Membaca tulisan di bawah, saya jadi teringat
pemerintah Islam Iran. Mereka memakai kata
"Mustadh'afiin" (orang2 yang dilemahkan) untuk
kelompok tertindas. Bukan "Dhu'afa" (orang lemah).

Memang dengan adanya pertambangan atau pabrik2. Di
satu sisi pemilik tambang/pabrik dapat keuntungan,
buruh bisa bekerja walau dgn upah UMR, sementara
pemerintah bisa menikmati pajak. Di sisi lain, sering
limbah pabrik mematikan sumber daya alam.

Sungai atau pantai yang sebelumnya bisa jadi sumber
pangan bagi penduduk setempat, karena terkontaminasi
ikan2nya jadi punah/tercemar. Puluhan ribu penduduk
yang menggantungkan diri sebagai peternak ikan,
petambak, atau nelayan, akhirnya kehilangan pekerjaan.


Sengaja/tidak disengaja rakyat di atas telah
"dimiskinkan." Bahkan lebih parah lagi, jika memang
rakyat sakit/meninggal karena air laut yang
terkontaminasi, secara sengaja/tidak sengaja rakyat
seperti "diracuni."

Semoga bisa didapat solusi industri yang ramah
lingkungan dan tidak mematikan mata pencarian rakyat
yang telah ada.

Salam
Agus Nizami



Assalaamu'alaikum
 
Sahabat, ini saya kirimkan cerita ttg teluk Buyat, ada
3 seri. Mohon maaf jika tidak berkenan (yang tidak
berkenan mohon replay)
 
Belum habis cerita tentang teluk Buyat, kini ada
cerita lagi tentang penggusuran warga di Menado. Semua
sama, membuat rakyat kecil meratap menangis menderita,
terjepit, sesak dan putus asa, karena tak ada yang
bisa (mau) menolong mereka. 
 
Saya pun hanya bisa berdo'a, tidak lebih. 
 
Wassalam,
Seger H
---------------------------------------------------------------------------
Rabu, 04 Agustus 2004 (Republika)
Laporan dari Teluk Buyat (1) 
Kampung Nelayan tanpa Aroma Ikan 

Laporan : 
Nama Teluk Buyat di Minahasa, Sulawesi Utara, merebut
perhatian kalangan luas. Munculnya sejumlah penyakit
yang diderita penduduk, dan ikan-ikan yang
bentol-bentol, menuai kontroversi. Untuk menelusuri
lebih jauh kehidupan warga Teluk Buyat, wartawan
Republika Asep K Nurzaman, tinggal di sana selama tiga
hari. Berikut laporannya yang dibagi dalam tiga
tulisan.
Hujan deras dari siang hingga malam membuat udara
Pantai Lakban, Teluk Buyat, terasa sejuk. Ketika hujan
reda, satu-satunya permukiman penduduk yang dikenal
dengan nama Kampung Buyat Pantai, Kamis dua pekan
lalu, seperti sedang dininabobokan debur ombak.

Para warga banyak memilih berdiam diri di dalam rumah
yang umumnya tanpa pelita. Sejumlah perahu tua jenis
ketinting dibiarkan teronggok di pasir pantai. Angin
darat tak membawanya melaut karena sang empunya sudah
putus harapan dengan mata pencaharian sebagai nelayan.

Bukan karena terbasuh air hujan jika di kampung itu
tak tercium bau amis ikan laut khas kampung nelayan.
Tidak pula karena sudah selesai makan malam jika di
dapur dan meja makan mereka tak lagi ditemukan
hidangan ikan laut segar.

Sejak 3-4 tahun lalu, mereka berangsur mengurangi
--hingga menghentikan-- makan ikan hasil tangkapan di
Teluk Buyat. Ini menyusul ditemukannya banyak ikan
mati mengapung di permukaan Teluk Buyat dengan kondisi
membiru dan bentol-bentol. Mereka pun mulai mencatat
warga yang jatuh sakit dengan gejala di luar penyakit
yang biasa mereka derita (malaria, influenza, demam,
dan diare). Timbul benjolan pada organ tubuh,
gatal-gatal, dada kepanasan, dan kejang. Dalam tiga
tahun terakhir, lima warga tewas secara ''tak wajar''
oleh penyakit yang tidak mereka kenal itu.

Laut, yang hanya beberapa langkah dari rumah mereka,
tidak lagi menjadi sumber kehidupan yang menggiurkan.
Anak-anak segan untuk berenang. Kucing pun ikut tak
betah hidup di kampung ini karena tidak ada tulang dan
kepala ikan yang bisa dijadikan santapan lezat nan
sehat.

Malam semakin larut. Dua bocah bersaudara, Nurjanah
(11 tahun) dan Ramadhan (8 tahun), tangisnya meledak
karena perutnya keroncongan sejak siang. Orang tuanya,
Jemmy Bawole (35 tahun) dan Ahyani (30 tahun),
kebingungan. Tak ada nasi yang bisa ditanak dan ikan
untuk dimasak. Tetangga pun sama miskinnya. Mereka tak
mempunyai uang untuk belanja ke warung. 

Sang ibu akhirnya lari ke kebun orang. Ditemukannya
pohon pisang yang buahnya masih mentah, dan dipetiknya
beberapa. Sampai di rumah, pisang getas itu direbus
lalu disuapkan pada sang anak. Sejenak tangis
berhenti, tapi mereka tetap meringis. Apa enaknya
pisang mentah rebus, memang!

Kampung Buyat Pantai terletak di sisi barat Teluk
Buyat. Rumah-rumah sederhana yang kebanyakan terbuat
dari kayu dan beratap rumbia atau seng, berderet
mengikuti alur garis pantai sepanjang 200 meter, dalam
dua baris yang dibelah jalan tanah selebar tiga meter.
Kampung ini berada pada tapal batas Kabupaten Bolaang
Mongondow dan Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Di
dalamnya bermukim 78 kepala keluarga (KK) atau hampir
300 orang. Letaknya terpencil alias jauh dari
keramaian kota. Lebih terisolasi lagi karena belum
terjangkau jaringan listrik apalagi telepon. 

Sejak tujuh bulan lalu memang terpancang tiang listrik
dengan kabelnya melintang di atas permukiman warga
Buyat Pantai. Namun, hingga kini belum ada setrum yang
mengalir untuk menerangi rumah-rumah penduduk
setempat. Kampung tetangganya yang terdekat adalah
Buyat I, sekitar 1 km di pedalaman Teluk Buyat.
Sedangkan pasar terdekat sekitar 1,5 km ke lain arah,
yaitu di kota Kecamatan Ratatotok, Minahasa Selatan.
Di sini bisa ditemukan aliran listrik dan wartel
satelit. Tapi, tetap merupakan areal blankspot bagi
telepon seluler.

Dari Manado, ibu kota Sulawesi Utara, letak Teluk
Buyat berada di barat daya dengan jarak tempuh sekitar
110 km. Medan jalan menuju Teluk Buyat cukup
berliku-liku dan melintasi perbukitan. Diperlukan
waktu sekitar 4 jam untuk menempuhnya.

Nama Kampung Buyat Pantai, belakangan naik daun,
menjadi buah bibir di tingkat nasional bahkan
internasional. Ini menyusul langkah Yayasan Sahabat
Perempuan, Yayasan Nurani, Kelola, dan Lembaga Bantuan
Hukum Kesehatan (LBHK), membawa empat warga Buyat
Pantai ke Jakarta: Rasyid Rahmat (45 tahun), Masnah
Striman (41 tahun), Juhria Ratumbahe (45 tahun), dan
Sri Prika Modeong (2 tahun). 

Keempat orang itu adalah contoh kasus paling ekstrem
yang masih hidup dari warga Buyat Pantai yang
dicengkeram oleh ''penyakit aneh'' tersebut. Republika
mencatat, dari 75 warga setempat yang sempat ditemui
dari rumah ke rumah, tak satu pun yang tubuhnya bebas
dari penyakit itu. Ada saja benjolan, kulit lecet,
keluhan pusing-pusing, dan sering keram. 

Latar belakang warga Buyat Pantai adalah nelayan.
Mansyur Lombonaung (50 tahun), kelahiran Sangir
Talaud, ikut merintis terbentuknya komunitas di Teluk
Buyat ini pada 1982. Di sini pun ia beranak pinak,
kini memiliki enam anak dan tujuh cucu. Nelayan lain
dari pelbagai daerah kemudian ikut merapat. Karena, di
teluk ini, mereka melihat adanya tanda-tanda sumber
mata pencaharian yang bisa memberikan napas panjang
pada kehidupannya. 

Bagi nelayan, menetap di sebuah tempat merupakan hasil
dari proses seleksi. ''Adanya permukiman nelayan di
Teluk Buyat pun karena mereka melihat ada sumber
kehidupan yang menjanjikan,'' kata Dr Rignolda
Djamaludin, peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado.

Nener bandeng dan ikan lompa, misalnya, begitu
melimpah di Teluk Buyat. Dengan jaring sederhana saja,
jenis ikan ini mudah ditangkap dari pantai. Pada
1980-an, nener bandeng selain sebagai sumber protein
yang enak disantap, juga nilai jualnya cukup tinggi. 

Pada 1996, PT Newmont Minahasa Raya (NMR) mulai
melakukan operasi penambangan emas pada areal sekitar
600 hektare di Bukit Mesel. Lahan ini dibebaskan
secara paksa dari rakyat setempat. ''Harganya tidak
manusiawi, hanya Rp 250 per meter,'' ungkap Ramlan,
mantan kepala Desa Ratatotok, yang pernah ikut
menjemput bos NMR, Richard Linsang, pada 1987.

Jika ditarik garis lurus, lokasi tambang itu berjarak
sekitar 6 km di arah utara Teluk Buyat. Di sini
terdapat hulu sungai yang bermuara ke Teluk Buyat.
Sekitar 4 km ke arah timur laut, terdapat daerah
bernama Lobongan yang menjadi areal tua penambang emas
rakyat. Di sini pun terdapat hulu sungai, namun
bermuara ke Teluk Totok. 

Tapi, aktivitas tambang PT NMR menjadi sangat
bersentuhan dengan warga Buyat Pantai. Pasalnya, dari
tambang perusahaan Amerika ini, menjulur pipa
sepanjang 9,5 km ke dasar Teluk Buyat. Berubahlah
perairan yang eksostis dan sunyi ini sebagai ''bak
sampah raksasa'' untuk limbah tambang yang disebut
tailing. Stasiun katup buang (chook station) dari pipa
tailing itu jaraknya hanya 50 meter dari pintu masuk
Kampung Buyat Pantai. Warga Buyat Pantai akhirnya
hidup dekat kubangan sampah tailing yang mengandung
zat kimia arsen, antimon, dan merkuri. 

Tailing adalah limbah yang dihasilkan dari proses
ekstrak tanah yang berkandungan emas dengan
menggunakan sianida. Dalam novel-novel detektif Barat
atau film Hollywood, sianida sering disebut sebagai
racun yang efektif untuk membunuh lawan. ''Apa pun,
tailing itu adalah sampah. Warga hidup di sekitar
sampah berbahaya,'' kata Rignolda. Tapi, warga yang
tak berpendidikan itu tidak paham dengan tailing.
Mereka hanya sempat mendengar dari orang NMR bahwa
tailing itu sejernih air mineral yang bisa diminum.
''Itu dikatakan PR PT Newmont, David Sompie, pada
1995,'' kata Mansyur.

Tak lama setelah NMR membuang tailing ke Teluk Buyat,
pada 26 Februari 1996, pipa dekat chook station
ditakdirkan bocor. Keluar cairan hitam pekat dan
kekuning-kuningan, meleleh sampai ke jalan. Warga
mencium bau tak sedap menyengat hidung. ''Namun kami
dilarang keras mendekat,'' ungkap Mansyur. Pada 1998,
warga juga mencatat, pipa tailing yang menjulur ke
dasar teluk, mengalami kebocoran pada kealaman 15 dan
65 meter. Peristiwa itu menjadi pertanda awal
malapetaka bagi warga Buyat Pantai. Pada 17 Mei 1996,
warga mulai menemukan ikan mengapung di Teluk Buyat
dalam jumlah puluhan ekor. 

Dalam jumlah mencapai ratusan, ditemukan lagi pada 29
Juli 1996. Jenis ikan yang mati itu dari keluarga ikan
karang, seperti geropah, tato, kuli pasir, dan
daulise. Kondisi bangkai ikan itu, antara lain,
tubuhnya membiru. Namun, upaya warga mencari tahu
penyebabnya, termasuk melalui PT NMR, tidak mendapat
jawaban memuaskan. 

Pada pertengahan 1998, warga Buyat Pantai digemparkan
oleh terdamparnya seekor bayi ikan hiu dengan panjang
tiga meter dan lingkaran 40 cm. Kasus inipun
dilaporkan ke pihak NMR. Namun, mereka baru datang
setelah bangkai hiu itu tiga hari dilarung ke laut.
''Terlalu besar untuk diteliti,'' kilah Jerry Ko Yan
So, Bagian Lingkungan NMR, seperti dicatat warga.

Namun, segala catatan warga tentang rangkaian kejadian
di sekitar Teluk Buyat itu, ditepis mentah-mentah oleh
Manajer PR PT NMR, Kasan Mulyono. Ia haqqul yaqin,
limbah tailing yang dibuang ke Teluk Buyat dengan
sistem Submarine Tailing Disposal (STD) tidak mungkin
menimbulkan pencemaran lingkungan. NMR sempat
melemparkan tuduhan tertulis ke penambang rakyat.
Anehnya, Kasan yang mantan wartawan, tidak mengakui
adanya rilis itu.

Yang pasti, setelah diguncang oleh rangkaian kasus
kematian ikan, pada 1999, warga Buyat Pantai mulai
didera berbagai penyakit baru. Dari gatal-gatal
bernanah, kesemutan, kepala nyut-nyutan, hingga
span-span (kejang-kejang). Ini, misalnya, dialami
istri Mansyur, Rahyam (30), anaknya Ahyani Lombonaung
(22), dan cucunya Rahmat Modeong (7 tahun).

Lalu mereka melakukan kelinci percobaan pada tahun
2000. Diliriknya seekor kucing dewasa yang tengah
menyususi dua anaknya. Kondisinya segar-bugar. Si
induk dikasih ikan yang dimasak hasil tangkapan dari
Teluk Buyat, rutin setiap hari. Setelah dua bulan uji
coba itu berlangsung, kesehatan induk kucing itu
terganggu. Muncul benjol-benjol pada organ tubuhnya.
Lalu anaknya mengalami penderitaan serupa. Seminggu
kemudian, si induk mati, disusul anak-anaknya di
kemudian hari.

Warga pun waswas. Jangan-jangan, gejala sakit ''aneh''
pada mereka karena banyak menyantap ikan hasil
tangkapan di Teluk Buyat. Sejak itu, aroma ikan pun
mulai hilang dari perkampungan nelayan Buyat Pantai.
Tepatnya, sejak tiga bulan lalu, menyusul kematian
bayi Andini Linsum (5 bulan) yang lahir dengan sosok
mengerikan. (bersambung)


=====
Visit my daughter's homepage at:
http://www.geocities.com/hana_hanifah7


                
__________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail - 50x more storage than other providers!
http://promotions.yahoo.com/new_mail


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Domains - Claim yours for only $14.70
http://us.click.yahoo.com/Z1wmxD/DREIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi.4t.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke