Bukan main, pak. Sebuah tulisan yang sangat mencerahkan. Salam
RM Danardono HADINOTO --- In [EMAIL PROTECTED], "Ambon" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=687 > > Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd: > Sekularisme Ada dalam Sejarah, Tak Ada dalam Kitab > Tanggal dimuat: 14/9/2004 > > > Beberapa waktu lalu, JIL mengadakan workshop dua hari seputar "Kritik Wacana > Agama" yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas agama di > Hotel Millenimum, Jakarta (28-29/8/2004). Berikut petikan wawancara ekslusif > JIL dengan Nasr Hamid di sela-sela perhelatan workshop soal wacana agama, > proses demokrasi di dunia muslim, sampai perasaannya harus berada jauh dari > kampung halamannya, Mesir. > > Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang kini bermukim di Belanda, > menghabiskan waktu dua pekan (sejak akhir Agustus-pertengahan September) di > Indonesia. Sepanjang dua pekan itu, sosok intelektual bersahaja ini > menyempatkan diri bertukar gagasan dan berdialog dengan pelbagai kalangan. > Selain mengisi seminar di UIN Jakarta dan universitas lainnya, pakar ilmu > Alqur'an berbadan gempal ini juga mengisi "pengajian" ilmu Alqur'an di > Pondok Pesantren Salafiyah Assyafiiyyah Asembagus Situbondo. Jaringan Islam > Liberal (JIL) kebagian jatah mengadakan workshop dua hari seputar "Kritik > Wacana Agama" yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas agama > di Hotel Millenimum, Jakarta (28-29/8/2004). Di sela-sela perhelatan > workshop itulah, Novriantoni (salah seorang redaktur JIL) sempat > berbincang-bincang dengan Nasr Hamid tentang pelbagai persoalan, mulai dari > teori ilmu Alqur'an, soal wacana agama, proses demokrasi di dunia muslim, > sampai perasaannya harus berada jauh dari kampung halamannya, Mesir. Berikut > Petikannya. > > NOVRIANTONI: Prof. Nasr, selama dua hari workshop, kita menangkap > perkembangan pemikiran Anda dari gagasan tentang "Alqur'an sebagai teks" > (al-Qur'ân kan nash) yang dapat dianalisis dengan perangkat analisis teks > yang lazim, menuju gagasan tentang "Alqur'an sebagai wacana" (al- Qur'ân kal > khithâb). Apa bedanya? > > NASR HAMID ABU ZAYD: Bedanya seperti perbedaan antara posisi Mushaf dan > Alqur'an itu sendiri. Alqur'an adalah hidup dan merupakan fenomena yang > dinamis dan efektif dalam kehidupan keseharian kita. Posisi itulah yang > tidak mampu dijangkau oleh Mushaf sebagai sekumpulan teks yang mati. Jadi, > kita memiliki dua fenomena tentang Alqur'an: Alqur'an sebagai fenomena yang > dinamis; dan Mushaf sebagai fenomena teks. Dalam Mushaf, yang penting adalah > teks itu sendiri. Sementara yang menjadi titik perhatian dalam fenomena > Alqur'an sebagai wacana adalah soal kenyataan (al-wâqi`). Dalam fakta > sejarah, selama 23 tahun Alqur'an merupakan fenomena yang dinamis, dialogis, > debat-sanggah, dan mengikut mekanisme take and give. > > > > NOVRIANTONI: Apakah selama 23 tahun pertamanya itu dia tetap dianggap > sakral? > > NASR: Sakral dalam artian apa? Kalau sakral diartikan "tetap dan tidak > dinamis", kenyataannya orang-orang muslim pertama zaman itu mengajukan > pelbagai pertanyaan dan menuntut jawaban Alqur'an. Manusia zaman itu > berinteraksi dengan sesuatu yang sakral dengan cara yang hidup. Artinya, > mereka bertanya, Alqur'an menjawab; mereka membantah, Alqur'an menyanggah. > Titik sentral perdebatan itu ada pada sosok Nabi Muhammad. Ambillah contoh > dari ayat Alqur'an, "yas'alûnaka `anis syahril harâm qitâlun fîh" (mereka > bertanya tentang status perang pada bulan-bulan yang terlarang). Kalau Anda > menganalisis ayat itu sebagai sebuah teks, Anda akan mengatakan bahwa ayat > itu menghalalkan perang sekalipun di bulan-bulan terlarang. Tapi ketika dia > dianalisis sebagai sebuah wacana, kita akan menemukan bahwa kaum muslim > ketika itu sangat gentar ketika harus berperang di bulan-bulan terlarang. > Sebab, itu merupakan pelanggaran atas aturan yang standar berlaku dalam > mayarakat tribal Arab ketika itu. Di sini Alqur'an mengajak dan memotivasi > kaum muslim untuk berperang walaupun "qitâlun fîh syadîd" (sangat berat bagi > mereka). > > Urusan perang bagi mereka yang hijrah dari Mekkah ke Madinah itu tentu > sangat berat. Bagaimana mungkin mereka berani berperang melawan kekafiran, > toh yang mereka perangi tak lain adalah sanak saudara mereka sendiri dari > kaum Quraisy. Dari sinilah kita dapat memahami mengapa redaksi Alqur'an di > situ begitu keras. Jadi ayat yang menganjurkan untuk berperang melawan kaum > musyrik (yang notabene masih sanak saudara kaum muslim sendiri ketika itu), > merupakan pelecut semangat bagi kaum muslim yang peragu. Tidak mungkin kita > menganggap ayat itu berlaku umum sebagai anjuran perang tanpa tedeng > aling-aling. > > Makanya, ketika menjumpai redaksi Alqur'an yang berbunyi "uqtulûhum haits > tsaqiftumûhum" (perangilah mereka dimanapun engkau jumpai!), kita tidak bisa > menganggapnya sebagi perintah yang langsung dan mutlak. Ayat ini dapat > diletakkan sebagai bagian dari pelecut semangat, khusushya bagi mereka yang > ragu dan takut untuk berperang. Artinya, redaksi yang ada di sini bersifat > dialogis. Kaum Muslim ketika itu mungkin tidak punya beban untuk berperang > melawan orang Parsi dan Romawi. Tapi melawan sanak saudara mereka sendiri, > orang Arab seperti mereka (sekalipun musyrik), tentu sangat berat dan > dilematis. Jadi di sini Alqur'an mengajak untuk keluar dari rasa waswas > tadi, karena sedang membentuk tatanan mayarakat baru. > > NOVRIANTONI: Kalau begitu, Alqur'an itu sangat ideologis, ya!? > > NASR: Kalau mau mengatakan begitu, katakanlah! Saya menamakannya sebagai > wacana (al-khitâb). Setiap wacana tentu saja mengandung unsur yang > ideologis, dan itulah yang terjadi. Kita tidak perlu takut mengatakan > demikian, sebab Allah kemungkinan juga sangat ideologis. > > NOVRIANTONI: Ini seperti terkait dengan tesis Anda yang mengatakan bahwa > selain bagian dari mutâj tsaqâfî (produk kebudayaan), Alqur'an juga berperan > sebagai mutij tsaqâfî (produsen peradaban)! > > NASR: Mungkin. Bagi saya, persoalannya bukan pada fakta bahwa Alqur'an > adalah "produk budaya", tapi lebih pada aspek "produsen budaya" itu tadi. > Sebab dalam pengandaian sebagai produsen budaya, semua aktivitas yang > ideologis itu tadi sangat dimungkinkan. Terus terang, saya sebetulnya takut > menggunakan tesis tersebut, karena kita dapat memperhatikan fakta bagaimana > Alqur'an mampu menjadi penggerak itu semua. Kini kita punya persoalan serius > dalam memahami Alqur'an: absennya pendengar Alqur'an awalnya, sehingga kita > kesulitan meletekkan konteksnya. Dalam sebuan wacana, tentu ada pihak > penyampai dan pendengar. Tapi sekarang pendengar pertamanya sudah tidak ada. > > Kita ambil contoh sederhana tentang bagaimana sebuah wacana bekerja. Saya > tak jarang sengaja membentak anak sulung saya untuk menyampaikan pesan lain > kepada anak saya yang paling bungsu. Saya tentu tidak sampai hati memarahi > si bungsu yang masih kecil itu. Tapi dengan memarahi yang sudah besar, si > bungsu tahu bagaimana sikap saya dalam persoalan tertentu. Jadi ada pesan > bersayap di dalam wacana yang sedang saya sampaikan kepada anak sulung saya. > Wacana yang saya sampaikan itu punya lebih dari satu fokus. > > Makanya, saya selalu mengatakan bahwa proses dialog dengan kalangan Islamis > itu tetap penting. Bukan dalam rangka memuaskan mereka dengan pemikiran > kita, tapi untuk memberi pesan kepada yang lain: pihak ketiga yang ikut > menyimak dialog tersebut secara diam-diam. Kalangan Islamis mungkin sudah > tidak penting Anda ajak untuk berpikir mendalam, karena mereka sudah sangat > ideologis. Tapi yang penting adalah pihak ketiga yang diam itu. Dialog > selalu penting untuk pihak pendengar, dan dari situlah terciptanya wacana. > Itulah kelebihan sebuah wacana. Sementara teks, hanya terdiri dari pengarang > dan pembaca. Ketika Alqu'an menjadi teks pertama kali, dia tetap mampu > menciptakan kebudayaan yang betul-betul hidup. Tapi setelah itu banyak pihak > yang mengambil hukum-hukum mutlak, walaupun sebetulnya tidak ada yang > namanya hukum mutlak itu. > > Misalnya, Anda mengambil hukum mutlak dari redaksi ayat "waqtulûhum haitsu > tsaqiftumûhum (bunuhlah mereka dimanapun engkau jumpai) atau "waikhrâjul > bait aktsaru fitnah" (mengeluarkanmu dari tempat tinggalmu lebih dari sebuah > petaka). Artinya, di sini akan ada proses penyelewengan makna dari teks yang > sebenarnya. Nah, dalam sebuah wacana, diperlukan analisis yang lebih lanjut > menyangkut kondisi sosial-politik-budaya ketika teks itu dilahirkan. Kata > "musyrik" misalnya, tidak bisa kita mutlakkan pada siapa saja. Kata "kafir" > juga demikian. Kalau pembunuhan pada kaum musyrik merupakan perintah yang > mutlak, tidak mungkin Nabi membiakan penghuni Mekkah yang musyrik itu tetap > hidup ketika terjadi proses Penaklukan Mekkah (fath makkah). > > NOVRIANTONI: Prof. Nasr, Anda getol sekali mengajak mengembangkan kesadaran > kritis-ilmiah dalam kajian atas Kitab Suci, terutama Alqur'an. Apa saja > tantangan dalam membentuk kesadaran kritis-ilmiah itu? > > NASR: Tantangannya banyak sekali. Dari institusi resmi dan dogma- dogma yang > dipoduksi dan reproduksi berkali-kali oleh kalangan konservatif. Mereka > dengan leluasa mengembangkan dogma-dogma mereka di pelbagai media massa. Dan > itu sangat berat untuk ditantang, karena mereka mengklaim memperjuangkan > Islam yang otentik. Media dogma yang paling krusial tentu saja masjid. Jadi, > kita punya berbagai peringkat produsen dogma; institusi keagamaan resmi, > media massa, dan khatib-khatib di masjid. Dogma bertebaran di segenap > penjuru itu. > > Hilangnya etos keilmuan dan tidak adanya pendidikan yang hakiki juga > menyebabkan tantangan kita semakin berat. Institusi pendidikan kita tidak > mengajarkan bagaimana murid bisa berpikir, tapi memaksa mereka untuk > menghafal untuk lulus ujian. Tantangan lain adalah buku-buku yang tidak > mendidik kesadaran kritis-ilmiah dalam beragama. Saya tidak menyebut buku > sebagai salah satu tantangan terberat. Buku mungkin dibaca dan mungkin > diabaikan. Tapi, buku merupakan salah satu bagian dari gerakan yang integral > dalam proyek pencerahan. Meski begitu, saya tidak terobsesi untuk dapat > melakukan pencerahan melalui buku-buku yang saya karang. Satu-dua buku