http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=687

Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd:
Sekularisme Ada dalam Sejarah, Tak Ada dalam Kitab
Tanggal dimuat: 14/9/2004


Beberapa waktu lalu, JIL mengadakan workshop dua hari seputar "Kritik Wacana
Agama" yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas agama di
Hotel Millenimum, Jakarta (28-29/8/2004). Berikut petikan wawancara ekslusif
JIL dengan Nasr Hamid di sela-sela perhelatan workshop soal wacana agama,
proses demokrasi di dunia muslim, sampai perasaannya harus berada jauh dari
kampung halamannya, Mesir.

Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang kini bermukim di Belanda,
menghabiskan waktu dua pekan (sejak akhir Agustus-pertengahan September) di
Indonesia. Sepanjang dua pekan itu, sosok intelektual bersahaja ini
menyempatkan diri bertukar gagasan dan berdialog dengan pelbagai kalangan.
Selain mengisi seminar di UIN Jakarta dan universitas lainnya, pakar ilmu
Alqur'an berbadan gempal ini juga mengisi "pengajian" ilmu Alqur'an di
Pondok Pesantren Salafiyah Assyafiiyyah Asembagus Situbondo. Jaringan Islam
Liberal (JIL) kebagian jatah mengadakan workshop dua hari seputar "Kritik
Wacana Agama" yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas agama
di Hotel Millenimum, Jakarta (28-29/8/2004). Di sela-sela perhelatan
workshop itulah, Novriantoni (salah seorang redaktur JIL) sempat
berbincang-bincang dengan Nasr Hamid tentang pelbagai persoalan, mulai dari
teori ilmu Alqur'an, soal wacana agama, proses demokrasi di dunia muslim,
sampai perasaannya harus berada jauh dari kampung halamannya, Mesir. Berikut
Petikannya.

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, selama dua hari workshop, kita menangkap
perkembangan pemikiran Anda dari gagasan tentang "Alqur'an sebagai teks"
(al-Qur'ân kan nash) yang dapat dianalisis dengan perangkat analisis teks
yang lazim, menuju gagasan tentang "Alqur'an sebagai wacana" (al-Qur'ân kal
khithâb). Apa bedanya?

NASR HAMID ABU ZAYD: Bedanya seperti perbedaan antara posisi Mushaf dan
Alqur'an itu sendiri. Alqur'an adalah hidup dan merupakan fenomena yang
dinamis dan efektif dalam kehidupan keseharian kita. Posisi itulah yang
tidak mampu dijangkau oleh Mushaf sebagai sekumpulan teks yang mati. Jadi,
kita memiliki dua fenomena tentang Alqur'an: Alqur'an sebagai fenomena yang
dinamis; dan Mushaf sebagai fenomena teks. Dalam Mushaf, yang penting adalah
teks itu sendiri. Sementara yang menjadi titik perhatian dalam fenomena
Alqur'an sebagai wacana adalah soal kenyataan (al-wâqi`). Dalam fakta
sejarah, selama 23 tahun Alqur'an merupakan fenomena yang dinamis, dialogis,
debat-sanggah, dan mengikut mekanisme take and give.



NOVRIANTONI: Apakah selama 23 tahun pertamanya itu dia tetap dianggap
sakral?

NASR: Sakral dalam artian apa? Kalau sakral diartikan "tetap dan tidak
dinamis", kenyataannya orang-orang muslim pertama zaman itu mengajukan
pelbagai pertanyaan dan menuntut jawaban Alqur'an. Manusia zaman itu
berinteraksi dengan sesuatu yang sakral dengan cara yang hidup. Artinya,
mereka bertanya, Alqur'an menjawab; mereka membantah, Alqur'an menyanggah.
Titik sentral perdebatan itu ada pada sosok Nabi Muhammad. Ambillah contoh
dari ayat Alqur'an, "yas'alûnaka `anis syahril harâm qitâlun fîh" (mereka
bertanya tentang status perang pada bulan-bulan yang terlarang). Kalau Anda
menganalisis ayat itu sebagai sebuah teks, Anda akan mengatakan bahwa ayat
itu menghalalkan perang sekalipun di bulan-bulan terlarang. Tapi ketika dia
dianalisis sebagai sebuah wacana, kita akan menemukan bahwa kaum muslim
ketika itu sangat gentar ketika harus berperang di bulan-bulan terlarang.
Sebab, itu merupakan pelanggaran atas aturan yang standar berlaku dalam
mayarakat tribal Arab ketika itu. Di sini Alqur'an mengajak dan memotivasi
kaum muslim untuk berperang walaupun "qitâlun fîh syadîd" (sangat berat bagi
mereka).

Urusan perang bagi mereka yang hijrah dari Mekkah ke Madinah itu tentu
sangat berat. Bagaimana mungkin mereka berani berperang melawan kekafiran,
toh yang mereka perangi tak lain adalah sanak saudara mereka sendiri dari
kaum Quraisy. Dari sinilah kita dapat memahami mengapa redaksi Alqur'an di
situ begitu keras. Jadi ayat yang menganjurkan untuk berperang melawan kaum
musyrik (yang notabene masih sanak saudara kaum muslim sendiri ketika itu),
merupakan pelecut semangat bagi kaum muslim yang peragu. Tidak mungkin kita
menganggap ayat itu berlaku umum sebagai anjuran perang tanpa tedeng
aling-aling.

Makanya, ketika menjumpai redaksi Alqur'an yang berbunyi "uqtulûhum haits
tsaqiftumûhum" (perangilah mereka dimanapun engkau jumpai!), kita tidak bisa
menganggapnya sebagi perintah yang langsung dan mutlak. Ayat ini dapat
diletakkan sebagai bagian dari pelecut semangat, khusushya bagi mereka yang
ragu dan takut untuk berperang. Artinya, redaksi yang ada di sini bersifat
dialogis. Kaum Muslim ketika itu mungkin tidak punya beban untuk berperang
melawan orang Parsi dan Romawi. Tapi melawan sanak saudara mereka sendiri,
orang Arab seperti mereka (sekalipun musyrik), tentu sangat berat dan
dilematis. Jadi di sini Alqur'an mengajak untuk keluar dari rasa waswas
tadi, karena sedang membentuk tatanan mayarakat baru.

NOVRIANTONI: Kalau begitu, Alqur'an itu sangat ideologis, ya!?

NASR: Kalau mau mengatakan begitu, katakanlah! Saya menamakannya sebagai
wacana (al-khitâb). Setiap wacana tentu saja mengandung unsur yang
ideologis, dan itulah yang terjadi. Kita tidak perlu takut mengatakan
demikian, sebab Allah kemungkinan juga sangat ideologis.

NOVRIANTONI: Ini seperti terkait dengan tesis Anda yang mengatakan bahwa
selain bagian dari mutâj tsaqâfî (produk kebudayaan), Alqur'an juga berperan
sebagai mutij tsaqâfî (produsen peradaban)!

NASR: Mungkin. Bagi saya, persoalannya bukan pada fakta bahwa Alqur'an
adalah "produk budaya", tapi lebih pada aspek "produsen budaya" itu tadi.
Sebab dalam pengandaian sebagai produsen budaya, semua aktivitas yang
ideologis itu tadi sangat dimungkinkan. Terus terang, saya sebetulnya takut
menggunakan tesis tersebut, karena kita dapat memperhatikan fakta bagaimana
Alqur'an mampu menjadi penggerak itu semua. Kini kita punya persoalan serius
dalam memahami Alqur'an: absennya pendengar Alqur'an awalnya, sehingga kita
kesulitan meletekkan konteksnya. Dalam sebuan wacana, tentu ada pihak
penyampai dan pendengar. Tapi sekarang pendengar pertamanya sudah tidak ada.

Kita ambil contoh sederhana tentang bagaimana sebuah wacana bekerja. Saya
tak jarang sengaja membentak anak sulung saya untuk menyampaikan pesan lain
kepada anak saya yang paling bungsu. Saya tentu tidak sampai hati memarahi
si bungsu yang masih kecil itu. Tapi dengan memarahi yang sudah besar, si
bungsu tahu bagaimana sikap saya dalam persoalan tertentu. Jadi ada pesan
bersayap di dalam wacana yang sedang saya sampaikan kepada anak sulung saya.
Wacana yang saya sampaikan itu punya lebih dari satu fokus.

Makanya, saya selalu mengatakan bahwa proses dialog dengan kalangan Islamis
itu tetap penting. Bukan dalam rangka memuaskan mereka dengan pemikiran
kita, tapi untuk memberi pesan kepada yang lain: pihak ketiga yang ikut
menyimak dialog tersebut secara diam-diam. Kalangan Islamis mungkin sudah
tidak penting Anda ajak untuk berpikir mendalam, karena mereka sudah sangat
ideologis. Tapi yang penting adalah pihak ketiga yang diam itu. Dialog
selalu penting untuk pihak pendengar, dan dari situlah terciptanya wacana.
Itulah kelebihan sebuah wacana. Sementara teks, hanya terdiri dari pengarang
dan pembaca. Ketika Alqu'an menjadi teks pertama kali, dia tetap mampu
menciptakan kebudayaan yang betul-betul hidup. Tapi setelah itu banyak pihak
yang mengambil hukum-hukum mutlak, walaupun sebetulnya tidak ada yang
namanya hukum mutlak itu.

Misalnya, Anda mengambil hukum mutlak dari redaksi ayat "waqtulûhum haitsu
tsaqiftumûhum (bunuhlah mereka dimanapun engkau jumpai) atau "waikhrâjul
bait aktsaru fitnah" (mengeluarkanmu dari tempat tinggalmu lebih dari sebuah
petaka). Artinya, di sini akan ada proses penyelewengan makna dari teks yang
sebenarnya. Nah, dalam sebuah wacana, diperlukan analisis yang lebih lanjut
menyangkut kondisi sosial-politik-budaya ketika teks itu dilahirkan. Kata
"musyrik" misalnya, tidak bisa kita mutlakkan pada siapa saja. Kata "kafir"
juga demikian. Kalau pembunuhan pada kaum musyrik merupakan perintah yang
mutlak, tidak mungkin Nabi membiakan penghuni Mekkah yang musyrik itu tetap
hidup ketika terjadi proses Penaklukan Mekkah (fath makkah).

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, Anda getol sekali mengajak mengembangkan kesadaran
kritis-ilmiah dalam kajian atas Kitab Suci, terutama Alqur'an. Apa saja
tantangan dalam membentuk kesadaran kritis-ilmiah itu?

NASR: Tantangannya banyak sekali. Dari institusi resmi dan dogma-dogma yang
dipoduksi dan reproduksi berkali-kali oleh kalangan konservatif. Mereka
dengan leluasa mengembangkan dogma-dogma mereka di pelbagai media massa. Dan
itu sangat berat untuk ditantang, karena mereka mengklaim memperjuangkan
Islam yang otentik. Media dogma yang paling krusial tentu saja masjid. Jadi,
kita punya berbagai peringkat produsen dogma; institusi keagamaan resmi,
media massa, dan khatib-khatib di masjid. Dogma bertebaran di segenap
penjuru itu.

Hilangnya etos keilmuan dan tidak adanya pendidikan yang hakiki juga
menyebabkan tantangan kita semakin berat. Institusi pendidikan kita tidak
mengajarkan bagaimana murid bisa berpikir, tapi memaksa mereka untuk
menghafal untuk lulus ujian. Tantangan lain adalah buku-buku yang tidak
mendidik kesadaran kritis-ilmiah dalam beragama. Saya tidak menyebut buku
sebagai salah satu tantangan terberat. Buku mungkin dibaca dan mungkin
diabaikan. Tapi, buku merupakan salah satu bagian dari gerakan yang integral
dalam proyek pencerahan. Meski begitu, saya tidak terobsesi untuk dapat
melakukan pencerahan melalui buku-buku yang saya karang. Satu-dua buku yang
mengajak berpikir kritis-ilmiah tentu tidak dapat diandalkan, dibanding
banyaknya buku yang mengajar secara detil cara-cara melenyapkan kesadaran
kritis-ilmiah.

Makanya diperlukan komunikasi yang lebih banyak lagi dengan orang lain. Tak
jarang komunikasi langsung secara individual lebih memungkinkan kita untuk
menyebarkan pengetahuan secara baik. Saya beruntung kini bermukim di
Belanda, sebab bisa mengajar mahasiswa muslim dari pelbagai negara, tidak
hanya orang Mesir. Makanya, kadang-kadang saya berpikir, orang lain ingin
mencelakakan kita, tapi Allah menginginkan skenario lain. Saya punya
mahasiswa dari Iran, Turki, dan juga Indonesia; cukuplah bagi saya. Saya
kira di dunia Islam kini sedang muncul kesadaran penuh semangat untuk
membangun masyarakat baru.

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, dalam buku al-Khitâb wat Ta'wîl (Wacana dan
Penakwilan), Anda mengeluhkan kalangan yang mengklaim kalau kita hanya perlu
mengadopsi sains dan teknologi Barat, tanpa perlu mengadopsi nilai-nilai
seperti individualisme, kebebasan, demokrasi, dan lain-lain. Mungkinkah
sains dan teknologi berkembang tanpa prasyarat budaya seperti
individualisme, kebebasan berpendapat, dan lain-lain?

NASR: Mungkin saja kita mendapat segenap produk sains dan teknologi itu
tanpa prasayarat budaya tertentu. Tapi kita tetap saja akan menjadi konsumen
dan importir. Menurut saya, ketika kita mengadopsi nilai-nilai budaya Barat,
tidak otomatis kita telah membebek kepada mereka. Barat juga tidak satu
front. Barat terdiri dari beragam masyarakat dengan eksperimen sejarah
masing-masing. Sekularisme Jerman tentu bukan sekularisme Perancis.
Sekularisme Perancis berbeda dengan sekularisme Inggris. Sekularisme Belanda
tidak sama dengan sekularisme Amerika. Jadi perbincangan tentang Barat
dengan meletakkannya dalam satu keranjang juga keliru.

Makanya, kita perlu berbincang soal interaksi, lebih spesifik interaksi yang
terbuka antara nilai-nilai kita dengan nilai-nilai lain. Ini bukan soal
pembebekan. Kita sering mendengar klaim bahwa kita memiliki nilai-nilai
sedemikian rupa yang berbeda dengan nilai-nilai orang lain. Padahal,
nilai-nilai yang diklaim tersebut tak jarang hanya ada dalam fantasi kita
sendiri. Apa yang menghalangi kita untuk mendapat nilai kebebasan individu
dari konsep dan nilai-nilai Islam sendiri? Apakah Islam melulu berdiri atas
dasar paksaan?

NOVRIANTONI: Mungkin persoalannya karena Islam lebih banyak menekankan soal
keadilan dibandingkan kebebasan. Akibatnya kebebasan seakan-akan bukan
bagian penting dari nilai-nilai Islam!

NASR: Saya paham itu. Tapi saya tidak menganggap adanya pertentangan nilai
di dalam Islam. Mungkin persoalannya hanya pada bagaimana meletakkan
prioritas; bukan pertentangan antar nilai. Sebab, kita tidak mungkin
mencapai taraf masyarakat sosialis dan berkeadilan sosial tanpa ditopang
kebebasan individu yang memadai. Mungkin itu bisa saja terjadi, tapi akan
gagal dengan segera. Inilah yang kita saksikan dari kasus kegagalam
eksperimentasi sosialisme di negara-negara Arab umumnya. Sosialisme selalu
dipaksakan dengan mengorbankan kebebasan individu. Kebebasan mendapatkan
roti mengorbankan kebebasan berpendapat. Tapi pada akhirnya terbukti,
kebebasan berpendapatlah yang sesungguhnya memperjuangkan kebebasan mendapat
jatah roti pada awalnya.

NOVRIANTONI: Apa penyebab defisit kebebasan di negara-negara muslim;
persoalan politik, budaya, atau apa?

NASR: Politik, sosial dan ekonomi! Jadi bukan problem politik semata. Lebih
dalam dari itu adalah persoalan sosial-budaya, khususnya menyangkut
pendidikan atau bagaimana cara kita mencetak generasi sejak dini. Kita punya
problem dalam mendidik di lingkungan rumah tangga karena terlalu banyak
menekankan asas ketaatan. Saya tidak menganjurkan semua anak bertindak
durhaka pada orang tuanya masing-masing. Yang kita harapkan: bila anak
ditanya, dia bisa menjawab; Ada proses dialog dalam lingkungan keluarga.

Nah, dogma ketaatan yang mutlak pada level rumah tangga ini rupanya meluas
ke sistem pendidikan di sekolah, sampai tingkat perguruan tinggi. Di dalam
perkuliahan, tidak ada perdebatan. Para pengajar menjadikan peneliti sebagai
jongos. Nilai ketaaatan di rumah tangga berlanjut ke level yang paling
makro: rezim politik. Keluar dari kerangka ketaatan pada rezim dianggp
penentangan terhadap negara. Yang dipentingkan kemudian adalah konsensus dan
harmoni. Konflik ditekan sama sekali. Jadi persoalan defisit kebebasan
bermula dari level yang paling mikro sampai level yang paling makro. Makanya
di dunia muslim, struktur makro berupa rezim politik, merefleksikan
ketaaatan mutlak pada level keluarga tadi. Rezim-rezim politik selalu bisa
memaksakan kehendak ideologisnya dalam kurikulum pengajaran dan pendidikan.

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, sekarang terjadi gelombang demokratisasi yang cukup
menjanjikan di sejumlah negara muslim. Apa yang terbayang dalam benak Anda
ketika melihat proses demokratisasi di Indonesia?

NASR: Saya tidak punya banyak informasi tentang proses demokratisasi di
Indonesia. Tapi melihat pemilu presiden terakhir, dengan kontestasi banyak
calon, tidak adanya salah satu calon yang memperoleh suara mutlak, tradisi
pemilu yang reguler, dan adanya kontrol yang kuat atas pemilu, saya
menganggapnya sebagai bagian tradisi transparansi yang mungkin tidak terjadi
di banyak negara muslim lain. Di Iran ada pemilu, tapi tetap saja
terkungkung oleh kerangka sistem negara Islam. Jangan lupa, di Indonesaia
perempuan sudah menjadi kepala negara, dan sekarang menjadi calon kepala
negara. Itu pantas kita apresiasi sekalipun mendapat banyak tantangan dari
kalangan Islam konservatif dan kelompok lainnya.

Bagi saya, kalau proses demokratisasi di Indonesia berkembang secara
progresif --mudah-mudahan tidak terjadi hal-hal yang merintanginya-- kita
akan punya tiga contoh demokrasi di negara muslim, di samping contoh Turki
dan Iran. Memang terdapat variasi yang mencolok antara ketiga contoh
tersebut. Tapi yang penting, masyarakat Islam merasa dipimpin oleh
pemerintahan yang demokratis, sekalipun dalam format Islam seperti di Iran.

NOVRIANTONI: Apakah demokrasi yang diformat dalam kerangka negara Islam
seperti Iran itu tidak problematis?

NASR: Betul! Di Iran, mereka mengklaim sedang menjalankan demokrasi Islam
tanpa membolehkan nonmuslim untuk berkompetisi di dalam sistem demokrasi
tersebut. Tapi Iran saya rasa masih berada dalam kerangka negara demokratis,
karena di sana ada parlemen atau dewan yang dipilih langsung secara reguler
dengan instrumen-instrumen demokrasi. Dan lebih dari itu, di sana ada hasrat
dan kesempatan untuk mengganti kekuasaan secara reguler. Itu tidak sama
dengan beberapa negara Arab yang kita lihat saat ini. Semua itu bagi saya
sangat penting.

Sekarang, kita perlu lebih jeli memperhatikan perkembangan sosial-politik
Iran. Kini di Iran, gagasan velayat-e-faqih sedang berada dalam tantangan.
Perlu diingat, itu semua tentu tidak mungkin terjadi kecuali dalam iklim
yang relatif demokratis. Beberapa perkembangan dan gejolak yang kini terjadi
di Iran, menurut saya masih bagian dari indikator proses yang sehat, bukan
tanda pesakitan.

NOVRIANTONI: Bagaimana dengan proyek "demokratisasi" Irak?

NASR: Demokratisasi di Irak jelas tidak menjanjikan! Sederhana saja, proses
perubahan apapun yang dijalankan langsung dari atas akan sulit menuai
sukses. Dari ekserimen sejarah kita tahu, proses perubahan apapun yang
dipaksakan dari atas tidak akan berhasil. Pada level masyarakat, mungkin
mereka terlihat seakan-akan menerima proses perubahan, tapi sesungguhnya
bentuk penerimaan itu semu dan terpaksa belaka. Inilah yang sebetulnya
sedang kita saksikan di Irak.

NOVRIANTONI: Khaled Khistaini, kolumnis al-Syarq al-Awsath asal Irak,
optimis akan proses demokratisasi Irak. Menurutnya, rakyat Irak pada
dasarnya berbudaya, gemar membaca, demokratis, sekuler, dan sifat-sifat baik
lainnya!

NASR: Kita perlu berhati-hati ketika mengatakan rakyat ini atau itu pada
esensinya berwatak demikian. Kondisi rakyat selalu berubah. Kita perlu ingat
pengalaman Irak selama kurang lebih 30 tahun di bawah rezim diktator yang
bengis. Dari pengalaman itu, rakyat Irak tidak dapat dibayangkan akan tetap
berada dalam kondisi tertentu tanpa proses perubahan. Makanya, saya selalu
menentang bentuk-bentuk generalisasi dalam berpikir. Saya tidak mau
mengatakan bahwa rakyat Mesir pada esensinya lemah-lembut dan santun,
misalnya. Sebab, suatu ketika rakyat Mesir bisa menjadi kasar dan sangat
beringas.

Menobatkan sifat-sifat dasar tertentu terhadap suatu masyarakat, terkadang
berubah menjadi klaim yang justru mengabaikan pelbagai kompleksitas
perubahan pada masyarakat itu sendiri. Sebuah pepatah mengingatkan kita,
"Air yang sama tidak akan menempuh arus yang sama dua kali." Artinya, rakyat
Irak tidak mugkin tetap dalam kondisi yang demokratis --kalau itu pernah
terjadi-- setelah sekian lama berada dalam kungkungan rezim otoriter.
Makanya, saya tidak dapat menerima anggapan seperti itu. Watak manusia pada
dasarnya tidak tetap. Manusia bukanlah data-data yang konstan.

NOVRIANTONI: Bagaimana prediksi Anda tentang masa depan demokrasi di dunia
Arab?

NASR: Khusus pada dimensi politik, cukup menjanjikan. Tapi kalau kita tarik
pada level yang lebih luas, demokrasi di sana baru akan sampai pada level
demokrasi pemilu saja. Jadi belum akan sampai pada level demokrasi yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Artinya, di sana akan ada banyak
partai, elit, dan prosedur-prosedur demokrasi. Tapi demokrasi sebagai sebuah
konsep yang bersendi kebebasan individu, akuntabilitas, dan lain-lain, akan
sulit tercapai. Demokrasi yang akan muncul di negeri Arab adalah demokrasi
tribalistik. Sebab, kebebasan individu tidak akan pernah ada. Para calon
anggota dewan akan giat melakukan kampanye di desa dan wilayah sukunya,
sebab masyarakat sangat fanatik terhadap calon yang berasal dari daerah dan
sukunya masing-masing.

NOVRIANTONI: Apakah lemahnya individulisme dalam demokrasi Arab ini
menandakan bahwa individualisme itu sendiri merupakan nilai-nilai Barat yang
tak mungkin diadopsi oleh negara muslim?

NASR: Saya tidak mengatakan bahwa individualisme sebagai sebuah nilai
betul-betul sudah raib dari negeri Arab. Yang hilang adalah kebebasan
individu untuk mengambil keputusan dan memilih. Padahal itu semua merupakan
prasyarat untuk menegakkan kebebasan politik. Kebebasan politik tidak akan
terjadi bila kebebasan pndidikan, berkeyakinan, mengeluarkan pendapat, dan
lain-lain tidak terwujud.

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, sebagian orang menganggap konsep syura dan ijmak
sebagai akar-akar demokrasi dalam Islam. Bagaimana pendapat Anda?

NASR: Saya tidak yakin dan tidak pernah berpikir seperti itu. Menurut saya,
konsep syura bukanlah konsep Islam. Kata syura termuat di Alqur'an dalam
bentuk deskriptif saja (shûrah washfiyyah). Misalnya, dalam bentuk redaksi:
"wa 'amruhum syûra bainahum" (perkara mereka diselesaikan dengan cara
rembukan). Dalam sejarahnya, syura merupakan prosedur yang digunakan
elit-elit Quraisy ketika mereka menghadapi pelbagai problem bersama,
sebagaimana yang dipraktekkan ahli nadwah dan malâ' atau para elit suku
Quraisy. Mereka berembuk ketika ingin menetapkan keputusan yang bersentuhan
langsung dengan kepentingan masing-masing suku. Inilah bentuk syura yang
sudah dipraktekkan sebelum Islam. Jadi sama sekali bukan inovasi Islam. Ini
ditunjang fakta sosiologis bahwa ketika itu tidak mungkin satu suku saja
yang mengambil keputusan sembari mengabaikan suku lainnya.

NOVRIANTONI: Tapi etos seperti kan tetap dapat dijadikan modal
sosial-kultural bagi sebuah demokrasi!?

NASR: Saya tidak cenderung pada pemikiran seperti itu. Saya berpikir, kita
sudah hidup dalam dunia baru, dimana demokrasi sebagai sebuah nilai dan
sistem sudah tidak membutuhkan banyak legitimasi dari khazanah masa lampau
kita lagi. Kalau kita masih merepotkan diri mencari legitimasi dalam
khazanah masa lampau kita, mungkin akan muncul orang lain yang menyibukkan
diri mencari legitimasi dari landasan mereka. Yang perlu diingat juga, syura
dalam kasus Islam berbeda dari demokrasi. Syura tidak dalam posisi mulzimah
(mengikat). Sekarang kita punya pilihah: apakah ingin negara demokrasi atau
nomokrasi? Demokrasi adalah pemerintah yang berlandaskan hukum rakyat,
sementara nomokrasi adalah hukum syariat.

Saya mengerti kalau ada kekhawatiran sekiranya demokrasi akan menggiring
mayoritas rakyat menentang syariat. Tapi kita juga punya problem yang sama
dengan konsep syura; apakah syura itu mengikat seorang penguasa atau hanya
sekedar mengingatkan (mu`limah) dan bagian dari nasihat belaka. Kita tahu,
di Kerajaan Arab Saudi juga ada Majlis Syura. Tapi Majlis Syura di sana
ditentukan langsung oleh raja untuk menangani urusan-urusan tertentu.
Mungkin model ini lebih tepat disebut Majlis Khubarâ' (dewan pakar). Saya
berpandangan bahwa konsep Majlis Syura di sana lebih dekat pada konsep
Majlis Khubarâ'. Setiap institusi pemerintahan tentu membutuhkan dewan pakar
yang bekerja untuk menyampaikan pendapat dan pandangan mereka dalam proses
pengambilan keputusan pada sebuah institusi. Jadi, ini mirip saja dengan
dewan penasehat.

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, pendahulu Anda, Ali Abdur Raziq, telah meletakkan
fondasi sekularisme dari basis ajaran Islam melalui buku Al-Islâm wa Ushûlul
Hukm (Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan). Tapi bagi saya masih kabur:
adakah akar-akar sekularisme yang cukup solid dalam sejarah Islam?

NASR: Ada dua jawaban. Kalau kita bicara tentang Islam yang hidup, dinamis,
dan bergerak, maka jawabannya "ada". Tapi kalau kita bicara tentang Islam di
dalam buku, atau Islam dogmatik, jawabannya "tidak ada". Jadi, sekularisme
sebetulnya ada dalam fakta sejarah, tapi tidak ditemukan rumusannya di dalam
buku. Kalau Anda mengikuti sejarah Islam sejak mulai muncul sampai kurun
waktu tertentu, Anda akan dapatkan tidak adanya penyatuan antara otoritas
agama dengan otoritas politik. Institusi-institusi keagamaan, seperti
madrasah fikih, kalam, atau tasawwuf, merupakan lembaga yang dalam batas
tertentu independen dari kekuasaan politik. Mayoritas ahli fikih tidak
senang menjadi pegawai pemerintah. Kita tahu, Khalifah al-Manshûr pernah
berkeinginan mengadopsi kitab al-Muwattha' karangan Imam Malik untuk
dijadikan undang-undang pemerintah. Tapi Imam Malik menolaknya.

Ada ungkapan menarik yang dikemukakan Imam Malik dalam penolakannya: "Laqad
balaghat linnâs ârâ'" (orang-orang sudah punya multipendapat). Artinya, Imam
Malik menyadari perbedaan pandangan hukum yang sangat beragam di masyarakat,
dan mereka berbuat sesuai pemahamannya tentang hukum tersebut. Makanya, Imam
Malik menolak formalisasi hukum melalui bukunya. Imam Abu Hanifah juga
menolak ketika dirinya hendak dinobatkan sebagai qlâdî pemerintah. Ini
artinya, para ahli fikih itu senantiasa ingin menjaga tingkat independensi
dirinya ketika berhadapan dengan kekuasaan politik pemerintah.

NOVRIANTONI: Tapi al-Ghazali pernah mengungkapkan "al-dîn uss was shulthân
hâritsuh, mâ lâ ussa lahu famahdûm wa mâ lâ hâritsa lahu fadlâi'" (agama
adalah fondasi dan kekuasaan adalah proteksinya; yang tidak berfondasi akan
rubuh, yang tidak berproteksi akan lenyap). Tidakkah ungkapan ini
merefleksikan perlunya penyatuan agama dan kekuasaan pemerintah?

NASR: Ungkapan seperti itulah yang saya katakan sebagai dogma. Kalau kita
analisis, dogma ini menafsirkan apa yang terjadi ketika dia dikatakan oleh
al-Ghazali. Kita tahu, al-Ghazali adalah seorang ahli fikih dan ilmu kalam
yang merupakan bagian dari lingkaran kekuasaan (inner circle) pemerintahan
ketika itu. Sementara sosok-sosok lain berusaha menjaga tingkat
independensinya dari rezim penguasa --paling tidak pada level pemikiran.
Memang tidak mungkin kita indepen secara mutlak dari negara, karena pada
akhirnya kita tetap hidup di sebuah tatanan negara, dan suatu waktu bisa
menjadi pegawai birokrasi negara.

Tapi eksperimen al-Ghazali ini saya kira penting. Kita tahu, Al-Ghazali
adalah seorang kepada Madrasah Nidzâmiyyah, sekolah negeri pada masa Daulah
Abbasiyah. Pada zamannya, Daulah Abbasiyyah secara ideologis bertentangan
dengan Daulah Syi'iyyah. Kalau kita membaca buku al-Ghazali, al-Munqidz
Minad Dlalâl, kita akan menemukan bahwa seorang al-Ghazali secara
intelektual telah "dimanfaatkan" oleh kekuasaan pemerintah ketika itu. Dalam
bukunya, Fadlâihul Bhâtiniyyah, kita akan menemukan betapa kerasnya
konfrontasi al-Ghazali terhadap Kaum Bathiniyyah demi mempertahankan
ideologi Abbasiah. Jadi, al-Ghazali di sini bergerak bukan atas dasar
keyakinan intelektualnya.

NOVRIANTONI: Apa Anda ingin mengatakan al-Ghazali berpikir ideologis
ketimbang epistemologis, seperti kritik Anda terhadap Muhammad Emarah yang
ditengarai berpikir ideologis ketika mengeritik Ali Abdur Raziq?

NASR: Tidak mengapa berpikir ideologis, dan itu bukan aib. Siapapun memang
tidak bisa lepas dari cara berpikir ideologis. Al-Ghazali sendiri mengaku
bahwa dia berpikir secara ideologis di dalam bukunya al-Munqidz Minad
Dlalâl. Posisi seperti itulah yang perlu kita ketahui ketika mencermati
ungkapan-ungkapannya. Di dalam bukunya, al-Ghazali mengatakan bahwa dia di
kemudian hari sadar bahwa kegiatan belajar mengajar dan penulisan yang dia
lakukan bukan dilandaskan untuk pengabdian kepada Allah. Dia mengatakan itu
sendiri dan menyesal.

NOVRIANTONI: Untuk siapa dia abdikan karya-karya intelektualnya?

NASR: Tidak penting untuk siapa. Tapi yang penting adalah makna dari
pengakuan itu sendiri. Ini pengakuan al-Ghazali sendiri, dan kita perlu
menghargai itu. Sebab dialah satu-satunya pemikir yang melakukan proses
otokritik (naqd dzâtî). Dari kesadaran itulah kemudian dia meminta izin
pemerintah untuk berangkat haji dan menetap di Masjidil Haram. Lalu dia
berangkat ke Yerussalem untuk kemudian menempuh jalur tasawwuf.

Selain kasus al-Ghazali kita juga bisa mencermati kasus Khalifah al-Makmun.
Kita tahu, ketika dia mengukuhkan pandangan Muktazilah tentang "keterciptaan
Aqur'an" (khuluqul Qur'ân), tujuannya bukanlah pencerahan intelektual
ataupun rasionalisme sebagaimana yang kita sangka. Yang sebenarnya terjadi,
rezim penguasa ingin melakukan kontrol atas pemikiran, sembari menyebarkan
pemikiran yang disenangi penguasa semata. Dari sini, kita mesti meletakkan
tragedi Ibn Hanbal (mihnat Ibn Hanbal) sebagai bagian dari kepahlawanan
politik, bukan kepahlawanan pemikiran. Artinya, Ibn Hanbal ketika itu ingin
menyampaikan pesan bahwa, negara tidak perlu ikut campur dalam persoalan
pemikiran. Persoalan seperti itu merupakan urusan ahli ilmu kalam, dan
negara tidak berhak ikut campur. Tapi sayangnya negara tetap saja
menggunakan wewenangnya dalam persoalan seperti itu.

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, di sela-sela workshop Anda pernah berbicara soal
hilangnya dimensi humor dalam pola keberagamaan masyarakat Mesir, khususnya
setelah kecenderungan fundamentalisme dan dan radikalisme agama menguat.
Padahal, kelakar keagamaan (nuktah) adalah bagian budaya masyarakat Mesir.
Anda bisa cerita lebih banyak!?

NASR: Saya menamakan fenomena ini sebagai fenomena keberagamaan yang murung
atau depresif (al-tadayyun al-mukta'ib). Artinya, ketika Anda mendengar
orang lain berkelakar tentang agama, Anda merasa kikuk karena tidak
membayangkan orang yang kuat agamanya akan banyak berkelakar dan melontarkan
joke-joke. Padahal, kelakar keagamaan itu sendiri merupakan bagian dari
keberagamaan. Dalam pola keberagamaan ini, Anda selalu murung, dengan dahi
berkedut, dan raut muka kencang dan masam.

NOVRIANTONI: Fahmi Huwaydi menyebutnya pola keberagamaan yang pemberang
(at-tadayyun al-ghâdib)!

NASR: Saya menyebutnya keberagamaan yang depresif (al-tadayyun al-mukta'ib).
Marah berbeda dengan depresi. Marah merupakan bagian kebiasan dan emosi,
semenetara depresi bagian penyakit. Makanya, bagi saya kita tidak sekedar
mengidap keberagamaan yang pemberang, tapi depresif. Keberagamaan yang
pemberang mungkin banyak dialami kawula muda. Saya tetap menghargai pola
keberagamaan seperti itu, baik yang ditunjukkan kalangan Islamis maupun
liberal. Pada mereka memang ada bentuk kemarahan dan gairah untuk perubahan.
Saya lebih jauh mengatakan, keberagamaan yang depresif tak jarang menjadi
bagian dari kombinasi antara keberagamaan yang pesakitan dan keberagamaan
yang komersil (al-tadayyun al-tujârî).

NOVRIANTONI: Apa pula keberagamaan yang komersil itu?

NASR: Di negara-negara Arab kini, Islam merupakan bagian dari komoditas.
Dengan Islam, Anda bisa menjadi juru nasehat dan mendapat uang berlimpah
dari Negara-negara Teluk. Kasus pemikir Mesir, Muhammad Emarah, adalah
contoh yang tepat dalam soal ini. Dia sering disebut pemikir Islam
"tercerahkan" (al-mustanîr). Hanya saja, ketika berbicara di media massa
Mesir, dia mengenakan pakaian casual sebagaimana kita gunakan. Tapi ketika
berbicara di media massa dan televisi Negara-negara Teluk, dia mengenakan
pakaian ala syekh dengan abaya dan tasbih yang melingkar di tangan. Saya
kadang berpikir, kalau ingin menyalahi idealisme saya untuk menjunjung
tinggi nilai-nilai kebebasan dan akal, saya bisa saja menjadi milyuner. Saya
bisa bermain seperti permainan yang diperagakan sosok-sosok seperti Emarah
dan Abdus Shabur Syahin. Saya bisa memasih-masihkan lidah ketika melafazkan
"waqâla an-Nabî shallalLâh `alaih wa sallam" (dia memberatkan ucapannya
dengan eksen khas juru dakwah). Saya yakin bisa mengerjakan itu dan mendapat
banyak uang dari Negara Teluk. Saya tinggal mengumumkan pertobatan dari
pemikiran-pemikiran saya selama ini, dan menobatkan diri sebagai juru bicara
kaum antiakal dan antipencerahan.

NOVRIANTONI: Tapi dengan begitu Anda murtad dari idealisme Anda sendiri!

NASR: Tepat sekali! Yang ingin saya katakan dari cerita tadi, Islam bukan
agama yang menuntut kita menjadi orang-orang yang menjengkelkan dan
menakutkan. Yang diinginkan Islam adalah sosok lembut, santun dan mencintai
kelakar. Saya tidak ingin menjadi orang yang tegang tiap saat, karena itu
bertentangan dengan semangat Alqur'an sendiri. Dalam Alqur'an dikatakan,
"walau kunta fadzzan ghalîdzal qalbi, lanfaddlû min haulik" (kalau Engkau
kasar dan keras hati, mereka akan hengkang darimu). Ini yang perlu
diperhatikan setiap juru dakwah. Mereka harus banyak tersenyum, utamanya
kepada musuh. Juru dakwah tidak bertugas untuk memuaskan para pendukungnya,
tapi lebih penting berpersuasi kepada para musuhnya. Makanya, dibutuhkan
strategi dan kemampuan berkomunikasi yang santun.

Makanya saya berkesimpulan, ketika kaum muslim sudah hilang kemampuan untuk
tersenyum, itu sudah menandakan kelemahan iman. Sebaliknya, secara
psikologis, orang yang kuat imannya tidak perlu takut ketawa, bercanda,
berkelakar, dan lain sebagainya. Kalau Anda cepat marah dan selalu depresi
dan murung, berarti imanmu masih lemah, seakan-akan hidup hanya dilingkari
ketakutan akan sanksi-sanksi agama. Artinya, secara teologis Anda telah
mempersepsi Tuhan sebagai Dia yang murka sepanjang masa, dan tidak punya
tugas lain kecuali menghitung kesalahan dirimu. Anda dengan begitu telah
melupakan dimesi Tuhan yang Mahapengampun dan Mahapenyayang.

NOVRIANTONI: Prof. Nasr, pemikir seperti Hassan Hanafi menamai proyek
pemikirannya dengan "Tradisi dan Pembaruan" (al-Turâts wat Tajdîd).
Al-Jabiri mencanangkan "Kritik Nalar Arab" (Naqdul `Aqlil `Arabî), dan
Arkoun melancarkan "Kritik Nalar Islam" (Naqdul `Aqlil Islâmî). Mengapa Anda
tidak menamakan proyek Anda dengan nama tertentu?

NASR: Saya kurang senang dengan kata "proyek". Kata itu mengandaikan bahwa
kita sedang menjalankan sebuah misi profetik tertentu (muhimmah rasûliyyah),
bukan sedang melakukan aktivitas pemikiran. Saya kira, di dalam kalimat dan
misi itu ada semacam hiperbola. Hassan Hanafi jelaslah seorang peneliti yang
sangat terhormat, sebagaimana al-Jabiri dan Arkoun. Saya juga seorang
akademisi. Di dunia intelektual, kita mestinya menunjukkan semacam
kerendahan hati. Boleh saja kita punya banyak proyek, selain proyek tadi.
Kita juga punya proyek pemikiran Muhammad Syahrur. Mestinya tugas peneliti
adalah menekuni perkerjaannya sendiri, dan jangan berpretensi untuk menjadi
seorang guru. Tugas seorang peneliti adalah bagaimana menyiapkan sebuah
penelitian yang bermutu. Sebuah penelitian yang bermutu mensyaratkan kita
untuk selalu mengembangkan instumen-instrumen penelitian dan metodologi yang
kita gunakan. Kita juga perlu selalu mendengar kritik yang dialamatkan
kepada kita, lantas melakukan koreksi-koreksi.

Sebagai orang yang berkonsentrasi pada bahasan tentang ilmu-ilmu Al-qur'an,
mungkin saya tidak paham 1000 % bidang bahasan yang saya geluti. Spesifikasi
ilmu Alqur'an rupanya menuntut saya untuk melakukan penelaahan yang
ekstensif terhadap pelbagai bidang lain dalam pemikiran Islam, seperi fikih,
kalam, tasawwuf, sejarah, dan lainnya. Saya juga membutuhkan perangkat ilmu
modern seperti hermeneutika, semiotika, dan lain-lain. Saya juga butuh
wawasan tentang politik dan saya harus membacanya. Jadi saya tidak
berpretensi untuk punya proyek mercusuar, misalnya dialog lintas dunia, dan
proyek-proyek obsesif lainnya.

