Aku menonton acara musik
itu sampai sekitar jam sepuluh. Dan baru turun ke
ruangan tidur. Malam ini aku lebih mudah terlelap.

Subuh besoknya aku dibangunkan oleh suara orang-orang
yang gaduh menceritakan bahwa kapal sedang melintasi
selat Sunda, dekat gunung Krakatau. Aku ingin naik ke
geladak melihat gunung itu. Tapi angin kencang dan
udara mengandung banyak uap air. Aku tidak jadi ke
geladak. Di sisi sebelah sana ada jendela-jendela kaca
bulat yang setengah terbuka. Samar samar, karena masih
agak gelap, aku dapat melihat ada pulau yang lebih
dekat sedang diliwati oleh kapal ini. Dan ada beberapa
pulau agaknya. Entah yang mana yang Krakatau.

Kapal terus melaju dan hari sudah mulai siang. Aku
berharap agar udara segera  lebih bersih sehingga aku
bisa pergi ke geladak. Kira-kira jam delapan baru aku
bisa naik dengan aman ke geladak. Masih ada angin
meski tidak terlalu kencang. Langit berawan. Pantai
sekarang berada di sisi kanan kapal. Tentulah itu
pantai Banten. Dan kapal ini berlayar lebih dekat ke
pantai dibandingkan kemarin. Bangunan rumah di pantai
lebih jelas bentuknya. Tentu tidak berapa lama lagi
kami akan sampai di Tanjung Periuk. Semakin siang
udara berubah menjadi lebih cerah dan matahari
bersinar menerpa geladak kapal ini. 

Sekitar jam sebelas siang kapal ini sampai di Tanjung
Periuk. Kami bersiap-siap untuk turun meninggalkan
kapal. Aku berpamitan dengan ibu orang Painan yang
baik hati itu. Aku jinjing kopor kulit dan kambuik ku,
berbaris antri menuju lorong ke arah tangga turun.
Banyak orang-orang berseragam sudah bekeliaran melawan
arus. Para buruh tukang angkat mencari orang yang akan
memakai jasa mereka mengangkat barang. Aku tidak
memerlukan jasa mereka. Aku bergegas turun dengan
bawaanku yang ringan. Di bawah aku menoleh mengamati
kapal besar yang telah menyeberangkanku dari Teluk
Bayur ke Tanjung Periuk ini. MV BELLE ABETO. 

Aku melangkah mengikuti orang-orang berjalan ke arah
gerbang. Persis seperti yang diceritakan sepupuku tiga
malam yang lalu, disana ada puluhan sepeda berjejer.
Dengan tampang-tampang keras berkeringat menebar
senyum penuh harap. Aku hampiri satu orang dan aku
bertanya, ’ke stasiun bus di depan berapa duit bang?’
Dia menjawab, dua puluh deeh... Dan aku menawar
mantap, ’nggak ah, sepuluh duit. Eh.. sepuluh.......’
Kok jadi sepuluh duit? Aku geli dalam hati. ’Lima
belas deeh....’ katanya lagi. ’Nggak, pokoknya
sepuluh,’ jawabku sok beraksen Jakarte. Ternyata
memang dia mau. Dan aku sekarang di bonceng ke stasiun
bus di depan sambil tanganku menjinjing koper kulit di
kanan dan kambuik di kiri. Dan kulihat pula bus
berwarna kuning, Merantama. Aku meloncat naik dengan
mantap. Menuju Grogol ke tempat mamakku.

                                
                         *****




St. Lembang Alam




 
____________________________________________________________________________________
Want to start your own business?
Learn how on Yahoo! Small Business.
http://smallbusiness.yahoo.com/r-index

--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
http://groups.google.com/group/RantauNet?gvc=2
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >100KB.
2. Email dengan attachment.
3. Email dikirim untuk banyak penerima.
================================================

Reply via email to