yang > mengajak berpikir kritis-ilmiah tentu tidak dapat diandalkan, dibanding > banyaknya buku yang mengajar secara detil cara-cara melenyapkan kesadaran > kritis-ilmiah. > > Makanya diperlukan komunikasi yang lebih banyak lagi dengan orang lain. Tak > jarang komunikasi langsung secara individual lebih memungkinkan kita untuk > menyebarkan pengetahuan secara baik. Saya beruntung kini bermukim di > Belanda, sebab bisa mengajar mahasiswa muslim dari pelbagai negara, tidak > hanya orang Mesir. Makanya, kadang-kadang saya berpikir, orang lain ingin > mencelakakan kita, tapi Allah menginginkan skenario lain. Saya punya > mahasiswa dari Iran, Turki, dan juga Indonesia; cukuplah bagi saya. Saya > kira di dunia Islam kini sedang muncul kesadaran penuh semangat untuk > membangun masyarakat baru. > > NOVRIANTONI: Prof. Nasr, dalam buku al-Khitâb wat Ta'wîl (Wacana dan > Penakwilan), Anda mengeluhkan kalangan yang mengklaim kalau kita hanya perlu > mengadopsi sains dan teknologi Barat, tanpa perlu mengadopsi nilai- nilai > seperti individualisme, kebebasan, demokrasi, dan lain-lain. Mungkinkah > sains dan teknologi berkembang tanpa prasyarat budaya seperti > individualisme, kebebasan berpendapat, dan lain-lain? > > NASR: Mungkin saja kita mendapat segenap produk sains dan teknologi itu > tanpa prasayarat budaya tertentu. Tapi kita tetap saja akan menjadi konsumen > dan importir. Menurut saya, ketika kita mengadopsi nilai-nilai budaya Barat, > tidak otomatis kita telah membebek kepada mereka. Barat juga tidak satu > front. Barat terdiri dari beragam masyarakat dengan eksperimen sejarah > masing-masing. Sekularisme Jerman tentu bukan sekularisme Perancis. > Sekularisme Perancis berbeda dengan sekularisme Inggris. Sekularisme Belanda > tidak sama dengan sekularisme Amerika. Jadi perbincangan tentang Barat > dengan meletakkannya dalam satu keranjang juga keliru. > > Makanya, kita perlu berbincang soal interaksi, lebih spesifik interaksi yang > terbuka antara nilai-nilai kita dengan nilai-nilai lain. Ini bukan soal > pembebekan. Kita sering mendengar klaim bahwa kita memiliki nilai- nilai > sedemikian rupa yang berbeda dengan nilai-nilai orang lain. Padahal, > nilai-nilai yang diklaim tersebut tak jarang hanya ada dalam fantasi kita > sendiri. Apa yang menghalangi kita untuk mendapat nilai kebebasan individu > dari konsep dan nilai-nilai Islam sendiri? Apakah Islam melulu berdiri atas > dasar paksaan? > > NOVRIANTONI: Mungkin persoalannya karena Islam lebih banyak menekankan soal > keadilan dibandingkan kebebasan. Akibatnya kebebasan seakan-akan bukan > bagian penting dari nilai-nilai Islam! > > NASR: Saya paham itu. Tapi saya tidak menganggap adanya pertentangan nilai > di dalam Islam. Mungkin persoalannya hanya pada bagaimana meletakkan > prioritas; bukan pertentangan antar nilai. Sebab, kita tidak mungkin > mencapai taraf masyarakat sosialis dan berkeadilan sosial tanpa ditopang > kebebasan individu yang memadai. Mungkin itu bisa saja terjadi, tapi akan > gagal dengan segera. Inilah yang kita saksikan dari kasus kegagalam > eksperimentasi sosialisme di negara-negara Arab umumnya. Sosialisme selalu > dipaksakan dengan mengorbankan kebebasan individu. Kebebasan mendapatkan > roti mengorbankan kebebasan berpendapat. Tapi pada akhirnya terbukti, > kebebasan berpendapatlah yang sesungguhnya memperjuangkan kebebasan mendapat > jatah roti pada awalnya. > > NOVRIANTONI: Apa penyebab defisit kebebasan di negara-negara muslim; > persoalan politik, budaya, atau apa? > > NASR: Politik, sosial dan ekonomi! Jadi bukan problem politik semata. Lebih > dalam dari itu adalah persoalan sosial-budaya, khususnya menyangkut > pendidikan atau bagaimana cara kita mencetak generasi sejak dini. Kita punya > problem dalam mendidik di lingkungan rumah tangga karena terlalu banyak > menekankan asas ketaatan. Saya tidak menganjurkan semua anak bertindak > durhaka pada orang tuanya masing-masing. Yang kita harapkan: bila anak > ditanya, dia bisa menjawab; Ada proses dialog dalam lingkungan keluarga. > > Nah, dogma ketaatan yang mutlak pada level rumah tangga ini rupanya meluas > ke sistem pendidikan di sekolah, sampai tingkat perguruan tinggi. Di dalam > perkuliahan, tidak ada perdebatan. Para pengajar menjadikan peneliti sebagai > jongos. Nilai ketaaatan di rumah tangga berlanjut ke level yang paling > makro: rezim politik. Keluar dari kerangka ketaatan pada rezim dianggp > penentangan terhadap negara. Yang dipentingkan kemudian adalah konsensus dan > harmoni. Konflik ditekan sama sekali. Jadi persoalan defisit kebebasan > bermula dari level yang paling mikro sampai level yang paling makro. Makanya > di dunia muslim, struktur makro berupa rezim politik, merefleksikan > ketaaatan mutlak pada level keluarga tadi. Rezim-rezim politik selalu bisa > memaksakan kehendak ideologisnya dalam kurikulum pengajaran dan pendidikan. > > NOVRIANTONI: Prof. Nasr, sekarang terjadi gelombang demokratisasi yang cukup > menjanjikan di sejumlah negara muslim. Apa yang terbayang dalam benak Anda > ketika melihat proses demokratisasi di Indonesia? > > NASR: Saya tidak punya banyak informasi tentang proses demokratisasi di > Indonesia. Tapi melihat pemilu presiden terakhir, dengan kontestasi banyak > calon, tidak adanya salah satu calon yang memperoleh suara mutlak, tradisi > pemilu yang reguler, dan adanya kontrol yang kuat atas pemilu, saya > menganggapnya sebagai bagian tradisi transparansi yang mungkin tidak terjadi > di banyak negara muslim lain. Di Iran ada pemilu, tapi tetap saja > terkungkung oleh kerangka sistem negara Islam. Jangan lupa, di Indonesaia > perempuan sudah menjadi kepala negara, dan sekarang menjadi calon kepala > negara. Itu pantas kita apresiasi sekalipun mendapat banyak tantangan dari > kalangan Islam konservatif dan kelompok lainnya. > > Bagi saya, kalau proses demokratisasi di Indonesia berkembang secara > progresif --mudah-mudahan tidak terjadi hal-hal yang merintanginya-- kita > akan punya tiga contoh demokrasi di negara muslim, di samping contoh Turki > dan Iran. Memang terdapat variasi yang mencolok antara ketiga contoh > tersebut. Tapi yang penting, masyarakat Islam merasa dipimpin oleh > pemerintahan yang demokratis, sekalipun dalam format Islam seperti di Iran. > > NOVRIANTONI: Apakah demokrasi yang diformat dalam kerangka negara Islam > seperti Iran itu tidak problematis? > > NASR: Betul! Di Iran, mereka mengklaim sedang menjalankan demokrasi Islam > tanpa membolehkan nonmuslim untuk berkompetisi di dalam sistem demokrasi > tersebut. Tapi Iran saya rasa masih berada dalam kerangka negara demokratis, > karena di sana ada parlemen atau dewan yang dipilih langsung secara reguler > dengan instrumen-instrumen demokrasi. Dan lebih dari itu, di sana ada hasrat > dan kesempatan untuk mengganti kekuasaan secara reguler. Itu tidak sama > dengan beberapa negara Arab yang kita lihat saat ini. Semua itu bagi saya > sangat penting. > > Sekarang, kita perlu lebih jeli memperhatikan perkembangan sosial- politik > Iran. Kini di Iran, gagasan velayat-e-faqih sedang berada dalam tantangan. > Perlu diingat, itu semua tentu tidak mungkin terjadi kecuali dalam iklim > yang relatif demokratis. Beberapa perkembangan dan gejolak yang kini terjadi > di Iran, menurut saya masih bagian dari indikator proses yang sehat, bukan > tanda pesakitan. > > NOVRIANTONI: Bagaimana dengan proyek "demokratisasi" Irak? > > NASR: Demokratisasi di Irak jelas tidak menjanjikan! Sederhana saja, proses > perubahan apapun yang dijalankan langsung dari atas akan sulit menuai > sukses. Dari ekserimen sejarah kita tahu, proses perubahan apapun yang > dipaksakan dari atas tidak akan berhasil. Pada level masyarakat, mungkin > mereka terlihat seakan-akan menerima proses perubahan, tapi sesungguhnya > bentuk penerimaan itu semu dan terpaksa belaka. Inilah yang sebetulnya > sedang kita saksikan di Irak. > > NOVRIANTONI: Khaled Khistaini, kolumnis al-Syarq al-Awsath asal Irak, > optimis akan proses demokratisasi Irak. Menurutnya, rakyat Irak pada > dasarnya berbudaya, gemar membaca, demokratis, sekuler, dan sifat- sifat baik > lainnya! > > NASR: Kita perlu berhati-hati ketika mengatakan rakyat ini atau itu pada > esensinya berwatak demikian. Kondisi rakyat selalu berubah. Kita perlu ingat > pengalaman Irak selama kurang lebih 30 tahun di bawah rezim diktator yang > bengis. Dari pengalaman itu, rakyat Irak tidak dapat dibayangkan akan tetap > berada dalam kondisi tertentu tanpa proses perubahan. Makanya, saya selalu > menentang bentuk-bentuk generalisasi dalam berpikir. Saya tidak mau > mengatakan bahwa rakyat Mesir pada esensinya lemah-lembut dan santun, > misalnya. Sebab, suatu ketika rakyat Mesir bisa menjadi kasar dan sangat > beringas. > > Menobatkan sifat-sifat dasar tertentu terhadap suatu masyarakat, terkadang > berubah menjadi klaim yang justru mengabaikan pelbagai kompleksitas > perubahan pada masyarakat itu sendiri. Sebuah pepatah mengingatkan kita, > "Air yang sama tidak akan menempuh arus yang sama dua kali." Artinya, rakyat > Irak tidak mugkin tetap dalam kondisi yang demokratis --kalau itu pernah > terjadi-- setelah sekian lama berada dalam kungkungan rezim otoriter. > Makanya, saya tidak dapat menerima anggapan seperti itu. Watak manusia pada > dasarnya tidak tetap. Manusia bukanlah data-data yang konstan. > > NOVRIANTONI: Bagaimana prediksi Anda tentang masa depan demokrasi di dunia > Arab? > > NASR: Khusus pada dimensi politik, cukup menjanjikan. Tapi kalau kita tarik > pada level yang lebih luas, demokrasi di sana baru akan sampai pada level > demokrasi pemilu saja. Jadi belum akan sampai pada level demokrasi yang > menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Artinya, di sana akan ada banyak > partai, elit, dan prosedur-prosedur demokrasi. Tapi demokrasi sebagai sebuah > konsep yang bersendi kebebasan individu, akuntabilitas, dan lain- lain, akan > sulit tercapai. Demokrasi yang akan muncul di negeri Arab adalah demokrasi > tribalistik. Sebab, kebebasan individu tidak akan pernah ada. Para calon > anggota dewan akan giat melakukan kampanye di desa dan wilayah sukunya, > sebab masyarakat sangat fanatik terhadap calon yang berasal dari daerah dan > sukunya masing-masing. > > NOVRIANTONI: Apakah lemahnya individulisme dalam demokrasi Arab ini > menandakan bahwa individualisme itu sendiri merupakan nilai-nilai Barat yang > tak mungkin diadopsi oleh negara muslim? > > NASR: Saya tidak mengatakan bahwa individualisme sebagai sebuah nilai > betul-betul sudah raib dari negeri Arab. Yang hilang adalah kebebasan > individu untuk mengambil keputusan dan memilih. Padahal itu semua merupakan > prasyarat untuk menegakkan kebebasan politik. Kebebasan politik tidak akan > terjadi bila kebebasan pndidikan, berkeyakinan, mengeluarkan pendapat, dan > lain-lain tidak terwujud. > > NOVRIANTONI: Prof. Nasr, sebagian orang menganggap konsep syura dan ijmak > sebagai akar-akar demokrasi dalam Islam. Bagaimana pendapat Anda? > > NASR: Saya tidak yakin dan tidak pernah berpikir seperti itu. Menurut saya, > konsep syura bukanlah konsep Islam. Kata syura termuat di Alqur'an dalam > bentuk deskriptif saja (shûrah washfiyyah). Misalnya, dalam bentuk redaksi: > "wa 'amruhum syûra bainahum" (perkara mereka diselesaikan dengan cara > rembukan). Dalam sejarahnya, syura merupakan prosedur yang digunakan > elit-elit Quraisy ketika mereka menghadapi pelbagai problem bersama, > sebagaimana yang dipraktekkan ahli nadwah dan malâ' atau para elit suku > Quraisy. Mereka berembuk ketika ingin menetapkan keputusan yang bersentuhan > langsung dengan kepentingan masing-masing suku. Inilah bentuk syura yang > sudah dipraktekkan sebelum Islam. Jadi sama sekali bukan inovasi Islam. Ini > ditunjang fakta sosiologis bahwa ketika itu tidak mungkin satu suku saja > yang mengambil keputusan sembari mengabaikan suku lainnya. > > NOVRIANTONI: Tapi etos seperti kan tetap dapat dijadikan modal > sosial-kultural bagi sebuah demokrasi!? > > NASR: Saya tidak cenderung pada pemikiran seperti itu. Saya berpikir, kita > sudah hidup dalam dunia baru, dimana demokrasi sebagai sebuah nilai dan > sistem sudah tidak membutuhkan banyak legitimasi dari khazanah masa lampau > kita lagi. Kalau kita masih merepotkan diri mencari legitimasi dalam > khazanah masa lampau kita, mungkin akan muncul orang lain yang menyibukkan > diri mencari legitimasi dari landasan mereka. Yang perlu diingat juga, syura > dalam kasus Islam berbeda dari demokrasi. Syura tidak dalam posisi mulzimah > (mengikat). Sekarang kita punya pilihah: apakah ingin negara demokrasi atau > nomokrasi? Demokrasi adalah pemerintah yang berlandaskan hukum rakyat, > sementara nomokrasi adalah hukum syariat. > > Saya mengerti kalau ada kekhawatiran sekiranya demokrasi akan menggiring > mayoritas rakyat menentang syariat. Tapi kita juga punya problem yang sama > dengan konsep syura; apakah syura itu mengikat seorang penguasa atau hanya > sekedar mengingatkan (mu`limah) dan bagian dari nasihat belaka. Kita tahu, > di Kerajaan Arab Saudi juga ada Majlis Syura. Tapi Majlis Syura di sana > ditentukan langsung oleh raja untuk menangani urusan-urusan tertentu. > Mungkin model ini lebih tepat disebut Majlis Khubarâ' (dewan pakar). Saya > berpandangan bahwa konsep Majlis Syura di sana lebih dekat pada konsep > Majlis Khubarâ'. Setiap institusi pemerintahan tentu membutuhkan dewan pakar > yang bekerja untuk menyampaikan pendapat dan pandangan mereka dalam proses > pengambilan keputusan pada sebuah institusi. Jadi, ini mirip saja dengan > dewan penasehat. > > NOVRIANTONI: Prof. Nasr, pendahulu Anda, Ali Abdur Raziq, telah meletakkan > fondasi sekularisme dari basis ajaran Islam melalui buku Al-Islâm wa Ushûlul > Hukm (Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan). Tapi bagi saya masih kabur: > adakah akar-akar sekularisme yang cukup solid dalam sejarah Islam? > > NASR: Ada dua jawaban. Kalau kita bicara tentang Islam yang hidup, dinamis, > dan bergerak, maka jawabannya "ada". Tapi kalau kita bicara tentang Islam di > dalam buku, atau Islam dogmatik, jawabannya "tidak ada". Jadi, sekularisme > sebetulnya ada dalam fakta sejarah, tapi tidak ditemukan rumusannya di dalam > buku. Kalau Anda mengikuti sejarah Islam sejak mulai muncul sampai kurun > waktu tertentu, Anda akan dapatkan tidak adanya penyatuan antara otoritas > agama dengan otoritas politik. Institusi-institusi keagamaan, seperti > madrasah fikih, kalam, atau tasawwuf, merupakan lembaga yang dalam batas > tertentu independen dari kekuasaan politik. Mayoritas ahli fikih tidak > senang menjadi pegawai pemerintah. Kita tahu, Khalifah al-Manshûr pernah > berkeinginan mengadopsi kitab al-Muwattha' karangan Imam Malik untuk > dijadikan undang-undang pemerintah. Tapi Imam Malik menolaknya. > > Ada ungkapan menarik yang dikemukakan Imam Malik dalam penolakannya: "Laqad > balaghat linnâs ârâ'" (orang-orang sudah punya multipendapat). Artinya, Imam > Malik menyadari perbedaan pandangan hukum yang sangat beragam di masyarakat, > dan mereka berbuat sesuai pemahamannya tentang hukum tersebut. Makanya, Imam > Malik menolak formalisasi hukum melalui bukunya. Imam Abu Hanifah juga > menolak ketika dirinya hendak dinobatkan sebagai qlâdî pemerintah. Ini > artinya, para ahli fikih itu senantiasa ingin menjaga tingkat independensi > dirinya ketika berhadapan dengan kekuasaan politik pemerintah. > > NOVRIANTONI: Tapi al-Ghazali pernah mengungkapkan "al-dîn uss was shulthân > hâritsuh, mâ lâ ussa lahu famahdûm wa mâ lâ hâritsa lahu fadlâi'" (agama > adalah fondasi dan kekuasaan adalah proteksinya; yang tidak berfondasi akan > rubuh, yang tidak berproteksi akan lenyap). Tidakkah ungkapan ini > merefleksikan perlunya penyatuan agama dan kekuasaan pemerintah? > > NASR: Ungkapan seperti itulah yang saya katakan sebagai dogma. Kalau kita > analisis, dogma ini menafsirkan apa yang terjadi ketika dia dikatakan oleh > al-Ghazali. Kita tahu, al-Ghazali adalah seorang ahli fikih dan ilmu kalam > yang merupakan bagian dari lingkaran kekuasaan (inner circle) pemerintahan > ketika itu. Sementara sosok-sosok lain berusaha menjaga tingkat > independensinya dari rezim penguasa --paling tidak pada level pemikiran. > Memang tidak mungkin kita indepen secara mutlak dari negara, karena pada > akhirnya kita tetap hidup di sebuah tatanan negara, dan suatu waktu bisa > menjadi pegawai birokrasi negara. > > Tapi eksperimen al-Ghazali ini saya kira penting. Kita tahu, Al- Ghazali > adalah seorang kepada Madrasah Nidzâmiyyah, sekolah negeri pada masa Daulah > Abbasiyah. Pada zamannya, Daulah Abbasiyyah secara ideologis bertentangan > dengan Daulah Syi'iyyah. Kalau kita membaca buku al-Ghazali, al- Munqidz > Minad Dlalâl, kita akan menemukan bahwa seorang al-Ghazali secara > intelektual telah "dimanfaatkan" oleh kekuasaan pemerintah ketika itu. Dalam > bukunya, Fadlâihul Bhâtiniyyah, kita akan menemukan betapa kerasnya > konfrontasi al-Ghazali terhadap Kaum Bathiniyyah demi mempertahankan > ideologi Abbasiah. Jadi, al-Ghazali di sini bergerak bukan atas dasar > keyakinan intelektualnya. > > NOVRIANTONI: Apa Anda ingin mengatakan al-Ghazali berpikir ideologis > ketimbang epistemologis, seperti kritik Anda terhadap Muhammad Emarah yang > ditengarai berpikir ideologis ketika mengeritik Ali Abdur Raziq? > > NASR: Tidak mengapa berpikir ideologis, dan itu bukan aib. Siapapun memang > tidak bisa lepas dari cara berpikir ideologis. Al-Ghazali sendiri mengaku > bahwa dia berpikir secara ideologis di dalam bukunya al-Munqidz Minad > Dlalâl. Posisi seperti itulah yang perlu kita ketahui ketika mencermati > ungkapan-ungkapannya. Di dalam bukunya, al-Ghazali mengatakan bahwa dia di > kemudian hari sadar bahwa kegiatan belajar mengajar dan penulisan yang dia > lakukan bukan dilandaskan untuk pengabdian kepada Allah. Dia mengatakan itu > sendiri dan menyesal. > > NOVRIANTONI: Untuk siapa dia abdikan karya-karya intelektualnya? > > NASR: Tidak penting untuk siapa. Tapi yang penting adalah makna dari > pengakuan itu sendiri. Ini pengakuan al-Ghazali sendiri, dan kita perlu > menghargai itu. Sebab dialah satu-satunya pemikir yang melakukan proses > otokritik (naqd dzâtî). Dari kesadaran itulah kemudian dia meminta izin > pemerintah untuk berangkat haji dan menetap di Masjidil Haram. Lalu dia > berangkat ke Yerussalem untuk kemudian menempuh jalur tasawwuf. > > Selain kasus al-Ghazali kita juga bisa mencermati kasus Khalifah al- Makmun. > Kita tahu, ketika dia mengukuhkan pandangan Muktazilah tentang "keterciptaan > Aqur'an" (khuluqul Qur'ân), tujuannya bukanlah pencerahan intelektual > ataupun rasionalisme sebagaimana yang kita sangka. Yang sebenarnya terjadi, > rezim penguasa ingin melakukan kontrol atas pemikiran, sembari menyebarkan > pemikiran yang disenangi penguasa semata. Dari sini, kita mesti meletakkan > tragedi Ibn Hanbal (mihnat Ibn Hanbal) sebagai bagian dari kepahlawanan > politik, bukan kepahlawanan pemikiran. Artinya, Ibn Hanbal ketika itu ingin > menyampaikan pesan bahwa, negara tidak perlu ikut campur dalam persoalan > pemikiran. Persoalan seperti itu merupakan urusan ahli ilmu kalam, dan > negara tidak berhak ikut campur. Tapi sayangnya negara tetap saja > menggunakan wewenangnya dalam persoalan seperti itu. > > NOVRIANTONI: Prof. Nasr, di sela-sela workshop Anda pernah berbicara soal > hilangnya dimensi humor dalam pola keberagamaan masyarakat Mesir, khususnya > setelah kecenderungan fundamentalisme dan dan radikalisme agama menguat. > Padahal, kelakar keagamaan (nuktah) adalah bagian budaya masyarakat Mesir. > Anda bisa cerita lebih banyak!? > > NASR: Saya menamakan fenomena ini sebagai fenomena keberagamaan yang murung > atau depresif (al-tadayyun al-mukta'ib). Artinya, ketika Anda mendengar > orang lain berkelakar tentang agama, Anda merasa kikuk karena tidak > membayangkan orang yang kuat agamanya akan banyak berkelakar dan melontarkan > joke-joke. Padahal, kelakar keagamaan itu sendiri merupakan bagian dari > keberagamaan. Dalam pola keberagamaan ini, Anda selalu murung, dengan dahi > berkedut, dan raut muka kencang dan masam. > > NOVRIANTONI: Fahmi Huwaydi menyebutnya pola keberagamaan yang pemberang > (at-tadayyun al-ghâdib)! > > NASR: Saya menyebutnya keberagamaan yang depresif (al-tadayyun al- mukta'ib). > Marah berbeda dengan depresi. Marah merupakan bagian kebiasan dan emosi, > semenetara depresi bagian penyakit. Makanya, bagi saya kita tidak sekedar > mengidap keberagamaan yang pemberang, tapi depresif. Keberagamaan yang > pemberang mungkin banyak dialami kawula muda. Saya tetap menghargai pola > keberagamaan seperti itu, baik yang ditunjukkan kalangan Islamis maupun > liberal. Pada mereka memang ada bentuk kemarahan dan gairah untuk perubahan. > Saya lebih jauh mengatakan, keberagamaan yang depresif tak jarang menjadi > bagian dari kombinasi antara keberagamaan yang pesakitan dan keberagamaan > yang komersil (al-tadayyun al-tujârî). > > NOVRIANTONI: Apa pula keberagamaan yang komersil itu? > > NASR: Di negara-negara Arab kini, Islam merupakan bagian dari komoditas. > Dengan Islam, Anda bisa menjadi juru nasehat dan mendapat uang berlimpah > dari Negara-negara Teluk. Kasus pemikir Mesir, Muhammad Emarah, adalah > contoh yang tepat dalam soal ini. Dia sering disebut pemikir Islam > "tercerahkan" (al-mustanîr). Hanya saja, ketika berbicara di media massa > Mesir, dia mengenakan pakaian casual sebagaimana kita gunakan. Tapi ketika > berbicara di media massa dan televisi Negara-negara Teluk, dia mengenakan > pakaian ala syekh dengan abaya dan tasbih yang melingkar di tangan. Saya > kadang berpikir, kalau ingin menyalahi idealisme saya untuk menjunjung > tinggi nilai-nilai kebebasan dan akal, saya bisa saja menjadi milyuner. Saya > bisa bermain seperti permainan yang diperagakan sosok-sosok seperti Emarah > dan Abdus Shabur Syahin. Saya bisa memasih-masihkan lidah ketika melafazkan > "waqâla an-Nabî shallalLâh `alaih wa sallam" (dia memberatkan ucapannya > dengan eksen khas juru dakwah). Saya yakin bisa mengerjakan itu dan mendapat > banyak uang dari Negara Teluk. Saya tinggal mengumumkan pertobatan dari > pemikiran-pemikiran saya selama ini, dan menobatkan diri sebagai juru bicara > kaum antiakal dan antipencerahan. > > NOVRIANTONI: Tapi dengan begitu Anda murtad dari idealisme Anda sendiri! > > NASR: Tepat sekali! Yang ingin saya katakan dari cerita tadi, Islam bukan > agama yang menuntut kita menjadi orang-orang yang menjengkelkan dan > menakutkan. Yang diinginkan Islam adalah sosok lembut, santun dan mencintai > kelakar. Saya tidak ingin menjadi orang yang tegang tiap saat, karena itu > bertentangan dengan semangat Alqur'an sendiri. Dalam Alqur'an dikatakan, > "walau kunta fadzzan ghalîdzal qalbi, lanfaddlû min haulik" (kalau Engkau > kasar dan keras hati, mereka akan hengkang darimu). Ini yang perlu > diperhatikan setiap juru dakwah. Mereka harus banyak tersenyum, utamanya > kepada musuh. Juru dakwah tidak bertugas untuk memuaskan para pendukungnya, > tapi lebih penting berpersuasi kepada para musuhnya. Makanya, dibutuhkan > strategi dan kemampuan berkomunikasi yang santun. > > Makanya saya berkesimpulan, ketika kaum muslim sudah hilang kemampuan untuk > tersenyum, itu sudah menandakan kelemahan iman. Sebaliknya, secara > psikologis, orang yang kuat imannya tidak perlu takut ketawa, bercanda, > berkelakar, dan lain sebagainya. Kalau Anda cepat marah dan selalu depresi > dan murung, berarti imanmu masih lemah, seakan-akan hidup hanya dilingkari > ketakutan akan sanksi-sanksi agama. Artinya, secara teologis Anda telah > mempersepsi Tuhan sebagai Dia yang murka sepanjang masa, dan tidak punya > tugas lain kecuali menghitung kesalahan dirimu. Anda dengan begitu telah > melupakan dimesi Tuhan yang Mahapengampun dan Mahapenyayang. > > NOVRIANTONI: Prof. Nasr, pemikir seperti Hassan Hanafi menamai proyek > pemikirannya dengan "Tradisi dan Pembaruan" (al-Turâts wat Tajdîd). > Al-Jabiri mencanangkan "Kritik Nalar Arab" (Naqdul `Aqlil `Arabî), dan > Arkoun melancarkan "Kritik Nalar Islam" (Naqdul `Aqlil Islâmî). Mengapa Anda > tidak menamakan proyek Anda dengan nama tertentu? > > NASR: Saya kurang senang dengan kata "proyek". Kata itu mengandaikan bahwa > kita sedang menjalankan sebuah misi profetik tertentu (muhimmah rasûliyyah), > bukan sedang melakukan aktivitas pemikiran. Saya kira, di dalam kalimat dan > misi itu ada semacam hiperbola. Hassan Hanafi jelaslah seorang peneliti yang > sangat terhormat, sebagaimana al-Jabiri dan Arkoun. Saya juga seorang > akademisi. Di dunia intelektual, kita mestinya menunjukkan semacam > kerendahan hati. Boleh saja kita punya banyak proyek, selain proyek tadi. > Kita juga punya proyek pemikiran Muhammad Syahrur. Mestinya tugas peneliti > adalah menekuni perkerjaannya sendiri, dan jangan berpretensi untuk menjadi > seorang guru. Tugas seorang peneliti adalah bagaimana menyiapkan sebuah > penelitian yang bermutu. Sebuah penelitian yang bermutu mensyaratkan kita > untuk selalu mengembangkan instumen-instrumen penelitian dan metodologi yang > kita gunakan. Kita juga perlu selalu mendengar kritik yang dialamatkan > kepada kita, lantas melakukan koreksi-koreksi. > > Sebagai orang yang berkonsentrasi pada bahasan tentang ilmu-ilmu Al- qur'an, > mungkin saya tidak paham 1000 % bidang bahasan yang saya geluti. Spesifikasi > ilmu Alqur'an rupanya menuntut saya untuk melakukan penelaahan yang > ekstensif terhadap pelbagai bidang lain dalam pemikiran Islam, seperi fikih, > kalam, tasawwuf, sejarah, dan lainnya. Saya juga membutuhkan perangkat ilmu > modern seperti hermeneutika, semiotika, dan lain-lain. Saya juga butuh > wawasan tentang politik dan saya harus membacanya. Jadi saya tidak > berpretensi untuk punya proyek mercusuar, misalnya dialog lintas dunia, dan > proyek-proyek obsesif lainnya. > > NOVRIANTONI: Anda tentu membaca perkembangan teori hermeneutika modern. Tapi > kita jarang menemukan kutipan literatur Barat dalam buku Anda. Apakah Anda > sengaja menyembunyikannya sebagai sebuah strategi pengetahuan? > > NASR: Tidak. Dalam beberapa buku, saya mencantumkan rujukan-rujukan itu. > Saya mengutip Gadamer dan lain-lain. Ketika saya mengutip seorang yang > populer, saya mesti meyebutnya. Tapi banyak dari buah pikiran mereka > tersebut yang sudah saya baca, lantas bermetamorfosa dalam diri saya, > sehingga sulit bagi saya untuk menisbatkannya pada seseorang. Misalnya, saya > menemukan sebuah istilah, lalu saya terangkan dengan bahasa saya sendiri, > sehingga sulit bagi saya untuk menisbatkannya pada orang lain. Saya juga > tidak ingin buku saya terlalu dipenuhi istilah-istilah teknis dan > kutipan-kutipan yang tidak perlu. Mungkin banyak orang bangga ketika > menggunakan pelbagai istilah teknis ilmiah yang dikutip dari mana- mana. Tapi > saya tidak suka itu, dan berusaha sekuat tenaga mengungkapankan istilah itu > dengan bahasa saya, tanpa mengabaikan gagasan dasar dari konsep tersebut. > Kadang-kadang gagasan dasar itu sudah menjadi seperti gagasan saya sendiri, > dan saya tidak tahu akarnya dari mana: Gadamer, Paul Ricour, al- Jurjani, > atau dari mana. Nah, pikiran-pikiran Gadamer, Ricour atau al- Jurjani sudah > seperti pikiran saya sendiri saking seringnya saya menyebut mereka ketika > mengajar. > > Saya tidak memungkiri keterpengaruhan diri saya oleh pemikir- pemikir lain. > Tapi keterpengaruhan itu bukan keterpengaruhan yang harfiah. Saya membaca > mereka secara tuntas dan bahkan mengajarkannya secara berulang- ulang. Tapi > untuk mengutipnya lagi, saya terkadang merasannya tidak lagi bermakna. Saya > tidak perlu mengutip Edward Said, atau Chomsky yang sudah banyak dikutip > orang lain, khususnya kalangan Islam. > > Soal kutipan, bagi saya hanya perlu dicantumkan kalau Anda tidak yakin bahwa > sebuah pemikiran tersebut benar-benar pemikiran Anda. Tentu tidak aib ketika > Anda menyebut dari mana sumber pemikiran Anda, karena tidak ada pemikiran > yang datang sekonyong-konyong dari ruang hampa. Tapi saya yakin, buku yang > saya baca sudah seperti terkunyah. Saya misalnya, sudah membaca al- Jurjani > lebih dari seratus kali sembari mengajarkannya. Jadi sudah sulit bagi saya > mengatakan bahwa al-Jurjani berpikir begitu, sebab saya sudah > mengungkapkannya dengan bahasa yang sangat kontemporer. Makanya tidak > mungkin lagi menyebut mana sumbernya, apalagi saya selalu membaca dengan > cara yang bebas sambil mengambil sedikit petikan-petikan dan > kutipan-kutipan. > > NOVRIANTONI: Anda tentu tahu pentingnya interaksi pengetahuan dan kekuasaan. > Mengapa Anda tidak berusaha menyosialisasikan gagasan-gagasan Anda melalui > struktur pemerintahan seperti Thaha Husein atau Muhammad Abduh? > > NASR: Masalahnya sederhana saja. Saya bersedia menjadi menteri dengan > cara-cara yang demokratis dan setia menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. > Pada masa pemerintahan Partai Wafd dulu di Mesir, para menteri direkrut > melalui pemilu. Sekarang problemnya, pemerintah punya ideologi yang tidak > demokratis. Saya menganggap, saat ini sangat tidak mungkin untuk keluar dari > kerangkeng sistem yang sudah dibuatkan sedemikian rupa oleh rezim penguasa. > Saya tidak rela bekerja di bawah tekanan. Apabila ada sebentuk demokrasi > dalam menjalankan tugas, tidak melulu memperturutkan titah rezim, saya > mungkin mau menerima jabatan. Tapi kalau presiden menginginkan saya menjadi > menteri dengan kerangka sistem sedemikiran rupa, saya akan terperangkap > dalam sistem tersebut. Banyak sekali para intelektual yang sudah > terperangkap dalam jerat rezim. Ini mungkin lain dari kasus Thaha Husein. > Dia terpilih menjadi menteri dengan cara-cara yang demokratis dan dalam > iklim yang relatif demoktaris. > > NOVRIANTONI: Terakhir: kenapa Anda tidak menujukkan simbol-simbol keislaman > dalam sehari-hari Anda? > > NASR: Banyak murid saya di kampus Universitas Kairo dulunya yang menanyakan > mengapa saya tidak membaca basmalah dan salawat ketika mengajar. Soalnya > bukan saya menentang ungkapan itu. Saya menganggap itu semua sebagai > ungkapan masjid, bukan di lingkungan akademik. Saya ingin membedakan antara > al-jâmi` (masjid) dengan al-jâmi`ah (perguruan tinggi). Di perguruan tinggi, > saya tidak perlu basa-basi dengan semua itu. Saya cukup menayakan "apa kabar > kalian", "sampai di mana pemahaman kalian", dan lain-lain. Bagi banyak > orang, keduanya disatukan sedemikian rupa. Bagi saya, ketika ke masjid, > orang tidak sedang mencari pengetahuan, melainkan nasihat. Tapi di perguruan > tinggi, orang butuh banyak pengetahuan, bukan diocehi nasihat- nasihat > keagamaan. Yang terjadi sekarang, perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam > mirip masjid; lebih banyak memberi nasihat daripada pengetahuan. Padahal > mahasiswa mencari pengetahuan, kan!? [*] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> $9.95 domain names from Yahoo!. Register anything. http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/