SUARA PEMBARUAN DAILY

Pendidikan Nondiskriminatif
RP Borrong

DUNIA pendidikan di Indonesia sangat sulit digambarkan dan diprediksi masa
depannya. Jangankan bicara soal mutu, soal angka-angkapun sudah sangat
memusingkan. Tulisan ini merupakan refleksi etis terhadap dunia pendidikan
kita di Indonesia akhir-akhir ini dengan sejumlah permasalahannya. Kita
prihatin dengan jumlah gedung sekolah yang ambruk di berbagai daerah.
Kita prihatin dengan masalah UAN baru-baru ini. Kita prihatin dengan biaya
pendidikan yang harus ditanggung oleh orangtua anak yang mengirim
anak-anaknya ke sekolah. Kita prihatin dengan kekurangan guru dan
seterusnya.
Para "guru pendidikan" dari dulu sampai sekarang, mengajarkan tidak boleh
ada diskriminasi dalam pendidikan. Confucius (551-479 Sebelum Masehi) telah
mengajarkan: "in education there is no discrimination". Konon sejak belia ia
sudah sangat rajin belajar.
Walaupun ia harus bekerja, ia selalu dapat mengatur waktu untuk belajar.
Bahkan iapun bisa mengatur waktu untuk bepergian. Karena kesadarannya yang
tinggi tentang manfaat pendidikan, ia mempersilakan siapa saja datang
kepadanya untuk belajar kepadanya untuk belajar. Ia mengajar setiap orang
dengan entusiasme dan konon kabarnya ia punya 3.000 murid.
Confusius adalah guru profesional pertama dalam sejarah Cina. Hari ulang
tahunnya dirayakan sebagai Hari Pendidikan di Cina. Konon di tangan
Confusius terjadi revolusi intelektual yang cukup radikal di Cina.
Pada masanya pendidikan menyentuh semua lapisan masyarakat, dari kalangan
aristokrat sampai pada rakyat biasa. Revolusi pendidikan Confusius pula yang
telah memungkinkan terjadinya transformasi kekuasaan kultural dari istana
kepada kelas para sarjana.
Namun yang menjadi misi terpenting dalam kehidupan Confusius bukanlah
pengajaran, melainkan pekerjaan. Semua orang berpendidikan di Cina ingin
menjadi pekerja yang baik sama seperti keinginan menjadi pembelajar dan
menjadi orang bijaksana. Mereka punya idealisme ganda: "bijak di dalam,
berwibawa di luar" (sageness within, kingliness without). Confusius sendiri
dikenal sebagai seorang administrator yang bijaksana dan berhasil.
Selama berpuluh tahun ia berkelana mempromosikan program politik-pendidikan.
Akhirnya ia kembali ke rumah di usia 70-an untuk melanjutkan pendidikan pada
murid-muridnya dan mengedit buku-buku pelajaran yang menjadi buku pendidikan
klasik Cina.
Catatan dan rekaman pengajarannya, percakapan-percakapannya dan
catatan-catatan perjalanannya dikumpulkan, diedit dan kemudian diterbitkan
sesudah kematiannya dalam sebuah karya yang terkenal sebagai: Analogi
Confusius (Analects of Confusius).
Keluhuran budi
Kunci dalam filsafat moral Confusius adalah keluhuran budi yang disebut jen.
Jen dapat juga diterjemahkan dengan kasih. Misalnya, Confusius menyebut jen
sebagai kasih terhadap semua orang. Salah satu teks dalam analogi Confusius
berbunyai: jen adalah mengasihi semua orang dengan penuh sukacita dan datang
dari hati yang terdalam. Jen akan membebaskan manusia dari kejahatan dan
berjuang hanya untuk mengasihi sesama.
Dalam ajaran Confusius, jen dapat dibandingkan dengan Agape (kasih) dalam
ajaran Yesus Kristus. Agape menurut Yesus Kristus adalah hukum yang pertama
dan utama. Jen dapat pula dibandingkan dengan ajaran keadilan (iustitia)
dari Socrates.
Iustitia menurut Socrates adalah super-virtus (kebajikan utama) dari semua
kebajikan. Mereka yang punya jen lebih suka mengorbankan hidupnya dari pada
mengizinkan jen-nya dilukai. Dalam kehidupan beragama, prinsip seperti ini:
kebenaran, kasih, keadilan dan kejujuran mestinya tak dikorbankan demi untuk
hal yang tidak utama.
Pendidikan diskrimintif terjadi ketika keutamaan bukan lagi kasih dan
keadilan, melainkan keuntungan materi dan kekuasaan. Komersialisasi di dunia
pendidikan menjadi sebab utama terjadinya praktik pendidikan diskriminatif.
Ketika pendidikan dijadikan sebagai komoditas, nilai-nilai moral yang
melandasinya seperti kasih dan keadilan digantikan oleh nilai yang lain,
yaitu materi dan kedudukan.
Perubahan ini meniadakan pula idealisme dalam pendidikan yaitu kearifan dan
kewibawaan. Pelaksana pendidikan seperti pakar, dosen/guru, birokrasi dan
masyarakat menukar tujuan pendidikan sebagai wahana pengembangan kearifan
dan keterampilan, menjadi bidang usaha yang menguntungkan secara material
dan politik.
Siapa yang bias membayar mahal biaya pendidikan, mereka menjadi prioritas
diterima menjadi murid. Prestasi intelektual nara didik menjadi sekunder
sedangkan keluhuran budi tidak lagi mendapat tempat.
Pelaksana dan pelaku pendidikan menjadi birokrat dan aristokrat yang
menciptakan elitisme dan karenanya perilaku mereka tak mendidik. Nara didik
tak mampu menemukan patron untuk diteladani dari para pelaku pendidikan.
Mereka bukan lagi guru yang patut digugu.
Mereka bukan lagi instruktur yang patut ditaati. Secara tanpa disadari,
makna pendidikan itu sendiri dilumpuhkan dan dimatikan. Idealisme pendidikan
dipenuhi bermacam teori dan teknik belajar canggih tetapi miskin roh dan
semangat pendidikan.
Para nara didik memburu kursi di lembaga pendidikan dengan semangat
mendapatkan ijazah, dan masuk dunia kerja tanpa harus memusingkan diri
dengan mutu, walaupun mereka sadar bahwa mutu pendidikan adalah syarat
mutlak mendapatkan kesempatan berkarya yang baik. Toh dunia kerja juga
sebagian sudah dikuasai oleh semangat kapitalistik dimana koneksi dan
korupsi lebih dominan dari pada kasih dan keadilan.
Ironi
Diskriminasi pendidikan di Indonesia merupakan suatu ironi sebab hampir
tidak ada lagi seseorang yang mampu menata pendidikan seperti diidealkan
oleh Ki Hadjar Dewantara. Kini dunia pendidikan kita dikuasai bukan semangat
mencerdaskan bangsa sebagaimana dirumuskan founding fathers. Dunia
pendidikan kita dikuasai oleh semangat kapitalistik sehingga hanya orang-
orang bermodal, yang mampu membayar biaya pendidikan yang bisa mengakses
pendidikan dengan baik.
Pendidikan di Indonesia sudah berubah menjadi labyrinth yang menyesatkan.
Siapa pun yang masuk di dunia ini hampir bias dipastikan tak akan mampu
menemukan jalan keluar dari lorong-lorong berliku yang menyesatkan.
Pendidikan di Indonesia adalah contoh yang paling menarik dari realitas
kesenjangan masyarakat.
Mereka yang pintar dan berduit adalah kelompok yang paling menikmati
pendidikan bermutu, murah (umumnya negeri yang dibiayai pemerintah) dan
gampang memasuki bursa kerja.
Sebaliknya, anak-anak orang miskin justru harus berjuang memasuki lembaga
pendidikan swasta yang relatif lebih mahal, kurang bermutu dan lebih sulit
mendapatkan lapangan kerja setelah menyelesaikan pendidikan.
Akibatnya, banyak anak orang miskin semakin tak mampu melanjutkan
pendidikan, selanjutnya semakin tertinggal secara intelektual dan ekonomi.
Akibat selanjutnya, mereka semakin terpuruk dilibas oleh kemiskinan dan
kemelaratan.
Kebijakan pendidikan di Indonesia harus diubah secara total. Harusnya
dilakukan subsidi silang dengan memberikan kesempatan kepada anak-anak yang
miskin ke dalam lembaga pendidikan bermutu dengan biaya murah, kalau bisa
gratis.
Sebaliknya, mereka yang secara ekonomi mampu, walaupun masuk ke lembaga
pendidikan yang dibiayai Negara, dapat dikenakan biaya sesuai dengan
kemampuan ekonomi keluarganya, ya semacam pajak pendidikan.
Gagasan seperti ini mungkin dianggap tidak realistik, tetapi kiranya itulah
satu-satunya benang Ariatne yang dapat menyelamatkan anak-anak Indonesia
dari labyrinth pendidikan. Tetapi yang kiranya lebih utama adalah tampilnya
para pelaku dan pelaksana pendidikan yang memiliki jiwa seperti Confusius
dan Yesus Kristus, menjalankan pendidikan dengan jen dan agape sebagai pilar
utama sehingga pendidikan memang terarah pada penguatan ganda manusia,
khususnya nara didik, yakni bijaksana di dalam dan berwibawa di luar.
Tanpa mengurangi dedikasi dan pengorbanan para pelaku pendidikan di
Indonesia, khususnya para birokrasi dan pendidik, kiranya patut direnungkan
contoh yang diberikan oleh Confusius demi terciptanya revolusi pendidikan di
Indonesia. Revolusi pendidikan itu bisa terjadi kalau, seperti Confusius di
Cina atau Dewey di Amerika Serikat, memulai transformasi pendidikan dengan
pendekatan moralitas.
Bukunya Education and Democracy, Schooland Society dan Experince and
Education sangat mempengaruhi terjadinya revolusi pendidikan di Amerika
Serikat. Dewey ternyata mendasarkan pendekatannya dengan pendekatan etika.
Bagi Dewey, tatanan sosial adalah acuan teori etika. Perubahan masyarakat
menciptakan konflik norma-norma etika. Konflik tersebut membutuhkan
klarifikasi dan formulasi etis.
Menurut Dewey, metode pemecahan konflik tersebut untuk mendapatkan
klarifikasi dan formulasi etis sangat bergantung kepada teori dan teknik
pengetahuan penyelesaian tatanan masyarakat dan pada sikap, keinginan,
kepentingan, dan harapan setiap orang maupun kelompok-kelompok masyarakat.
Selalu terjadi kemajuan dan kemunduran akibat konflik tradisi aturan-aturan
moral dalam masyarakat. Inilah sebabnya Dewey meyakini, pendekatan moral
dapat membawa perubahan revolusioner dalam dunia pendidikan.
Sebagai bahan renungan dan refleksi perlunya perubahan pendidikan di
Indonesia dengan pendekatan etika/ moral, kiranya perlu bercermin pada
pandangan Dewey yang telah mengubah pendidikan di Amerika Serikat pada
permulaan abad ke-20 yang lalu. Dewey berpendirian bahwa perubahan
masyarakat akan membawa kemajuan, khususnya dalam dunia pendidikan, kalau
menempuh pendekatan etika berikut:
Pertama, membuat kebijakan sesuai dengan apa yang kelompok-kelompok atau
masyarakat secara keseluruhan anggap sebagai kebenaran. Kedua, sesuai dengan
apa yang diyakini bersumber dari sumber transenden: Allah, akal budi, hukum
alam, dan sebagainya. Dan ketiga, sesuai dengan perasaan, keinginan dan
memuaskan.
Sangat jelas bahwa seluruh kelompok masyarakat di Indonesia menghendaki
kebijakan pendidikan yang tidak diskriminatif baik dari segi status
intelektual nara didik maupun status ekonominya. Maka yang harus diubah
adalah kebijakan pendidikan diskriminatif tersebut menjadi kebijakan
pendidikan non-diskriminatif dengan mengusahakan agar seluruh lapisan
masyarakat bias mengakses pendidikan sesuai dengan semanagat: "mencerdaskan
kehidupan bangsa".
Perubahan itu akan terjadi kalau semua pelaku pendidikan, birokrasi dan
pelaksana teknisnya menjalankan kebijakannya atas dasar kasih dan keadilan
dan bukan atas dasar keuntungan ekonomi dan kekuasaan kapitalistik. *


Last modified: 31/7/04



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Domains - Claim yours for only $14.70
http://us.click.yahoo.com/Z1wmxD/DREIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi.4t.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Reply via email to