FNU Brawijaya wrote:

> Bung Blucer, bisa diterangin masalah faham hitlernya. Soale hidung kita rata-rata 
>mancung...maksudnya
> mancung ke dalem. Kayaknya justru kita ndak ada yg model hitler. Malah sebaliknya 
>bukannya memuja kebesaran bangsa dewek, tapi bener-bener memuja ras aria tadi. 
>Padahal kalau kita ada di jaman WW-II, kita-kita ini juga dimasukin ke kamar gas.

BW: Paham Hitler yang saya maksud adalah masalah diskriminasi bahwa kelompok Jews 
patut dianiaya dan dibunuh. Praktek diskriminasi tidak akan berbuah positif.

>
>
> Kayaknya Bung Blucer mau mbelok ke masalah diskriminasi. Mari kita turuti.
>
> Soal sensus yg nggak absah. Kok tahu nggak absah? Bagaimana kalo Bung Blucer bikin 
>sensus yang absah, sehingga kita dapat menarik manfaat. Lha wong nyatanya ada 
>sekelompok masyarakat yg menguasai ekonomi kok mau menutupi kenyataan. Mau menghapus 
>diskriminasi bagaimana lha wong pengelompokan kekayaan pada suatu anggota kelompok 
>tertentu juga suatu bentuk diskriminasi itu sendiri. Coba digali binatang apa itu 
>diskriminasi.

> BW: Jika anda punya kawan BPS coba tanyakan berapa harta Pak Harto, Pak Habibie, Pak 
>Ginandjar ataupun bapak-bapak kita yang lain pada saat disensus. Saya yakin akan 
>mengisi jumlah pendapatannya hanya gaji + tunjangan. Coba lihat sekitar Pondok Indah, 
> Permata Hijau, dan Menteng. Apakah benar isinya Cina semua, apakah tidak ada Arab, 
>Orang Asing lainnya, dan tentu saja bapak-bapak pejabat kita. Darimana data 
>pengelompokan kekayaan tsb? Apa ada Cina konglomerat yang bergerak sendiri, tanpa ada 
>bapak-bapak kita dibelakangnya. Jika ada, saya bersedia disebut buta dan tuli. 
>Lainnya, Cina disebut cuma 3% dari populasi. Jelas saja, banyak Cina tidak mengaku 
>Cina disensus, ada yang mengaku Jawa, ada yang mengaku Makasar, Medan, atau Menado. 
>Katakan 3% dari 200 juta, atau 6 juta menurut sensus. Lihat kekota, berapa banyaknya 
>Cina disana. Lihat
> Jakarta Barat dan Utara, juga berlimpah. masuk kekaret kuningan, perumahan lainnya. 
>Lihat Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan Irian. Saya melihat Cina diseluruh 
>wilayah Indonesia, jadi kalau sensus cuma bilang 3%, itu sangat meragukan. Soal 
>pengelompokan kekayaan hanya dikelompok tertentu, juga lebih banyak rekayasanya 
>daripada faktanya. Saya banyak kawan pribumi yang kayanya melebihi kawan Cina saya. 
>Apalagi jika bicara keluarga Cendana, menteri-menteri bahkan kroni-kroni yang hanya 
>bergerak dipagar perpolitikan. Lebih aneh lagi, saya melihat Cina kaya karena mereka 
>bekerja diusahanya, sedangkan pribumi kaya karena berfungsi sebagai lintah yang 
>menyerap darah pengusaha yang tentunya darah rakyat juga. Kasihan pengusaha Cina 
>hanya dijadikan kambing hitam oleh para pemalas.

> Bung Blucer jangan nyungsepin kelapa, eh, kepala ke pasir dong. Wong kenyataannya 
>gitu. Kondisi kita jauh lebih parah dari Malaysia. Tapi mereka secara terbuka membuka 
>borok bahwa terdapat kesenjangan sosial antara WNM Cina dan WNM bumiputera. Untuk itu 
>program-program untuk menutup kesenjangan di bidang sosial dilakukan. Padahal WNM 
>Cina di Malaysia ada lebih dari 30% lho. Lihat dong program-program pendidikan juga 
>dilakukan khusus untuk WNM Bumiputra doang. Lha memang nyatanya ada. Sekarang mereka 
>sudah berhasil mengurangi kesenjangan sosial itu, dan program-proghram yg eksklusif 
>untuk WNM Bumiputra sudah dikurangi. Lha kita bukannya mempercayai sensus kok malah 
>mempertanyakannya. Ndak usah pake sensus juga sampeyan bisa lihat tho? Kok nganjurin 
>jangan ada pengutipan 3 persen itu maksude gimana? Orang kampung ndak bisa dibohongi 
>mas....

> BW: Kalau kita jalan-jalan ke Menteng, banyak pribumi kaya disana. masuk kedaerah 
>Senen ataupun perumahan-perumahan mewah lainnya, banyak keturunan Arab dan 
>Pejabat/eks pejabat/saudaranya pejabat tinggal disana. Apalagi bicara Cendana, 
>Golkar, bahkan orang-orang dipagarnya (tidak perlu orang sentral), kekayaannya tentu 
>tidak akan pernah tercatat oleh pihak sensus kita. Pemerintah yang mulai 
>batas-batasan orang sekolah di PTN/ataupun menjadi PNS, yach jelas mereka membentuk 
>kelompok sendiri, semua orang khan butuh makan. Karena itu campur saja, tidak perlu 
>diskriminasi. Kalau susah sama-sama susah, kalau senang sama-sama senang. Biar yang 
>berprestasi bisa lebih senang dari sipemalas. Malaysia mungkin lebih jujur dengan 
>sensus, bisa menyebut 30%. Walaupun demikian kita bukan harus memiliki policy yang 
>sama. Amerika melalui hukum
> anti-diskriminasi juga berjalan lebih lancar dari Malaysia. Kalau kita menginginkan 
>kita semua sama dalam hak dan kewajiban dan berdiri sama didepan hukum maka tidak 
>perlu ada diskriminasi. Yang perlu dihantam adalah KKN yang merupakan karya citra 
>dari orang malas. UU anti monopoli agar tidak tersedot oleh satu perusahaan saja. 
>Inilah solusi untuk mensejahterakan rakyat dan bukan mendiskriminasikan saudara 
>sebangsa sendiri.

> Weleh-weleh... bagaimana ini. Mosok mau membohongi diri sendiri. Menghindar dari 
>kenyataan.... Mana bisa ada perbaikan nih.... Mau menghilangkan praktek diskriminasi 
>kok menutup muka dari fakta adanya diskriminasi itu sendiri. Bangun oom.... Udah jam 
>9.00 pagi... Diskriminasi jangan dijadikan barang haram ah. Itu akan selalu ada. 
>Narik pajak juga dibikin diskriminasi. Sekian persen buat si kaya, sekian persen buat 
>si miskin. Mangkanya perlu diperjelas apa sih diskriminasi itu. Hehe...lha soale anda 
>menerapkan obat anti diskriminasi sebagai obat manjur untuk segala macem penyakit. 
>Kalau dibilang tidak boleh ada diskriminasi di bidang hukum ya jelas setuju. Semua 
>mesti kena. Tapi balik lagi hukum yg mana dulu tho? Hukum yg menguntungkan sekelompok 
>masyarakat sajakah? Nah....mesti dibagi lagi hukumnya....rak gitu tho?

> BW: Bung Jayalah yang menurut saya kurang mengerti soal diskriminasi. Soal pajak itu 
>namanya progressif dan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan. Hukum diskriminasi 
>memang bukan hukum yang muncul begitu saja. US sendiri dengan sejarah hitamnya, 
>berhasil memantapkan hukum diskriminasi berdasarkan pengalaman sejarah yang ada 
>dibantu dengan pendapat para ahli. Diskriminasi biasanya dilaksanakan berdasarkan 
>gender, ras age, dan nationality. Jadi selama hukum diperlakukan adil untuk seluruh 
>bangsa, itu namanya bukan diskriminasi. Jika ada Cina kaya pajaknya harus dibebani 
>lebih besar dari Cina yang miskin. Demikian juga dengan pribumi. Jadi tidak ada 
>diskriminasi antara Cina dan pribumi. Seharusnya ini juga dilaksanakan disemua 
>bidang, tanpa kecuali. Jika kita merasa satu bangsa, semua memiliki hak dan kewajiban 
>yang sama didalam hukum dan
> pemerintahan.

> Mau ngomong setinggi langit kalau lapangan menunjukkan lain ya susah mas.... Makanya 
>dari dulu ane selalu bilang lihat dulu kenyataan di lapangan..... Sesuaikan program 
>dengan kenyataan lapangan itu. Jangan bikin agenda sendiri..... Lha sebetulnya anda 
>malah sudah singgung hal ini di alinea sebelumnya, kok malah mbalik acara lagi. Wah 
>mas, kayak pejabat aja sih..... hehe...



> BW: Mas jaya kalau diskusi suka ngomel kayak perempuan, kadang saya malu 
>bacanya...he...he. Memangnya berapa lama bung dilapangan, kemudian dilapangan rumput 
>apa dilapangan tanah. Apa bung enggak pernah bergaul sama pribumi yang jauh lebih 
>kaya dari Cina. Makanya banyak bergaul bung, Malah saya banyak lihat, kekayaan Cina 
>enggak ada apa-apanya dibandingkan para pejabat, Cendana dan kroni-kroninya. Jika ada 
>Cina kaya, pasti ada pejabat dibelakangnya, dan pasti pejabat ataupun keamanan 
>disekitarnya dapat bagian. Saya enggak tahu lapangan yang mana yang bung tinggali, 
>yang pasti kalau cuma melihat Cina saja yang kaya, mata bung perlu diperiksa dokter.

Lho ngomong yang bener dibilang kayak pejabat, apa pejabat sering ngomong yang bener? 
Mungkin iya, tetapi yang pasti, bukan yang saya sering baca dikoran. Oh iya, saya lupa 
akan hobi ngomel anda :)

salam anti-diskriminasi
blucer

Kirim email ke