Tulisan saya bagi menjadi 3 bagian. (1) Masalah Timtim Dalam masalah Timtim, pihak barat selalu menyebutkan bahwa masalah Timtim adalah masalah rakyat Timtim vs. milisi pro-integrasi yg didukung oleh elemen dari TNI (dulu tidak ada kata 'elemen', red.) Dengan cara pandang seperti ini, maka tidak ada tempat bagi para milisi pro-integrasi di bumi di mana dilahirkan. Hal ini awalnya diungkapkan oleh Mayjen Cockroach yang bersabda, "letakkan senjata atau meninggalkan bumi Timtim" kepada para milisi pro-integrasi. Sampai sekarang pihak barat masih mendengungkan paham ini. Mereka lupa bahwa terdapat 21% masyarakat Timtim yang menghendaki otonomi, alias tetap berintegrasi dengan RI. Alhasil, sebanyak tak kurang dari 150,000 nyawa yang diharuskan keluar dari bumi Timtim (dengan asumsi referendum fair). Mengapa demikian? Mari kita lihat perkembangan pada hari pertama hasil referendum diumumkan. Besarnya arus massa yg keluar dari Timtim menunjukkan bahwa mereka merasa tidak aman berada di Timtim, yang sebentar lagi akan merdeka. Pertentangan antar yg pro dan yg kontra jauh lebih besar dari tuduhan sementara pihak, bahwa yang pro pasti 'dibayar' atau 'ditakuti' oleh pemerintah dan TNI. Pandangan ini sangat menyepelekan besarnya konflik yg ada di Timtim. Perkembangan akhir-akhir ini yang memberitakan terdapatnya beberapa spot massacre agak mencurigakan. Semua korban selalu dalam keadaan terbakar. Bagaimana bila ternyata mereka justru adalah pro-integrasi? Siapa yang dapat memverifikasi? Yang saya heran, pihak Interfet hanya memberitakan hal ini, dan usaha untuk menyidiknya nol besar (berita mancanegara yg memberitakannya). Terus terang saya curiga, jangan-jangan para korban adalah penduduk pro-integrasi yang dibantai oleh Falintil? Kemarin SMH menurunkan berita tertangkapnya 10 orang Kopassus (CNN dan ABCNews rasanya belum menulis, Detik dan Kompas sudah). Bila pasukan yang demikian terlatih dapat tertangkap demikian mudah (tanpa perlawanan), bagaimana mungkin mereka demikian ketakutan? Sedemikian ketakutannya sehingga memerlukan buku panduan pengetahuan ttg Kopassus. Rasanya, bila ada yg menyusup ke sana, maka mereka harus merupakan individu-individu pilihan. Tak mungkin demikian mudah ditangkap oleh serdadu Aussie yg tak pernah perang. Demikian pula dengan berita tertangkapnya pentolan Aitarak, yang kemudian disebutkan mempunyai kartu anggota Kopassus. (2) Adakah kaitan dengan situasi politik nasional? Saya melihat ada sesuatu yg jauh lebih besar dari sekedar menyuruh pasukan TNI keluar dari Timtim. Desakan agar: - pengadilan internasional diadakan - peacekeeper boleh masuk ke Timor Barat (didahului oleh double goals dari UNHCR yg alih-alih bicara soal bantuan malah bicara repatriasi) - menjelaskan bahwa tuduhan barat tentang pemaksaan trasmigrasi tidak benar, menunjukkan bahwa incaran barat tak hanya Timtim. Dengan suasana yang masih demikian tegang dalam politik nasional RI, sungguh aneh bila barat justru memperbesar desakannya. Dua hari yg lalu Mahathir menuliskan bahwa tidak fair mendesakkan berbegai persoalan di saat Indonesia dalam amsa transisi. Saya sangat setuju dengan pendapat dari Hasnan Habib (baca Detik), bahwa incaran pihak barat adalah Habibie dan Wiranto! Yang makin membingungkan buat saya adalah 'mengapa mereka'? Dengan pihak oposisi yang terdiri dari 2 yaitu Megawati dan Gusdur (sebagai calon dari poros tengah), menurut saya justru Habibie-Wiranto yang akan menjadi mitra pihak barat yang terbaik. Megawati yang bersikap sangat nasionalis mewarisi sifat bapaknya. Dan tidak ada yang tidak tahu bagaimana Sukarno membenci kaum kapitalis dan barat pada umumnya. Sementara itu Gusdurpun tidak memperlihatkan tanda-tanda bakal menawarkan kompromi ke pihak barat, sebaik yang dilakukan oleh Habibie. Bahkan Gusdur sempat naik pitam dengan kelakuan Australia yang sangat menyakitkan. Hal lain adalah terjadinya demonstrasi besar-besaran di Jakarta. Bahwa banyak mahasiswa yang curiga dengan maksud UU PKB adalah benar. Masalahnya, apakah ketidak-puasan mahasiswa dapat membentuk demonstrasi sesolid itu? Beberapa peserta milis yg sudah membaca salinan RUUKKN (bukan RUUPKB) menyatakan heran yang mana yang perlu didemo. Mungkin saja point yg berbahaya terlewatkan oleh pandangan mereka. Pertanyaannya, bagaimana mahasiswa yang hanya bermodalkan selebaran dapat menyatakan UU PKB berbahaya? Seberapa jauh mereka mempelajarinya? Saya sendiri cuma dapat postingan UUKKN (versi terdahulu dari UUPKB), dan melihat point yg meragukan. Sekali lagi, cuma meragukan. Tetapi sampai sekarang ternyata tidak ada yg bisa memosting salinan UUPKB. Lalu bagaimana kita mensikapi sesuatu yg belum kita baca? Bagaimana pula dengan sikap mahasiswa itu? Bila dikaitkan dengan besarnya skala demo, apa benar koordinasi dapat dilakukan demikian cepat? Berapa biaya yg perlu dikeluarkan oleh panitia (FORKOT dlsb)? Apakah tidak ada peran organ LN? Seorang pemosting bilang, jangan mencari kambing hitam LN! Saya demikian kaget, bagaimana bisa kita mengesampingkan hal ini? Bila kita rajin membuka dokumen lama CIA yg sudah direlease, kita akan terpana oleh luasnya jaringan laba-laba mereka. Itu baru CIA, bagaimana dengan dinas rahasia Australia, dlsb? Setiap pihak mempunyai kepentingan atas pihak lain. Ini adalah suatu statemen yg sangat penting buat saya. Badan yg demikian terbuka dalam merelease dokumen lama macam CIA mampu membuka mata kita, bagaimana negara yg jauh di balik bumi mengumpulkan data yg 'akurat' di setiap pojok dunia. Saya tidak perlu mengesampingkan anggapan bahwa 'kita jangan cari kambing hitam LN' justru dengan pertanyaan "Untuk apa sih CIA mau cari tahu segala macam? Jahil amat." Jadi, AS sebagaimana negara lain juga mempunyai kepentingan di Indonesia. Pertanyaan selanjutnya, seberapa besar sih kepentingan mereka? Apa sikap mereka bila Megawati yg naik? Bagaimana sikap mereka bila Habibie terus di atas? Bagaimana dengan Gus Dur? AS pernah terlibat dalam pergulatan politik tahun 1965, jadi tidak ada alasan untuk tidak mungkin terlibat di dalam pergulatan politik tahun 1999. Dulu AS juga ikut mengendarai mahasiswa (tanpa mereka tahu), jadi tidak ada alasan bahwa di tahun 1999 mereka tidak mungkin terlibat lagi. (3) Fenomena Australia Terpicu oleh keberhasilan mendesak UN untuk jadi pemimpin INterfet dan membujuk AS ikut serta, Howard Coward mendadak menjadi megalomanik dan ingin Aussie makin besar peranannya di Asia dan Asteng. Ucapan 'deputy AS sebagai polisi dunia' telah dibantahnya, namun nafas dari ide tersebut memang ada dan tidak dapat dipungkiri, bahkan oleh publik dalam negeri mereka sendiri. Masalahnya apakah sikap mereka yg melunak disebabkan oleh sikap Indonesia, ataukah oleh sikap negara-negara Asia lain yg bereaksi keras thd Howard? Perkembangan lain adalah surat dari Aussie kepada RI yang memohon untuk tidak ikut memboikot ekspor dari Aussie. Sikap Ginanjar jelas tepat dengan menyatakan tidak akan ikut campur dengan sikap para importir Indonesia. Aussie berlindung di balik ketidakberdayaan mereka untuk mengontrol masyarakatnya (dg memboikot pengapalan). Bagaimana mungkin RI mesti intervensi kepada para pebisnis Indonesia? Siapa yg akan bertanggung jawab kalau buruh Aussie mengulangi kelakuannya lagi? Bisa-bisa pemerintah RI dituntut oleh para pebisnisnya sendiri dong. SMH menyatakan tough line policy kepada RI tidak berubah. Yg berubah adalah 'Doktrin Coward' thd Asia secara keseluruhan yang perlu diperbaiki (doctoring). Lalu bagaimana dengan sikap RI? Sikap Yin and Yang hanya boleh berlaku di kalangan Asia. Bila negara seperti Aussie diberi sambutan lembut untuk kemplangan keras, maka interpretasi yang diperoleh adalah RI berkebijakan lemah lebut, sehingga tidak apa-apa bila sekali-kali dikemplang lagi. Kata orang, sebodoh-bodoh keledai tidak akan terjerumus di tempat yg sama. RI sudah berkali terjerumus oleh Aussie, apakah perlu terjerumus lagi? Lebih bodoh dari keledai dong....;) +Jeffrey Anjasmara ______________________________________________________ Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com