Mbak Yuni, ngaca dulu dong. Ingat saya mbak yuni pernah mengemukakan statemen berdasarkan dalil agama. Eeh begitu di tantang jelasin, malah salah kutip. Udah gitu pake ngeles nggak ada waktu lagi, dan minta kita-kita pada baca sendiri....... Jelas saya ragukan kalau mbak Yuni sampai bisa mastiin.. bahwa K.H Mustofa Bisri, KH Dr Yusuf Muhammad , .. dll, seperti yang mbak bilang. Tahu nggak siapa beliau ? Menurut saya, masalah yang dibicarakan adalah masalah ijtihad, jadi sah-sah saja kalau ada perbedaan pendapat dan pandangan. Tidak berarti kita boleh menilai seseorang lebih bertakwa dari yang lainnya karena ijtihad itu. salam, ----- Original Message ----- From: Yuni Wilcox <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Monday, June 28, 1999 9:06 AM Subject: Re: [Ulama NU menegaskan kesetujuannya akan presiden wanita] Wah ini baru "Muslim ala Indonesia". Baru kali ini saya membaca berita menarik bahwa ada ulama yang menghimbau tokoh agama (MUI)untuk tidak ikut campur ikut memberi masukan dalam hal politik. Pantas umat Islam di Indonesia kebanyakan pikirannya dangkal dangkal, habis ulama topnya kayak begini sih...........payah. Bagaimana mungkin menjadi nasionalis religius seperti yang dia bilang lha wong tokoh agamanya nggak boleh cawe cawe politik. Kalau himbauannya MUI tidak boleh memihak salah satu partai alias bersikap netral sih nggak jadi masalah, tapi ini himbauannya agar ulama nggak boleh mencampuri urusan politik, kalau ulamanya yang ikut campur politik itu punya alasan jelas apalagi dengan pedoman agama apalagi sebagai bagian dari tanggung jawab mereka sebagai seorang ulama ya seharusnya mereka itu berfikir sedikit sebelum nyerocos di depan wartawan. Saya berani pastikan Quran yang dibaca dan yang dijelaskan kepada santrinya hanya Quran yang menjelaskan shalat, puasa, zakat dan haji, sisanya di manipulasi. Ulama semacam ini biasanya yang paling bangga kalau dipanggil kyai, dicium tangannya. Santrinya banyak, jago baca dan menterjemahkan Quran akan tetapi nggak satupun yang nyantol di hati mereka. Paling paling cuma diotak dan kalau ada isu ada ummat yang menghina salah satu santrinya, mereka beramai ramai ngeroyok atau bakar gereja atau peribadatan lainnya. Karena itu yang mereka dapatkan dari ulama ulama yang berpikiran sempit. Lagian ulama yang hadir cuma 50 orang berani beraninya menyebut Nasional. Wah ..wah payah pak kyai.......... yuni Blucer Rajagukguk <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Berikut pendapat ulama pesantren nasional yang mencoba mengingatkan MUI akan keterlibatannya yang terlalu jauh dalam menggolkan presiden yang dimauinya dan menentang presiden yang tidak disukainya. Senin, 28 Juni 1999 Ulama Pesantren tentang Pertarungan Politik Kekuasaan MUI Jangan Terlibat Rembang, Kompas Ulama Pesantren Nasional (UPN) meminta organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), untuk menahan diri dari keterlibatan dalam pertarungan politik kekuasaan melalui pernyataan, fatwa, maupun aksi-aksi yang mengatasnamakan Islam dan otoritas ulama. Padahal secara amat kentara bertendensi mengusung kepentingan kelompok atau aktor politik tertentu dalam perebutan kekuasaan. Demikian satu dari sembilan butir seruan UPN yang diumumkan di Pondok Pesantren (Ponpes) Roudlutut Tholibin Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (26/6) petang. Acara yang dimulai sekitar pukul 11.00 itu dibuka oleh pimpinan Ponpes Roudlutut Tholibin, Mustofa Bisri. Ia menyampaikan permohonan maaf karena kakaknya (Kholil Bisri) berhalangan hadir, karena sakit. Pertemuan para ulama Nahdlatul Ulama (NU) tersebut berjalan lancar, yang diselingi humor-humor politik yang menggelitik. Meski tidak dituangkan dalam bentuk seruan, sebagian besar peserta Forum Silaturrohim itu sepakat tidak lagi mempersoalkan wanita presiden. Seruan UPN itu didorong munculnya perkembangan politik dalam negeri, yang ternyata menimbulkan konflik antarkelompok, manipulasi/sentimen agama, sentimen primordial, sehingga mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Seperti partai pro-status quo yang mencalonkan BJ Habibie sebagai presiden, gerakan anti-Megawati dengan mengedepankan isu gender yang dikaitkan dengan fiqih Islam tentang siyasah dan tidak bolehnya perempuan menjadi presiden. Sebelum sembilan butir seruan itu dibahas satu demi satu, sekitar 50 peserta Dauroh Siyasiyah (Forum Silaturrohim Ulama) terbatas Jawa-Madura-Bali-Sumatera itu diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya. Salah gunakan Islam Mereka menyebutkan, keterlibatan politik yang sembrono, di samping dapat membahayakan keutuhan bangsa, juga kontraproduktif, bahkan mementahkan ikhtiar-ikhtiar yang sepanjang hidup digeluti ulama pesantren dalam mengemong, membimbing masyarakat menuju kehidupan bersama yang tenteram dan harmonis. Ulama Pesantren menyerukan kepada segenap komponen bangsa untuk mendukung sepenuhnya gerakan reformasi total dan demokratisasi politik, dengan mengembangkan sikap yang lebih dewasa dalam pergaulan politik, berbangsa, dan bernegara. "Kepada semua kelompok yang berkepentingan dalam perebutan kekuasaan, kursi kepresidenan dan perebutan posisi politik strategis lainnya senantiasa mengingat kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui," kata mereka. Diserukan pula, kepada segenap umat beragama untuk senantiasa menjaga kejujuran, keikhlasan dalam beragama, yang berarti jujur dan ikhlas pada hal-hal yang menyangkut Allah Sang Pencipta. Ulama Pesantren amat menyesalkan tindakan-tindakan memperalat dan menyalahgunakan Islam untuk kepentingan politik kekuasaan. Sebelum berbagai platform dan ikhtiar strategis, prasyarat kunci untuk mencari jalan keluar dari kompleksitas permasalahan yang membelit bangsa ini, agar semua pihak bahu-membahu melaksanakan apa pun yang perlu dilaksanakan untuk menyelamatkan bangsa dan negara, serta membangun masa depan yang lebih baik. Ulama Pesantren menyerukan kepada semua pihak untuk "menyerahkan dan mempercayakan sepenuhnya kepada MPR yang sah hasil Pemilu 1999." Para ulama juga menitipkan pesan kepada mereka yang didaulat untuk mewakili rakyat, agar menggunakan pertimbangan yang jernih, obyektif, jujur dan adil, dalam mengambil setiap keputusan. Tidak menyerahkan pengelolaan urusan apa pun kecuali kepada ahlinya. Mereka juga berpendapat, membentuk pemerintahan baru lebih ringan keburukannya dibanding mempertahankan pemerintahan lama. Karena itu, UPN mengimbau kepada bangsa ini agar memilih alternatif yang paling ringan keburukannya. Mendahulukan pencegahan risiko dan ancaman kerugian yang nyata-nyata di depan mata, ketimbang mengejar manfaat yang belum terjamin wujudnya. Akhirnya di tengah keadaan serba sulit dan keterbatasan daya upaya, UPN mengajak seluruh masyarakat, khususnya kaum muslimin untuk menguatkan tadlorru, mendekatkan diri dan memohon pertolongan Tuhan. Semoga bangsa Indonesia diampuni dan diselamatkan. Permainkan nama Tuhan Menurut keterangan salah seorang pemrakarsa pertemuan tersebut, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), seperti dikutip Antara, upaya kelompok-kelompok politik mempermainkan nama Tuhan (Islam) itu sudah begitu menggejala, terutama menjelang Sidang Umum (SU) MPR. Apalagi yang lebih praktis, lanjut Gus Mus, pencalonan presiden juga sangat dominan mengeksploitasi agama. "Sekarang ini, sudah banyak tamu yang datang kepada ulama dengan membawa idiom Gusti Allah. Bahkan, MUI pun ikut-ikutan dalam percaturan kepentingan politik," katanya. Kalau begitu caranya, orang akan mudah menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingannya. Ini sangat rawan dan mengkhawatirkan masa depan bangsa kita," tegas pengurus Pengurus Besar NU itu. Para ulama, menurut dia, berkewajiban untuk menepuk pundak para elite politik dan kelompok kepentingan agar tidak mengorbankan kepentingan bangsa untuk kepentingan kelompoknya. "Bukti sudah menunjukkan bahwa para elite politik tidak pernah lagi berbicara Indonesia, tetapi berbicara kepentingan pribadi dan kelompoknya. Ini yang harus ditepuk pundaknya," lanjut Gus Mus. Senada dengan Gus Mus, KH Dr Yusuf Muhammad, juga mengisyaratkan ancaman disintegrasi bangsa dimulai dari kalangan elite politik. Dia menyerukan, agar masyarakat sadar dengan nasib bangsa saat ini dan dia mengharapkan semuanya berpikiran untuk menciptakan Indonesia sebagai negara nasionalis religius. Untuk menuju ke arah sana, kiai muda NU asal Jember itu menyebut tiga syarat minimal, yakni komitmen kepada nation state (negara bangsa), integrasi atau keutuhan bangsa, dan upaya penyelamatan Indonesia oleh mereka yang merasa memiliki Indonesia masa depan. (sup/Ant) ____________________________________________________________________ Get your own FREE, personal Netscape WebMail account today at http://webmail.netscape.com.