NOVRIANTONI: Anda tentu membaca perkembangan teori hermeneutika modern. Tapi
kita jarang menemukan kutipan literatur Barat dalam buku Anda. Apakah Anda
sengaja menyembunyikannya sebagai sebuah strategi pengetahuan?

NASR: Tidak. Dalam beberapa buku, saya mencantumkan rujukan-rujukan itu.
Saya mengutip Gadamer dan lain-lain. Ketika saya mengutip seorang yang
populer, saya mesti meyebutnya. Tapi banyak dari buah pikiran mereka
tersebut yang sudah saya baca, lantas bermetamorfosa dalam diri saya,
sehingga sulit bagi saya untuk menisbatkannya pada seseorang. Misalnya, saya
menemukan sebuah istilah, lalu saya terangkan dengan bahasa saya sendiri,
sehingga sulit bagi saya untuk menisbatkannya pada orang lain. Saya juga
tidak ingin buku saya terlalu dipenuhi istilah-istilah teknis dan
kutipan-kutipan yang tidak perlu. Mungkin banyak orang bangga ketika
menggunakan pelbagai istilah teknis ilmiah yang dikutip dari mana-mana. Tapi
saya tidak suka itu, dan berusaha sekuat tenaga mengungkapankan istilah itu
dengan bahasa saya, tanpa mengabaikan gagasan dasar dari konsep tersebut.
Kadang-kadang gagasan dasar itu sudah menjadi seperti gagasan saya sendiri,
dan saya tidak tahu akarnya dari mana: Gadamer, Paul Ricour, al-Jurjani,
atau dari mana. Nah, pikiran-pikiran Gadamer, Ricour atau al-Jurjani sudah
seperti pikiran saya sendiri saking seringnya saya menyebut mereka ketika
mengajar.

Saya tidak memungkiri keterpengaruhan diri saya oleh pemikir-pemikir lain.
Tapi keterpengaruhan itu bukan keterpengaruhan yang harfiah. Saya membaca
mereka secara tuntas dan bahkan mengajarkannya secara berulang-ulang. Tapi
untuk mengutipnya lagi, saya terkadang merasannya tidak lagi bermakna. Saya
tidak perlu mengutip Edward Said, atau Chomsky yang sudah banyak dikutip
orang lain, khususnya kalangan Islam.

Soal kutipan, bagi saya hanya perlu dicantumkan kalau Anda tidak yakin bahwa
sebuah pemikiran tersebut benar-benar pemikiran Anda. Tentu tidak aib ketika
Anda menyebut dari mana sumber pemikiran Anda, karena tidak ada pemikiran
yang datang sekonyong-konyong dari ruang hampa. Tapi saya yakin, buku yang
saya baca sudah seperti terkunyah. Saya misalnya, sudah membaca al-Jurjani
lebih dari seratus kali sembari mengajarkannya. Jadi sudah sulit bagi saya
mengatakan bahwa al-Jurjani berpikir begitu, sebab saya sudah
mengungkapkannya dengan bahasa yang sangat kontemporer. Makanya tidak
mungkin lagi menyebut mana sumbernya, apalagi saya selalu membaca dengan
cara yang bebas sambil mengambil sedikit petikan-petikan dan
kutipan-kutipan.

NOVRIANTONI: Anda tentu tahu pentingnya interaksi pengetahuan dan kekuasaan.
Mengapa Anda tidak berusaha menyosialisasikan gagasan-gagasan Anda melalui
struktur pemerintahan seperti Thaha Husein atau Muhammad Abduh?

NASR: Masalahnya sederhana saja. Saya bersedia menjadi menteri dengan
cara-cara yang demokratis dan setia menjalankan prinsip-prinsip demokrasi.
Pada masa pemerintahan Partai Wafd dulu di Mesir, para menteri direkrut
melalui pemilu. Sekarang problemnya, pemerintah punya ideologi yang tidak
demokratis. Saya menganggap, saat ini sangat tidak mungkin untuk keluar dari
kerangkeng sistem yang sudah dibuatkan sedemikian rupa oleh rezim penguasa.
Saya tidak rela bekerja di bawah tekanan. Apabila ada sebentuk demokrasi
dalam menjalankan tugas, tidak melulu memperturutkan titah rezim, saya
mungkin mau menerima jabatan. Tapi kalau presiden menginginkan saya menjadi
menteri dengan kerangka sistem sedemikiran rupa, saya akan terperangkap
dalam sistem tersebut. Banyak sekali para intelektual yang sudah
terperangkap dalam jerat rezim. Ini mungkin lain dari kasus Thaha Husein.
Dia terpilih menjadi menteri dengan cara-cara yang demokratis dan dalam
iklim yang relatif demoktaris.

NOVRIANTONI: Terakhir: kenapa Anda tidak menujukkan simbol-simbol keislaman
dalam sehari-hari Anda?

NASR: Banyak murid saya di kampus Universitas Kairo dulunya yang menanyakan
mengapa saya tidak membaca basmalah dan salawat ketika mengajar. Soalnya
bukan saya menentang ungkapan itu. Saya menganggap itu semua sebagai
ungkapan masjid, bukan di lingkungan akademik. Saya ingin membedakan antara
al-jâmi` (masjid) dengan al-jâmi`ah (perguruan tinggi). Di perguruan tinggi,
saya tidak perlu basa-basi dengan semua itu. Saya cukup menayakan "apa kabar
kalian", "sampai di mana pemahaman kalian", dan lain-lain. Bagi banyak
orang, keduanya disatukan sedemikian rupa. Bagi saya, ketika ke masjid,
orang tidak sedang mencari pengetahuan, melainkan nasihat. Tapi di perguruan
tinggi, orang butuh banyak pengetahuan, bukan diocehi nasihat-nasihat
keagamaan. Yang terjadi sekarang, perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam
mirip masjid; lebih banyak memberi nasihat daripada pengetahuan. Padahal
mahasiswa mencari pengetahuan, kan!? [*]




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke