Penerapan Syariat, Bukti Keimanan Oleh: Rokhmat S. Labib Publikasi 14/09/2004
hayatulislam.net - Sungguh, demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (Qs. an-Nisâ’ [4]: 65). Sabab an-Nuzûl Ayat Menurut Atha’, Mujahid, dan asy-Sya’bi ayat ini masih berhubungan dengan ayat sebelumnya yang turun berkenaan dengan perselisihan seorang munafik dan Yahudi.*1) Dalam perselisihan tersebut, orang Yahudi menginginkan Rasulullah Saw sebagai hakimnya, sementara orang munafik justru mengajak ber-tahkîm kepada Ka’ab bin Asyraf. Kemudian turunlah ayat di atas, yang sebelumnya diawali ayat berikut: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghût itu. (Qs. an-Nisâ’ [4]: 60). Pendapat ini didukung Fakhruddin ar-Razi,*2) Ibn ar-Arabi,*3) dan Ibnu Jarir ath-Thabari. Menurut ath-Thabari, ayat ini masih dalam konteks kisah orang-orang yang diceritakan Allah SWT mulai dari ayat 60. Di samping itu, tidak ada dalâlah (bukti) yang menunjukkan terputusnya kisah mereka. Karena itu, menghubungkan antara ayat-ayat tersebut —selama tidak ada dalâlah yang menunjukkan keterputusannya— lebih utama.*4) Menurut pendapat lain, ayat ini turun secara terpisah dengan ayat sebelumnya. Sabab an-nuzûl-nya berkenaan dengan perselisihan Zubayr bin al-‘Awwam dengan seorang laki-laki Anshar dalam hal pengairan kebun. Dalam kasus itu, Rasulullah Saw memutuskan agar air dialirkan ke kebun Zubayr lebih dulu, karena letak kebunnya lebih dekat dengan aliran air.*5) Laki-laki Anshar itu merasa keberatan dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah karena dia anak pamanmu?” Mendengar kata-kata itu, wajah Rasulullah Saw berubah, lalu bersabda, “Airilah kebunmu, hai Zubayr, tahanlah hingga melampaui pematangnya, kemudian alirkan ke tetanggamu.” Menurut Zubayr, ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Demikian riwayat Ahmad, Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Nasa‘i, Ibn Majah, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn Hibban, dan al-Baihaqi.*6) Sekalipun terdapat perbedaan pendapat tentang sabab an-nuzûl-nya, ayat ini tidak hanya dikhususkan untuk orang munafik yang ber-tahkîm kepada Ka‘ab bin Asyraf, atau laki-laki Anshar yang keberatan dengan keputusan Nabi Saw ketika berselisih dengan Zubayr bin al-‘Awwam saja. Ayat ini berlaku umum, meliputi setiap orang dan mencakup setiap perkara, sebagaimana ditegaskan dalam ayat sebelumnya (Qs. an-Nisâ’ [4]: 64). Ini dilakukan pada saat Nabi Saw masih hidup. Sepeninggal beliau, tentu kaum Muslim harus ber-tahkîm pada al-Qur’an dan as-Sunnah.*7) Tafsir Ayat Ayat ini diawali dengan frasa falâ warabbika. Allah SWT bersumpah dengan Zat-Nya Yang Mahasuci, wa rabbika (Demi Tuhanmu). Disandarkannya kata rabb kepada kâf al-khithâb (Rasulullah Saw) sebagai bentuk ta‘zhîm (penghormatan) kepada beliau.*8) Sedangkan kata lâ, menurut ath-Thabari, adalah untuk menafikan perkara yang disebutkan sebelumnya, sehingga maknanya, “Perkaranya tidak seperti yang mereka dakwakan, bahwa mereka telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu, padahal mereka justru ber-[i]tahkîm kepada thâghût dan berpaling darimu tatkala diseru kepadamu.[/i]”*9) Berbeda dengan ath-Thabari, menurut ar-Razi dan az-Zamahsyari, kata lâ dalam ayat tersebut merupakan mazîdah yang berfungsi untuk menegaskan makna sumpah (li ta’kîd ma‘nâ al-qasam) dan mengagungkan perkara yang disumpahkan (li ta‘zhîm al-muqsam bih). Untuk memperkuat argumentasinya, mereka menunjukkan ayat-ayat lain, seperti Qs. al-Qiyâmah [75]: 1; Qs. al-Insyiqaq [84]: 16; Qs. al-Balad [90]: 1; dan Qs. at-Takwîr [81]: 15 yang menggunakan lâ mazîdah untuk menegaskan makna qasam (sumpah). Oleh karena itu, frasa awal ayat itu dapat diartikan: Sungguh, demi Tuhanmu. Setelah bersumpah dengan Zat-Nya Yang Mahasuci dan Mahaagung, lalu disampaikan jawab al-qasam-nya: lâ yu’minûna hattâ yuhakkimûka fî mâ syajara baynahum (mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan). Kata hattâ memberikan makna ghâyah (batas akhir). Itu berarti, mereka baru dapat dikatagorikan sebagai Mukmin ketika mereka telah mengerjakan semua perbuatan yang disebutkan setelahnya (kata hattâ). Perbuatan tersebut adalah yuhakkimûka fî mâ syajara baynahum. Kata yuhakkimûka berarti yaj‘alûka hakam[an] (mereka menjadikan kamu sebagai hakim), sedangkan fî mâ syajara baynahum berarti fî mâ ihktalatha baynahum (dalam perkara apa saja yang diperselisihkan di antara mereka).*10) Pada frasa ini Allah SWT menegasikan keimanan mereka sebelum mereka bersedia menjadikan Rasulullah Saw sebagai hakim yang memutuskan semua perkara mereka dan tidak mengangkat hakim selain beliau. Selanjutnya Allah SWT berfirman: Tsumma lâ yajidû fî anfusihim haraj[an] mimâ qadhayta. Menurut Mujahid, kata haraj bermakna asy-syakk (keraguan), karena orang yang ragu, dadanya akan terasa sempit dalam menjalankan perintahnya.*11) Mufasir lainnya menjelaskan bahwa kata haraj berarti dhayyiqq (sesak atau sempit). Artinya, dada mereka tidak merasa sesak terhadap keputusan Rasulullah Saw*12) dan mereka pun merasa ridha dengan keputusan beliau.*13) Frasa ini memberikan syarat lanjutan bagi siapa pun yang ingin dikelompokkan sebagai Mukmin. Ia tidak hanya sanggup ber-tahkîm kepada Rasulullah Saw, namun hatinya juga merasa yakin dan ridha dengan semua keputusan beliau Saw. Kemudian Allah SWT berfirman: wa yusallimû taslîm[an]. Kata yusallimû berarti yanqadû wa yud’inû (mereka tunduk dan patuh). Artinya, mereka tunduk dan patuh pada keputusanmu, tidak membantah sedikitpun,*14) dan tidak menyelisihinya baik secara lahir maupun batin.15 Dengan ditambahkannya kata taslûm[an] —bentuk [i]mashdar yang berfungsi sebagai penguat— ketundukan pada keputusan Rasulullah Saw itu harus benar-benar tulus dan total. Menurut az-Zuhayli, frasa ini masuk dalam tahap pelaksanaan. Kadang-kadang, ada seseorang yang menganggap benar sebuah hukum, tetapi dia menghindar untuk melaksanakannya.*16) Karena itu, seorang Mukmin tidak hanya harus ber-tahkîm kepada Rasulullah Saw dan hatinya merasa puas dengan keputusan tersebut, namun juga harus tunduk dan patuh kepadanya yang diimplementasikan dalam bentuk perbuatan. Rasulullah Saw bersabda: Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seseorang di antara kalian tidak beriman hingga hawa nafsunya mengikuti (risalah) yang aku bawa. [HR. Muslim]. Komentar Beberapa Ahli Tafsir Mengomentari ayat ini, al-Jashash berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa siapa pun yang menolak salah satu perintah Rasulullah Saw telah keluar dari Islam; sama saja apakah penolakan itu disebabkan karena ragu, tidak menerima, atau menolak untuk tunduk. Inilah pendapat para sahabat yang sah ketika mereka menghukumi murtad orang yang menolak membayar zakat, membunuh mereka, dan menawan tawanan mereka. Sebab, Allah telah menetapkan bahwa siapa saja yang tidak menerima keputusan Nabi Saw dan hukumnya, tidak termasuk ahl al-imân.”*17) Sedangkan Ibnu Katsir menyatakan, “Allah SWT bersumpah dengan Dirinya Yang Mahamulia dan Mahasuci, bahwa seseorang tidak beriman hingga ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam semua perkara. Apa yang diputuskan olehnya adalah sebuah kebenaran yang wajib ditaati, baik lahir maupun batin.”*18) Berdasarkan uraian di atas, ayat ini menetapkan bahwa seseorang dapat dianggap telah beriman jika memenuhi tiga syarat: (1) sanggup ber-tahkîm kepada Rasulullah Saw pada setiap perkara yang mereka hadapi; (2) dadanya tidak ada rasa berat, sesak, atau ragu terhadap semua keputusan Rasulullah Saw —sebaliknya, hatinya merasa lapang dan ridha; (3) bersedia menerima, menaati, dan melaksanakan keputusan Rasulullah Saw —tidak ada keinginan untuk membantah atau menolaknya sedikit pun. Wajib Menjadikan Sunnah Sebagai Sumber Hukum Taat kepada Rasulullah merupakan sebuah kewajiban. Ditolaknya iman orang yang tidak mau menjadikan Rasulullah Saw sebagai hakim dalam urusan kehidupannya —sebagaimana disebut ayat di atas— merupakan qarînah (indikasi) yang amat jelas tentang kewajiban tersebut. Menjadikan Rasulullah Saw sebagai hakim berarti menjadikan semua keputusan beliau sebagai acuan, standar, dan parameter untuk menilai baik-buruknya segala sesuatu. Pada hakikatnya, menaati Rasulullah Saw sama halnya dengan menaati Allah SWT. Allah SWT berfirman: Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati seizin Allah. (Qs. an-Nisâ’ [4]: 64). Perintah untuk mengikuti dan menaati Rasulullah bertebaran dalam al-Qur’an, seperti: Qs. al-Hasyr [59]: 7; Qs. al-Ahzab [33]: 36; Qs. an-Nisâ’ [4]: 59; Qs. an-Nûr [24]: 64, 65; Qs. Ali-Imran [3]: 31. Semua ayat tersebut menunjukkan tentang wajibnya menaati seluruh risalah yang dibawa Rasulullah Saw. Karena yang dibawa beliau bukan hanya al-Qur’an, namun juga as-Sunnah, maka berdasarkan ayat-ayat tersebut, setiap Muslim juga wajib menjadikan as-Sunnah sebagai sumber hukum. Tidak boleh ada keraguan sedikit pun akan kebenaran as-Sunnah; baik dalam perkara akidah maupun syariat. Sebab, sebagaimana al-Qur’an, as-Sunnah juga berasal dari wahyu: Allah SWT berfirman: Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (Qs. an-Najm [53]: 3-4). Beberapa ayat lain yang senada dengannya adalah Qs. al-Anbiyâ’ [21]: 45; Qs. Shâd [38]: 7; dan Qs. al-An’âm [6]: 50. Semuanya menunjukkan secara pasti bahwa yang diucapkan Rasulullah Saw adalah wahyu. Demikian pula perbuatan dan persetujuannya. Bertolak dari dalil-dalil tersebut, wajib menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum. Membatasi diri hanya pada al-Qur’an dan meninggalkan as-Sunnah merupakan kekufuran yang nyata. Tunduk Pada Syariat Bukti Keimanan Ayat di atas juga mengungkap keterkaitan antara iman dan amal perbuatan. Memang, iman merupakan itikad kalbu. Karenanya, amal perbuatan tidak termasuk dalam cakupannya. Sebab, secara syar‘i, iman berarti at-tashdîq al-jâzim al-muthâbiq li al-wâqi‘ ‘an dalîl (pembenaran yang pasti, yang bersesuaian dengan fakta, dan bersumber dari dalil).*19) Kendati demikian, antara iman dan amal terdapat keterkaitan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Selain dalam beberapa ayat di atas, Allah SWT berfirman: Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (Qs. an-Nisâ’ [4]: 59). Ungkapan in kuntum tu’minûna bi Allâh wa al-yawm al-âkhir (jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir) menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak ber-tahkîm kepada Kitab dan Sunnah tidak terkategori sebagai orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir.*20) Pada ayat berikutnya (Qs. an-Nisâ’ [4]: 60), al-Qur’an mengecam sikap paradoks orang-orang yang mengaku mengimani al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya, tetapi mereka justru ber-tahkîm pada hukum thâghût, yakni hukum selain Islam. Di sinilah letak paradoksnya: bagaimana mungkin orang mengaku beriman pada kitab-kitab Allah, namun ketika memutuskan perkara, mereka tidak mengembalikannya pada kitab Allah, malah justru menggunakan hukum yang tidak bersumber darinya, yakni hukum thâghût? Bukankah itu berarti terdapat kontradiksi antara ucapan dan kenyataan? Oleh karena itu, pengakuan akan keimanan mereka pada Kitabullah dianggap sebagai pengakuan palsu. Al-Qur’an menyebutnya dengan yaz‘umûna. Menurut al-Layts, kata za’ama digunakan untuk orang yang diragukan, apakah ucapannya dusta atau benar. Menurut Ibnu Durayd, kata za’ama kebanyakan digunakan untuk menyatakan sesuatu yang batil.*21) Pada ayat selanjutnya (ayat 61), al-Qur’an menyebut karakter orang munafik sebagai orang yang menolak dan menghalangi orang untuk berhukum dengan apa yang Allah SWT turunkan. Kalaupun ada ketentuan syariat yang mereka terima, itu bukan lantaran mereka yakin akan kebenarannya, namun semata-mata karena ketentuan syariat tersebut sejalan dengan kepentingannya (Qs. an-Nûr [21]: 49). Karakter tersebut kontradiktif dengan karakter orang Mukmin. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin itu, jika mereka dipanggil menuju Allah dan para rasul-Nya agar para rasul itu menghukum mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami taat.” (Qs. an-Nûr [21]: 51). Walhasil, siapa pun Anda, jika ingin terkategori sebagai Mukmin sejati, maka menerima dan menerapkan syarait-Nya secara total dalam kehidupan merupakan keniscayaan. Wallâhu a‘lam. [Majalah al-wa'ie, Edisi 49] Catatan Kaki 1. Abu Hasan an-Naysburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: 1994), 78. 2. Fakhruddin ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr aw Mafâtih al-Ghayb vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 131. 3. Ibn al-Arabi, Ahkâm al-Qur’ân vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 578. 4. Ibn Jarir at-Tabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: 1992), 65. 5. Wahbah al-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 141. 6. Jalaluddin as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: ), 322; Syihabuddun al-Alusi, Rûh al-Ma‘ânî, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: 1993), 296; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 471-472. 7. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983), 483; Abu Thayyib al-Finuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, vol. 3 (Qatar: Idarat Ihya’ al-Tsarwah, 1989), 167. 8. Al-Alusi, op.cit., 296. 9. Ibn Jarir at-Tabari, op.cit. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: 1992), 65. 10. Burhanuddin al-Baqa’i, Nadhm ad-Durar fî Tanâsub al-Ayât wa as-Suwar, vol. 28 (Beirut: : Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah ), 275. 11. Abu Hayyan al-Andalusi, op.cit. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 297. 12. Az-Zamahsyari, al-Kasyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, ), 519. 13. Abu Hasan an-Naysaburi, op.cit. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 76. 14. Abu Hayyan al-Andalusi, op.cit. 297. 15. Abu Thayyib, op.cit., 167. 16. Az-Zuhayli, op.cit., 139. 17. Az-Jashash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 302. 18. Ibn Katsir, op.cit., 471. 19. Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyyah al-Islamiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 29. 20. Ibn Katsir, op.cit., 470. 21. ‘Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 260. Posted by: Redaksi on 14, Sep 04 | 11:34 am http://hayatulislam.net/ Untuk mendapatkan artikel-artikel seputar Islam, silahkan kunjungi Hayatul Islam.Net - Menuju Islam Kaffah http://hayatulislam.net --------------------------------- Find local movie times and trailers on Yahoo! Movies. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> $9.95 domain names from Yahoo!. Register anything. http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/