Masih juga ada yang kebal krisis di jakarta ? Bagaimana dengan anggota2 permias@ disini apakah kita juga masih kebal thd krisis? (Contoh anak menteri, anak jenderal, atau anak freeport?) Kalau gitu benar pikiran BJ Habibie, pelajar indonesia di LN banyak yang manja dan menghamburkan uang. Hanya sebuah pemikiran :) Andrew Pattiwael The Military College of Vermont Norwich University Corps of Cadets SAJUTA (bagian 2), 26/1998 Gaya Hidup Baru Kaum Kebal Krisis Untuk mempertahankan kenikmatan dan kenyamanan, kelompok kebal krisis yang meliputi 6%-8% dari 1,8 juta KK di Jakarta, mengubah gaya hidup mereka. Seperti apakah potret pergeseran pola hidup kaum berkantong tebal itu? Berikut hasil riset *SWA* dan Frontie r. Sujatmaka Hari-hari belakangan ini, jam kerja Laksana Teguh semakin panjang. Kalau sebelum krisis konsultan dari Hewitt Associates ini biasa meninggalkan kantor di Wiswa 46 Kota BNI pukul 19.00-20.00, kini baru pada pukul 23.00-24.30. "Selama krisis moneter ini, pr oyek destrukturisasi manajemen dan *service* manajemen makin menumpuk," ujar pria yang baru saja pulang dari Jepang, menangani konsultasi di salah satu perusahaan multinasional itu. Artinya, krismon sama sekali tidak mengusik pendapatan Laksana, bahkan boleh jadi makin meningkat, mengingat proyek semakin banyak dan ia bekerja lebih keras dari biasanya. "Selama krisis ini gaji memang sudah dua kali mengalami peningkatan. Pertama, peny esuaian inflasi, dan kedua, kenaikan periodik tahunan," ungkapnya. Karena itu, insinyur teknik kimia dari Universitas Gadjah Mada ini tak perlu menyunat anggaran kebutuhan sehari-hari keluarga dan rekreasi. Akhir tahun ini, misalnya, ia merencanakan pikni k ke Singapura bersama keluarga. "Sekalian menengok saudara di sana," tambahnya. Kendati tetap glamor, tidak sedikit gaya hidup Laksana yang berubah. Dulu, sebelum krismon, bapak satu anak ini hampir setiap akhir pekan mengajak keluarganya berlibur ke Ancol, Puncak, Marbella Resort (Anyer), Pulau Seribu, Marina Anyer, atau bertandang ke rumah teman. Namun, sejak huru-hara 14 Mei silam, aktivitas berliburnya hanya ke mal yang dekat rumah (Mal Puri Indah) atau makan di restoran terdekat. "Saya agak takut bepergian, karena semakin banyak penjarahan dan perampokan," tandasnya. Sejumlah lo kasi seperti kawasan Kota, Puncak, Cawang dan Grogol kini menjadi pantangannya, karena dinilai rawan. Karena alasan keamanan pula, kini pria yang hobi nonton itu lebih senang tinggal di rumah, memutar CD di *home theatre*. Kegiatan keluar rumah sedapat mungkin ia batasi, termasuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Kalau sebelum krisis orang Purwokerto ini biasa belanja di Makro sekali seminggu, kini hanya dua minggu sekali. "Apa boleh buat, kami memang harus menstok," ujar pria yang belakangan senantiasa menyiapkan pentungan di mobil untuk berjaga-jaga itu. "Kan tidak dibenarkan membawa senjata tajam," tam bahnya. Tak hanya Laksana yang mampu mempertahankan kenikmatan hidup di tengah badai moneter yang berkepanjangan ini. Riset yang dilakukan *SWA* bersama Frontier Marketing & Research Consultant terhadap kelompok masyarakat kebal krisis, kurang-lebih memberikan ke simpulan yang sama: mereka mengubah gaya hidup untuk tetap mempertahankan kenikmatan, kenyamanan dan hiburan. Pergeseran itu melahirkan tren baru dalam mengisi waktu luang, berbelanja, rekreasi dan berinvestasi, serta sejumlah aktivitas baru yang sebelumn ya minim mendapat perhatian. Satu hal yang tak berubah dari kelompok ini: mereka tetap glamor. Hal itu bisa dilakukan karena krismon tidak banyak mengikis daya beli mereka. Riset pergeseran gaya hidup itu dilakukan di Jakarta pada 25 November-5 Desember 1998. Jajak pendapat dilakukan pada 200 keluarga yang berpengeluaran minimal Rp 2 juta/bulan di luar cicilan rumah dan mobil (55% responden berpengeluaran Rp 2-4 juta dan 45% lebih dari Rp 4 juta). Menurut Handi Irawan, Direktur Frontier, populasi kelompok ini diperkirakan mencapai 6%-8% dari total kepala keluarga (KK) di Jakarta, yang pada 1997 mencapai 1,8 juta KK. Dan menurut Handi, bagian terbesar responden diperkirakan b erpenghasilan Rp 10 juta ke atas/bulan. "Berbicara pengeluaran Rp 4 juta/bulan identik dengan berbicara penghasilan Rp 10 juta," katanya. Berikut poin-poin penting dari hasil riset itu. Kebal Krisis Sebagian besar kelompok ini nyaris tak terusik krisis. Atau, meminjam istilah Handi, krismon tidak berpengaruh signifikan pada mereka. Ini bisa terlihat dari perbandingan pendapatan mereka sebelum krisis (1997) dan selama krisis (1998). Dari 200 responden , sebanyak 30,5% mengaku pendapatannya malah meningkat, 36,5% berpendapatan tetap dan 33,0% menurun. Peningkatan pendapatan itu terjadi melalui beberapa cara. Pertama, karena gaji meningkat -- seperti dialami Laksana. Kedua, karena apresiasi dolar AS atas rupiah -- bagi yang bergaji US$. Meski tidak meningkat, nilainya akan berlipat karena apresiasi gila -gilaan US$ atas rupiah. Keberuntungan semacam ini, misalnya, dialami Irwan M. Habsjah, Direktur Pengelola dan *Country Head* Bankers Trust Indonesia, juga para eksportir. Sebanyak 22% responden juga mengaku menikmati keuntungan, akibat menguatnya US$. Pe ningkatan pendapatan pun terjadi akibat melonjaknya bunga deposito beberapa bulan terakhir. "Kelompok ini adalah kelompok yang separuh pendapatannya disimpan di bank," tandas Handi. Kelompok ini juga gesit mencari peluang baru guna menambah pendapatan. Sebanyak 47% responden mengaku melakukan hal itu, dengan cara ikut kegiatan *multilevel marketing* (Amway), jual-beli saham, jual-beli mobil, mengajar, membuka jasa boga (katering), dl l. Namun, yang mengejutkan: persepsi mereka terhadap kesempatan berbisnis pada 1999 (yang diramalkan suhu politiknya bakal makin memanas, karena akan dilangsungkannya Pemilu) ternyata tidak lebih buruk dibandingkan tahun 1998. Dari 200 responden, hanya 38 % yang menyatakan kesempatan bisnis tahun depan lebih buruk, sedangkan sisanya menyatakan sama (24,5%) dan lebih baik (37,5%). Menurut Handi, hasil ini bisa diartikan bahwa sebagian besar kelompok ini telah menemukan irama baru dalam berbisnis, sehingga k rismon dan huru-hara tidak lagi dipandang sebagai kendala. Tetap Glamor Dengan kondisi seperti itu, kelompok ini tetap bisa mempertahankan kenikmatan dan kenyamanan hidup, meski dengan gaya berbeda. Hal itu terlihat dari kenaikan anggaran di sejumlah pos, seperti makanan/minuman, transportasi, pendidikan anak, telepon rumah, kesehatan, media cetak, media elektronik dan Internet (lihat *Grafik*). Krismon juga tidak menghalangi mereka yang punya hobi rekreasi ke luar negeri untuk tetap melakukannya. Jan Johanes Uway, Presdir JC&K Advertising, umpamanya, dalam waktu dekat berencana melakukan wisata ke Eropa bersama keluarga. Sementara Mien Uno, Pimp inan Sekolah Pengembangan Kepribadian John Robert Powers, tidak menghapus kebiasaan belanja ke luar negeri setahun sekali. Eksekutif lain umumnya juga sama, karena bepergian ke luar negeri dinilai jauh lebih aman. Sebagai bukti, 44 dari 200 responden teta p merencanakan rekreasi ke luar negeri dengan rata-rata anggaran Rp 1,7 juta/bulan. Karena alasan keamanan, kelompok ini memang mengurangi kegiatan berlibur di luar rumah. "Saya paling-paling ke vila di Cipanas," jelas Johanes. Kegiatan *window shopping* dari satu mal ke mal lain, kini juga menurun drastis. Namun, mereka bukannya sama se kali tak pergi ke mal. Incaran mereka saat ini adalah pusat belanja yang dekat rumah. Kalau Laksana kini semakin sering ke Mal Puri Indah, Mien lebih senang ke Plaza Senayan atau Pondok Indah. Sementara itu, Irwan lebih senang mencari kebutuhan sehari-har i di Hero Kemang, yang dekat tempat tinggalnya. "Saya sangat hapal jalan-jalan tikus di sana, sehingga bila ada sesuatu saya tahu cara keluarnya," jelas bapak dua putri ini. Pergeseran semacam itu melahirkan tempat-tempat favorit baru -- tempat belanja, resto, tempat rekreasi, kafe, diskotek, dll. Mal Kelapa Gading, misalnya, kini selalu padat di malam Minggu. "Mencari tempat parkir saja sangat susah," ujar Handi yang tinggal di Kelapa Gading. Satu hal yang juga baru, lanjut Handi, kini 80% pengunjung Mal Kelapa Gading adalah warga yang tinggal di kompleks hunian itu. "Dulu, mayoritas pengujung berasal dari luar Kelapa Gading," tambahnya. Lokasi favorit lain, misalnya, Plaza Senayan (termasuk gedung bioskopnya), Mal Pondok Indah, Zona Diskotik (di gedung Standard Chartered Bank), dan resto Korea di Jalan Belitung, Jakarta Pusat. Artinya, krismon tidak mendorong kelompok ini menyunat anggaran belanja, rekreasi, atau makan di luar rumah. Sebanyak 77,5% responden bahkan mengaku selama krismon ini mengeluarkan uang lebih banyak untuk berbelanja. Hanya saja, aktivitas belanja mereka - - meliputi frekuensi, waktu dan jumlah tempat yang dikunjungi -- memang menurun (lihat *Bagan*). Laksana yang sebelum krisis pergi ke Makro seminggu sekali, misalnya, kini hanya dua minggu sekali. Toh, uang yang ia keluarkan tidak menurun karena setiap da tang barang belanjanya bertambah. Tren lain, kini para pengunjung mal tak lagi bersantai ria sambil menikmati suasana, tapi cenderung bergerak cepat dan terburu-buru. Dan, lebih-lebih kaum wanita -- seperti Mien -- mengutamakan waktu belanja siang hari. Menghadapi tren seperti itu, Handi, yang juga konsultan pemasaran, menyarankan pengelola mal melakukan *repositioning*. "Jangan lagi menjadikan kenyamanan atau keindahan sebagai daya tarik, tapi efisiensi layananlah yang harus dikedepankan," ujarnya. Tren Baru Lainnya Krismon ternyata membuat kelompok ini makin sibuk. Bagi kalangan eksekutif, jam kerja mereka di kantor menjadi semakin panjang. "Faktor ketidakpastian membuat *goal* yang kami buat menjadi semakin tidak jelas," ujar Benny Sindoro, Manajer *Establishment* Penjualan dan Pemasaran Amex. Nah, agar target yang diinginkan bisa dicapai, Benny mengaku di saat krisis ini menghabiskan lebih banyak waktu. Lain lagi dengan Mien Uno. "Di saat krisis ini hampir setiap hari saya diundang untuk ceramah," jelasnya. Faktor ketidakpastian juga membuat kelompok ini meningkatkan perhatian pada sejumlah hal. Irwan, yang banyak berhubungan dengan investor asing, hampir tak pernah absen mengikuti perkembangan politik. "*I do care politics*," tandasnya. Kenapa? Menurutnya, ini karena setiap kali membicarakan bisnis dengan perusahaan asing, faktor politik selalu dibicarakan. "Saya harus bisa memberi penjelasan yang akurat tentang perkembangan politik di dalam negeri," ujarnya. Untuk itu, setiap pagi pukul 06.00-06.30 ia sela lu baca koran dan mengikuti berita SCTV dan RCTI. Dan sesampai di kantor, ia memantau berita-berita luar negeri melalui *Reuters* dan *Bloomberg* setiap 1-2 jam. Tak hanya Irwan yang menaruh perhatian besar pada perkembangan politik, tapi juga responden lain. Selama krisis, aktivitas inilah yang peningkatannya terbesar (lihat *Grafik*). Aktivitas lain yang juga meningkat, antara lain mengikuti berita bisnis/ekonom i, mengikuti berita kriminal, nonton TV, menggunakan telepon, mengakses Internet, membaca buku pengetahuan, *meeting* di kantor. Sebaliknya, krismon juga menyebabkan intensitas stres responden meningkat. "Karena itu, pemunculan penawar stres seperti Nostr esa *timing*-nya tepat," timpal Handi. Hikmah positifnya, kondisi seperti itu membuat kelompok ini meningkatkan aktivitasnya pergi ke tempat ibadah, melakukan bakti sosial dan menjaga stamina. Di sisi lain, ada juga aktivitas yang menurun, seperti belanja ke luar negeri, pergi ke diskotek/pub/karaoke, bepergian dengan pesawat terbang, nonton film di gedung bioskop, pergi ke kafe, piknik, belanja ke mal, melihat pameran, mengikuti berita selebri ti dan berita olahraga. Peka terhadap Kenaikan Harga Kendati daya beli kaum kebal krisis nyaris tak terusik, tidak berarti mereka hantam kromo dalam berbelanja. Mereka ternyata cukup peka terhadap kenaikan harga. Untuk jenis-jenis produk tertentu, kenaikan harga ternyata sangat mempengaruhi keputusan mereka dalam membeli. Sejumlah produk/jasa yang menurut mereka sensitif terhadap kenaikan harga, antara lain hotel, penerbangan, *T-Shirt*, kemeja, minuman beralkohol, jas, celana, sabun mandi dan mobil. Sebaliknya, beberapa produk seperti minuman ringan, kopi, susu bayi, obat flu, air mineral dan rokok, dinilai kurang peka terhadap kenaikan harga. Data selengkapnya mengenai tingkat kepekaan produk terhadap kenaikan harga bisa dilihat pada *Tabel*. Apa artinya? Menurut Handi, temuan ini memberikan masukan sangat penting bagi para produsen sebelum mengambil keputusan menaikkan harga. "Produsen harus mempelajari dulu, masuk kategori mana barang yang dihasilkan," jelasnya. Jika produknya masuk kategori yang peka, tentunya harus ekstra hati-hati jika akan menaikkan harga. Sebaliknya, produsen yang produknya tidak peka, bisa leluasa menaikkan harga. Merek Favorit Riset ini juga menemukan sejumlah merek yang dalam kondisi krismon ini tetap jadi pilihan. Untuk kategori susu anak/bayi, pemenangnya adalah Dancow, disusul susu Bendera. Untuk teh, peringkat pertama ditempati Sariwangi, disusul Sosro. Untuk kopi, pilihan terbanyak jatuh ke Kapal Api, baru Nescafe. Data selengkapnya bisa dilihat pada tulisan *Sajuta* berikutnya. Itulah potret sebagian pola hidup baru kaum kebal krisis. Secara populasi, jumlah mereka memang kecil. Di Jakarta, seperti telah disebutkan, hanya 6%-8% dari total KK, sedangkan di 10 kota besar lainnya hanya 3%-4%. Namun, mereka adalah pasar potensial, y ang menjadi incaran para produsen di tengah menurunnya daya beli kelompok masyarakat lainnya. Karena itu, pergeseran gaya hidup mereka memang pantas dicermati para produsen, pemasar, orang iklan, desainer, dll., agar bisa menciptakan produk/layanan yang p as buat mereka. *Reportase: Yuyun Manopol, Sudarmadi, Maulana Yudiman dan Tantri Riyanti*.