http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=artikel%7C-18%7CX
Senin, 23 Agustus 2004
UU Anti Pornografi: Memicu Kekerasan Seksual 


Oleh Soe Tjen Marching


Apakah pornografi itu? Menurut definisi RUU Antipornografi, "pornografi adalah bentuk 
ekspresi visual berupa gambar, lukisan, tulisan, foto, film atau yang dipersamakan 
dengan film, video, terawang, tayangan atau media komunikasi lainnya yang sengaja 
dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat 
vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan 
sensualitas dan atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan 
seks manusia yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu berahi pada orang lain". 

Namun, definisi ini amat menyesatkan. Bukankah sulit menentukan gerakan erotis yang 
mana yang bisa menimbulkan berahi? Dan apa salahnya erotisme atau berahi seksual? 
Bukankah berahi itu sehat? Bukankah hanya dengan adanya sensualitas, kita dapat 
dilahirkan di dunia ini? Bukankah kelahiran kita, keberadaan kita, adalah buah 
persenggamaan. Lalu mengapa hal ini menjadi begitu menjijikkan? Apa salahnya 
menonjolkan sensualitas, bila hal ini adalah sebuah keindahan yang seharusnya 
dinikmati dan disyukuri? 

Bukankah ketelanjangan dan seksualitas telah dapat ditemukan pada sejarah panjang 
budaya kita: dalam serat Centini, patung-patung telanjang Ken Dedes, simbol lingga dan 
yoni, arca-arca di Borobudur. Penggambaran penis dan vagina dapat dengan mudah 
ditemukan pada Candi Sukuh dan Candi Ceto yang terletak di kaki Gunung Lawu (30 km 
dari Solo). Penis tegang dan vagina merekah, arca tak berkepala menggenggam palusnya 
dan penis raksasa yang menyambut di gerbang bukanlah gambaran jorok dan tak bermoral, 
melainkan simbol-simbol agama Budha yang melambangkan harmoni dan keseimbangan alam. 
Sensualitas dalam filsafat Cina Yin-Yang ataupun Karma Sutra telah meresap dalam 
beberapa agama di dunia. 

Lalu mengapa sensualitas menjadi momok bagi masyarakat kita sekarang? Karena 
sensualitas biasanya dikaitkan dengan masalah moral oleh banyak orang. Karena para 
orang tua menjadi cemas bila hal-hal yang mempertontonkan sex dapat mempengaruhi 
perilaku anak mereka. 

Yang dikuatirkan adalah penyalah gunaan berahi seks, bukan seks itu sendiri: seperti 
timbulnya pelecehan, kekerasan ataupun paksaan seksual dan seks yang menimbulkan 
kehamilan tak diingini. Tapi, karena penyalahgunaan seks begitu ditakuti, sensualitas 
terkadang menjadi begitu menjijikkan. 

Tidak semua sensualitas dapat merangsang kekerasan seks, dan tidak semua sensualitas 
selayaknya dianggap tabu dan disebut pornografi. Kriminalitas seks-lah yang seharusnya 
dicegah dan diperangi. 

Pornografi = Kriminalitas & Penyalah gunaan seks 
Pornografi adalah kriminalitas dan penyalah gunaan seks, bukan sex itu sendiri. 
Beberapa video dan buku-buku porno penuh dengan eksploitasi perempuan. Pemaksaan dan 
bahkan pemerkosaan terhadap perempuan biasanya dipandang sebagai suatu kenikmatan 
dalam video-video ataupun buku-buku porno. Bahkan sering digambarkan bahwa perempuan 
menghendaki paksaan dan pemerkosaan seperti ini. Kesakitan perempuan dalam kebanyakan 
video ataupun buku porno menjadi kenikmatan lelaki. Namun, ketika pornografi 
dipermasalahkan, yang dituding adalah sensualitas dan bahkan perempuan itu sendiri. 

Cara menghentikan pornografi tidak dengan membungkam sensualitas. Seperti juga sakit 
kepala tidak seharusnya dihentikan dengan memenggal kepala. Sensualitas tidak dapat 
dibungkam dan ditiadakan begitu saja. 

Memang, ketika jaman Orde Baru, pornografi tidak merebak seperti ini. Semua serba 
terkontrol bahkan terbelenggu. Tapi bukan berarti kekerasan seksual tak terjadi di 
balik pintu. Beberapa perkosaan yang tak terlaporkan, pelecehan perempuan di 
jalan-jalan, pemerkosaan bocah perempuan oleh guru dan bahkan ayah atau kakak lelaki. 
Para pejabat yang mempunyai ratusan gundik dan menyia-nyiakan istri. Gosip-gosip 
tentang perilaku seksual teman atau tetangga sendiri menjadi bisikan yang begitu 
nikmat. Pengbungkaman sensualitas di publik adalah peledakan dan penyalah gunaan 
sensualitas pada tempat-tempat lainnya. 

Semakin sensualitas ditekan, semakin asing sensualitas tersebut, semakin menggairahkan 
kehadirannya dan semakin maraklah pornografi gelap. Karena bagian dari kelarisan 
pornografi adalah kenikmatan terlarang yang jarang didapat. 

Dan sasaran pengekangan sensualitas biasanya ditujukan pada perempuan, karena lelaki 
adalah penegak hukum: pihak yang mengadili kesalahan. Karena itulah, sebagai obyek 
dari kebanyakan video-video ataupun buku-buku porno, perempuan jugalah yang disalahkan 
sebagai pemicu berahi: pantat Inul-lah yang dikejar-kejar. Figur negatif perempuan 
sebagai “penggoda” telah dapat ditemukan dimana-mana: dalam cerita Adam dan Hawa atau 
Samson dan Delilah. Perempuanlah yang sering dituduh sebagai sumber kejatuhan karier 
dan moral laki-laki. 

Kedudukan perempuan sebagai penggoda bahkan tercermin pada kabar-kabar pemerkosaan di 
negeri kita. Hampir di seluruh kabar pemerkosaan disebutkan bagaimana sang lelaki 
telah “terangsang” oleh perempuan, atau bagaimana tubuh perempuan telah “menghilangkan 
akal” si pemerkosanya. Walau telah menjadi korban kekerasan, sang perempuan tetap 
ditempatkan sebagai pemicu nafsu dan seakan masih tak lepas dari suatu kesalahan. 

Karenanya, pembasmian pornografi yang mengambil jalan pintas menjadi salah kaprah dan 
bahkan mendorong kekerasan-kekerasan seksual lainnya. Hal ini terjadi pada Puritanisme 
seksualitas di Inggris pada abad ke-16 sampai abad ke-18. Puritanisme inilah yang 
memaksa seorang penulis terkenal, Mary Ann Evans, untuk memakai nama samaran George 
Eliot dan hidup dalam kebohongan karena perilaku seks-nya yang tak dapat diterima oleh 
masyarakat jaman itu. Puritanisme ini juga yang menyebabkan beratus-ratus perempuan 
dituduh sebagai “tukang sihir” dan dibakar hidup-hidup, hanya karena mereka tidak 
“manut” dengan peraturan seks yang ditetapkan Gereja. Walaupun sebuah novel historis 
The Name of the Rose sempat mencatat biarawan yang menghujat namun sekaligus menikmati 
tubuh perempuan seperti ini. 

Begitu pula pada jaman Victoria, ketika pornografi ditekan dengan cara membungkan 
sensualitas, terutama sensualitas perempuan. Perempuan baik-baik dalam jaman itu 
adalah perempuan yang tidak menunjukkan berahi. Seks dilakukan semata untuk berkembang 
biak dan memproduksi anak. Bahkan membayangkan kenikmatan seks-pun dianggap dosa oleh 
Gereja. Namun, pelacuran gelap merajalela. Pemerkosaan dan pelecehan seksual terjadi 
dimana-mana. Virginia Woolf, seorang feminis yang lahir pada akhir jaman Victoria, 
adalah salah satu korban incest: dia mengalami pelecehan seksual dari kakaknya 
sendiri. Oleh karenanya Michel Foucault menyebut jaman Victoria bukan sebagai jaman 
pembersihan sensualitas, namun sebagai jaman penyuburan sensualitas, karena fantasi 
dan pelecehan sensualitas menggelora secara diam-diam. 

Beban perempuan untuk tidak dianggap sebagai penggoda akan bertambah. Karena dalam 
represi seksual, penangkapan perempuan-perempuan yang dianggap “nakal” sering menjadi 
erotika tersendiri bagi yang berkuasa. Seperti juga penangkapan basah 
pasangan-pasangan di kampung yang dicurigai berbuat tak senonoh oleh para hansip dan 
ketua RT. Pengarakan para pasangan ini menjadi tontonan yang amat mengasyikkan adalah 
lambang kekuasaan para penguasa. 

Bukankah penangkapan seperti ini adalah wujud pelampiasan frustrasi seksual dari yang 
berkuasa? Karena penangkapan seperti ini seringkali diawali oleh imajinasi seksual 
yang berwewenang akan pasangan tersebut: sebuah ketakutan dari yang berwewenang bahwa 
ada segelintir manusia yang mengenyam kenikmatan luar biasa tanpa mengindahkan 
otoritasnya. Bukankah penangkapan-penangkapan seperti ini adalah juga kekerasan 
seksual dari yang berkuasa, karena yang berwewenang biasanya tidak berniat mendidik 
melainkan menunjukkan dominasi mereka? Berapa banyak pelacur yang ditangkap hanyalah 
untuk dipermalukan, dilecehkan, dan bahkan diperkosa oleh pihak yang berwajib? 
Bukankah pelecehan ini adalah pornografi dalam arti sebenarnya? 

Di Denmark dan Finlandia yang amat terbuka akan sensualitas dan bahkan produk-produk 
seks dijual di jalanan, angka kekerasan seks malah rendah. Karena pandangan dan 
pendidikan seks yang dewasa, keterbukaan akan seks tidak menjadikan kriminalitas seks 
merebak, bahkan sebaliknya. 

Di negara kita, yang diperlukan bukanlah pembungkaman sensualitas kepada publik dan 
bukanlah Undang-Undang yang menekan, namun penerimaan dan pendidikan seks dan 
sensualitas secara terbuka. UU anti pornografi dengan definisi yang salah kaprah tidak 
akan menghentikan kriminalitas seks, bahkan dapat memicu kekerasan-kekerasan seksual 
lainnya. 

Lagipula, bila UU anti pornografi berlaku dan para aparat diharuskan konsekuan 
terhadapnya, apakah mereka harus mengajari arca Ken Dedes untuk ber-BH? 


Soe Tjen Marching,adalah staff pengajar di Ballarat University – Australia.Versi yang 
hampir sama dari tulisan ini telah dimuat di Harian Kompas 2 Agustus 2004.





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi.4t.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke