Assalamualaikum w.w. Saudara-saudara warga milis RantauNet dan Pakguruonline,
   
  Di bawah ini saya sampaikan terjemahan saya dari artikel Andre Vitchek yang 
sangat menggelitik tentang hubungan antara besarnya jumlah korban yang jatuh 
dalam rangkaian bencana alam yang terjadi di Indonesia dengan korupsi yang 
menyebabkan diabaikannya tindakan preventif oleh Pemerintah. Saya menerima 
artikel yang dimuat dalam 'The International Herald Tribune' dan 'The 
Economist' ini dari Prof Dr. Salim Said, MA, MAIA, Duta Besar RI di Praha, Ceko.
   
  Semoga bermanfaat,
  Saafroedin Bahar
   
   
   
  INDONESIA: BENCANA ALAM ATAU PEMBUNUHAN MASSAL ?
   
  Oleh: Andre Vitchek:[1] 
   
  Lain hari, terjadi lagi kehilangan nyawa yang sesungguhnya tidak perlu: 16 
orang terbunuh dan 16 orang masih hilang pada saat banjir dan longsor di 
Tahuna, sebuah pulau kecil dekat Sulawesi.  
  Dengan kecepatan yang mengerikan, Indonesia telah menggantikan Bangla Desh 
dan India sebagai bangsa yang paling rentan bencana di dunia. Jika nama 
Indonesia muncul pada daftar judul utama  di  berita Yahoo, besar kemungkinan 
telah terjadi lagi suatu tragedi besar yang  sesungguhnya tidak perlu terjadi 
di salah satu pulau dari kepulauan yang tersebar luas ini.
  Pesawat terbang hilang atau tergelincir di landasan pacu, kapal-kapal ferry 
tenggelam atau rontok di lautan bebas, kereta api bertabrakan atau tergelincir 
satu kali seminggu, penumpang yang tak berkarcis berjatuhan dari atap yang 
berkarat. Tumpukan sampah yang berbau busuk dan tidak memperoleh izin telah 
mengubur kelompok  pemulung yang tak berdaya, tanah longsor telah menghanyutkan 
rumah-rumah kardus ke anak-anak sungai, gempa bumi serta gelombang pasang telah 
menghancurkan kota-kota serta desa-desa pantai. Kebakaran hutan di Sumatra 
telah menyesakkan nafas penduduk di daerah yang luas di Asia Tenggara.
  Ruang lingkup bencana sebesar ini tidak pernah terjadi sebelumnya dan sungguh 
aneh jika kita menyepelekannya sekedar sebagai nasib jelek bangsa atau amarah 
Tuhan ataupun karena keganasan alam belaka. Sebagian besar faktor penyebab 
bencana ini harus dipersalahkan pada korupsi, inkompetensi atau sekedar 
ketidakacuhan dari kelompok elite yang sedang berkuasa dan para pejabat 
peemrintah. Adalah kemiskinan, minimnya projek untuk kepentingan umum, dan 
kegemaran [para pejabat untuk ] mencuri yang membunuh ratusan ribu pria, wanita 
serta anak-anak Indonesia yang tidak berdaya.
  Sejak kudeta militer dalam tahun 1965 yang disponsori Amerika Serikat yang 
menjatuhkan Sukarno, dan menaikkan rezim militer yang sangat anti komunis, 
korup, dan pro pasar dari diktator Suharto, Indonesia terhindar dari pengawasan 
yang sungguh-sungguh dari media dan pemerintahan negara-negara Barat. Setelah 
jatuhnya Suharto dalam tahun 1998, Indonesia dipuji oleh media massa sebagai 
suatu demokrasi yang sedang tumbuh dan semakin toleran.
  Sebagian dari bencana ini adalah buatan manusia; [dan] hampir semuanya malah 
bisa dicegah. Dalam penelusuran yang lebih cermat semakin jelas terlihat bahwa 
orang-orang mati karena hampir tidak ada upaya pencegahan, kurangnya pendidikan 
(Indonesia merupakan negara yang ketiga paling rendah prosentase GDP anggaran 
pendidikannya  sesudah Equatorial Guinea dan Ecuador) dan suatu sistem ekonomi 
pro pasar yang buas yang membiarkan sekelompok kecil orang kaya untuk 
memperkaya dirinya sendiri di atas penderitaan orang banyak yang hidup dengan 
biaya kurang dari dua dollar sehari. Kesimpulan yang dapat ditarik terhadap 
bagaimana berfungsinya masyarakat Indonesia bisa sangat mengerikan. Namun, 
menghindari pengungkapan hal ini tidak diragukan lagi akan menyebabkan jatuhnya 
korban nyawa yang berharga dari ratusan ribu manusia.
  [Kehidupan bernegara di] Indonesia dewasa ini didorong oleh semangat mencari 
untung dalam bentuknya yang paling ekstrim. Ia juga merupakan salah satu dari 
bangsa yang paling korup di muka bumi. Dan kelihatannya tidak ada keuntungan 
cepat yang dapat diperoleh dari mengambil langkah-langkah preventif [terhadap 
bencana alam ini]. Dimanapun dunia, bendungan dan dinding anti-tsunami 
dipandang sebagai pekerjaan umum dan justru perkataan –umum—yang telah hampir 
lenyap dari kamus mereka yang membuat keputusan di Indonesia.  Keuntungan 
berjangka pendek bagi sekelompok khusus orang diberikan prioritas yang lebih 
tinggi dari kemanfaatan berjangka panjang bagi seluruh bangsa. Keruntuhan moral 
dari bangsa ini terbayang dalam skala nilai, yaitu: orang korup tapi kaya 
memperoleh penghormatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang 
jujur tapi miskin.
  Tenggelamnya kapal-kapal ferry bukanlah “karena angin kencang dan ombak”; 
kapal-kapal itu tenggelam karena penuh sesak oleh penumpang dan karena 
perawatan yang buruk. Semuanya bisa dijadikan uang, bahkan keselamatan ribuan 
penumpang. Perusahaan-perusahaan hanya ingat terhadap keuntungannya sendiri, 
sedangkan para pengawas dari pemerintah hanya memperhatikan uang suap belaka. 
Tenggelamnya kapal Senopati Nusantara dengan ratusan kurban dan  disiarkan 
secara luas itu hanyalah  salah satu  dari ratusan kecelakaan laut yang terjadi 
setiap tahun di Indonesia. Walaupun tidak bisa diperoleh angka statistik yang 
pasti (dengan alasan yang dapat diduga, yaitu karena pemerintah Indonesia 
berusaha sekeras-kerasnya untuk mencegah dipublikasikannya statistik komparatif 
secara lengkap), beberapa rute pelayaran kehilangan lebih dari tiga kapal  
setiap tahun.
  Catatan keamanan dari industri penerbangan Indonesia merupakan salah satu 
yang paling buruk di dunia. Sejak tahun 1997, sekurang-kurangnya 666 orang 
telah meninggal dalam delapan kecelakaan pesawat di Indonesia. Latihan terhadap 
beberapa orang pilot sedemikian buruknya sehingga pesawat sering tergelincir di 
landasan pacu atau sama sekali tidak bisa menemukan landasan, atau [malah] 
mendarat di bagian tengah landasan. Pemeliharaan pesawat adalah masalah 
lainnya: flaps sering tidak berfungsi sama sekali; roda tidak dapat dimasukkan 
setelah take-off, ban yang jarang diganti cenderung meletus pada saat mendarat. 
Sungguh merupakan suatu keajaiban bagaimana beberapa pesawat – khususnya 
pesawat tua Boeing 737 yang diterbangkan oleh hampir semua peruhasaan 
penerbangan Indonesia – bisa lolos dari inspeksi.
  Setelah mewawancarai pejabat penerbangan sipil lokal (nama yang bersangkutan 
jelas tidak mau disebutkan) wartawan Anda mengetahui bahwa sistem navigasi dari 
beberapa bandar udara Indonesia berada dalam keadaan yang amburadul, terutama 
bandar udara Makasar di Sulawesi dan Medan di Sumatra.
  Rata-rata, telah terjadi satu kecelakaan kereta api setiap enam hari di 
Indonesia, umumnya disebabkan karena kurangnya penjagaan pada 8000 lintasan 
kereta api. Sebagai perbandingan, kereta api Malaysia tidak pernah  mengalami 
kecelakaan fatal  selama 13 tahun sampai tahun 2005 ( satu kecelakaan terjadi 
tahun 2006, yang statistiknya bisa diperoleh).
  Walaupun kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia secara relatif mempunyai 
jumlah mobil per kapita yang kecil, namun jalan-jalannya merupakan jaringan 
jalan yang “paling banyak digunakan”  di dunia (hanya nomor dua setelah 
Hongkong yang justru bukan merupakan negara): 5.7 juta kenderaan-km per tahun 
dari jaringan jalan. (2003, The Economist World in Figures, 2007 Edition). 
Menurut The Financial Times, walaupun kepadatan yang luar biasa serta lalu 
lintas yang bagaikan merangkak ini, lebih dari 80 orang tewas setiap hari di 
jalan-jalan Indonesia, umumnya disebabkan oleh karena amat buruknya 
infrastruktur dan amat lemahnya penegakan hukum.
  Gempa bumi belaka tidaklah membunuh manusia. Faktor penyebab banyaknya jatuh 
korban adalah buruknya konstruksi rumah serta bangunan, bersamaan dengan 
kurangnya upaya preventif dan pendidikan preventif. Sudah menjadi pengetahuan 
umum bahwa Indonesia rentan terhadap bencana; bahwa ia berada di kawasan yang 
disebut sebagai ‘lingkaran api’ (ring of fire). Namun kaum miskin tidak bisa 
mengharapkan adanya proyek perumahan umum yang mampu menahan gempa (seperti 
yang dibangun di negara tenggara Malaysia). Hampir setiap keluarga harus 
mengurus nasibnya sendiri: mereka harus merancang dan mendirikan tempat 
tinggalnya sendiri. Gempa besar membunuh ratusan orang, kadang-kadang ribuan 
orang, dan menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan rumah mereka. 
Sekurang-kurangnya 5.800 orang meninggal dan 36.000 luka-luka pada tanggal 27 
Mei 2006 sewaktu gempa berkekuatan 6.2 skala Richter menghantam daerah Jawa 
Tengah dekat kota bersejarah Yogyakarta. Infrastruktur yang primitif, fasilitas
 media yang tidak memadai, dan korupsi yang terjadi pada saat pendistribusian 
bantuan merupakan faktor yang menyebabkan tingginya jumlah korban pada saat 
terjadinya goncangan.
  Pembabatan hutan secara tidak sah (illegal logging) dan penggundulan hutan 
merupakan alasan utama terjadinya tanah longsor. Semua orang tahu siapa yang 
bertanggung jawab terhadap terjadinya kebakaran hutan di Sumatera dan di 
tempat-tempat lain, tetapi para pejabat pemerintah enggan sekali melakukan 
penangkapan, oleh karena mereka yang bertanggung jawab terhadap penggundulan 
hutan tersebut biasanya kaya raya dan mempunyai koneksi dengan [pejabat] negara 
dimana bahkan keadilan bisa dijual. Demikian banyak bentuk penyelesaian 
terhadap masalah-masalah ini, termasuk penegakan hukum, inspeksi dan upaya 
untuk mencari nafkah alternatif bagi masyarakat yang sedemikian putus asanya, 
sehingga mereka secara harfiah terpaksa ikut serta menggali lubang kuburnya 
sendiri dengan menghancurkan lingkungan, yang selanjutnya menghancurkan seluruh 
masyarakat itu sendiri. Namun hampir tidak ada yang dilakukan sama sekali, oleh 
karena pembabatan hutan secara tidak sah merupakan bisnis raksasa
 dan sangat menguntungkan, yang dapat mengisi demikian banyak telapak tangan 
yang menunggunya dengan sukacita.
  Bulan lalu, beberapa puluh orang terbunuh kaena tanah longsor dan banjir 
bandang di bagian utara pulau Sumatra, yang memaksa 400.000 oang terpaksa 
mengungsi dari rumah mereka. Pada bulan Juni 2006, banjir dan tanah longsor 
yang disebabkan oleh hutan lebat telah menewaskan lebih dari 200 orang di 
provinsi Sulawesi Selatan.
  Gelombang raksasa, yang terkenal sebagai  tsunami, telah menewaskan lebih 
dari 126.000 orang di provinsi Aceh pada bulan Desember 2004. Bukan saja reaksi 
dari pemerintah Indonesia dan  militernya amat lamban, sebagian besar dari 
bantuan luar negeri yang amat banyak itu lenyap karena korupsi. Jangankan 
membantu korban, banyak anggota tentara Indonesia memeras sogokan dari 
lembaga-lembaga bantuan dan merusak perbekalan atau air minum yang berharga 
jika sogokan tidak dibayar. Dalam suatu kasus menyolok tentang perampasan tanah 
oleh pemerintah, banyak korban dihambat pulang ke tanahnya sendiri, sedangkan 
anak-anak dipisahkan secara paksa dari orang tuanya (karena kehilangan 
sertifikat kelahiran) dan ‘diadopsi’ oleh organisasi-organisasi keagamaan; 
beberapa di antaranya menjadi korban perdagangan manusia (human traficking). 
Lebih dari dua tahun setelah terjadinya tragedi yang menghancur-luluhkan Aceh 
ini, ratusan ribu orang masih tinggal di rumah-rumah darurat.
  Masih banyak korban tsunami lainnya, yang menghantam pantai Jawa selatan pada 
tanggal 17 Juli 2006 yang masih menunggu bantuan yang berarti. Menurut 
angka-angka resmi, sebanyak 600 orang tewas, namun angka yang sebenarnya hampir 
pasti jauh lebih tinggi. Pejabat-pejabat Indonesia tela menerima peringatan 
dini dari Jepang namun tidak mau bertindak, kemudian mengatakan bahwa tidak 
banyak yang dapat diperbuat karena daerah tersebut tidak dilengkapi dengan 
sirene atau pengeras suara.
  Indonesia sering menderita berbagai jenis bencana buatan manusia yang sungguh 
sukar untuk dimengerti dan diperbandingkan dengan apapun juga. “Banjir limpur” 
baru-baru ini telah menenggelamkan demikian banyak desa di luar Surabaya. 
Bencana itu terjadi karena tidak dipatuhinya prosedur secara wajar oleh suatu 
perusahaan eksplorasi gas (yang sebagian sahamnya dimiliki oleh salah seorang 
menteri kabinet). “Kecelakaan” ini telah menyebabkan lebih dari 10.000 orang 
menjadi pengungsi, dan merendam  lebih dari 1.000 are tanah dengan lumpur 
panas, menghancurkan satu-satunya jalan raya dari Surabaya serta jalan kereta 
api utama. Sampah telah menguburkan suatu desa pemulung miskin pada sebuah 
penimbunan sampah tanpa izin di luar kota Bandung. Banyak lagi kejadian seperti 
itu, tapi daftar lengkap akan memenerlukan banyak sekali halaman surat kabar, 
bahkan mungkin suatu buku yang khusus ditulis tentang hal itu.
  Masalahnya adalah: kapankah rakyat Indonesia akan berkata bahwa sudah cukup 
apa yang terjadi itu dan kapankah mereka akan menuntut pertanggungjawaban dan 
keadilan, angka-angka statistik yang benar, dan ‘cetak biru’ yang konkrit untuk 
menyelesaikannya?
  Hampir di semua negara, dua bencana yang terjadi baru-baru ini – peristiwa 
tenggelam yang mengerikan dari kapan ‘Satria Nusantara” dan ‘hilang’-nya 
pesawat Boeing 737 Adam Air dengan 102 penumpang – sudah lebih dari cukup untuk 
memaksa menteri kabinet untuk mengundurkan diri. Di Indonesia, kedua tragedi 
ini dipandang (atau ditampilkan) hanya sebagai suatu nasib buruk lainnya belaka 
tanpa meminta pertanggungjawaban atau akuntabiltas siapa pun juga.
  Pers dan media massa Indonesia telah melaporkan secara detail masing-masing 
dan setiap  bencana itu. Tetapi mereka gagal untuk menegaskan bahwa apa yang 
terjadi itu adalah suatu keadaan luar biasa dan tidak dapat ditoleransi, bahwa 
mungkin tidak ada negara besar lainnya di dunia yang mengalami demikian banyak 
korban manusia yang tidak semestinya terjadi karena bencana buatan manusia atau 
bencana yang sesungguhnya bisa dicegah. Upaya mengaitkan demikian banyak 
bencana dengan korupsi dan sistem sosial ekonomi telah ditolak sama sekali. 
Surat kabar Indonesia  terkemuka Jakarta Post, baru-baru ini memberangus 
komentar ini,  dan menolak menerbitkannya di halaman-halamannya.
  Sejak Desember 2004, Indonesia telah kehilangan sekitar 200 ribu orang 
rakyatnya dalam berbagai bencana, tidak termasuk kecelakaan kenderaan bermotor  
di jalan raya dan konflik bersenjata yang terjadi di seluruh kepulauan 
Indonesia. Jumlah itu lebih besar dari jumlah  korban di Irak pada saat yang 
sama, juga lebih besar dari korban yang jatuh di Sri Langka atau  di Peru 
selama perang saudara yang demikian lama.  Sungguh, banyak orang Indonesia yang 
hidup dalam keadaan berbahaya dan penuh risiko  seperti mereka yang hidup di 
daerah yang tercabik-cabik oleh perang. Sebagian besar mereka tidak 
menyadarinya, oleh karena statistik komparatif atau tidak tersedia atau telah 
ditekan.
  Indonesia adalah miskin, tetapi masih berada dalam posisi untuk melindungi 
sebagian dari warganya yang rentan. Masalah utama adalah tidak adanya kehendak 
politik (political will). Cukup banyak semen dan batu bata untuk membuat 
bendungan dan dinding untuk menghambat tsunami, untuk memperkuat bukit-bukit di 
sekitar kota-kota, yang terancam akan dikuburkan oleh tanah longsor. Suatu 
penglihatan sekilas di sekitar Jakarta berlusin-lusin shopping malls  baru 
diangun di beberapa tempat, dimana istana-istana mewah dari pejabat-pejabat  
yang korup telah memakan berhektar-hektar tanah.
  Keengganan untuk menyelesaikan masalah mempunyai akarnya pada korupsi. 
Badan-badan usaha serta pejabat-pejabat lokal telah mengembangkan kemampuan 
khusus untuk mengeruk keuntungan dari apa pun juga, bahkan dari bencana dan 
dari penderitaan berjuta-juta rakyatnya sendiri. Dalam kalimat sederhana, 
korupsi adalah pencurian dari publik. Tetapi jika korban yang harus dibayar 
harus dihitung dengan hilangnya ratusan ribu nyawa, ia menjadi pembunuhan 
massal.
   
  
  
---------------------------------
      [1]           Novelis, jurnalis, produser film, salah seorang pendiri 
dari Mainstay Press (www.mainstaypress.org), Senior Fellow pada Oakland 
Institute (www.oaklandinstitute.org). Saat ini ia tinggal dan bekerja di Asia 
Tenggara  dan bisa dihubungi pada alamat email [EMAIL PROTECTED] Naskah aslinya 
berjudul “Indonesia: Natural Disasters or Mass Murder?”, dimuat dalam 
International Herald Tribune dan The Financial Times, 12 Februari 2007, 
dikirimkan via e-mail oleh Duta Besar RI di Ceko, Prof Dr Salim Said, MA,MAIA, 
dan diterjemahkan oleh Dr. Saafroedin Bahar, Komnas HAM.
   



 
---------------------------------
Expecting? Get great news right away with email Auto-Check.
Try the Yahoo! Mail Beta.
Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, Juni 2008.
-----------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email dengan attachment tidak dianjurkan, sebaiknya melalui jalur pribadi.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >500KB.
2. Email dikirim untuk banyak penerima.
--------------------------------------------------------------
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-config
* Membaca dan Posting email lewat web, bisa melalui mirror mailing list di:
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
http://groups.google.com/group/RantauNet?gvc=2
dengan mendaftarkan juga email anda disini dan kedua mirror diatas.
============================================================

Kirim email ke