Bukan main, pak. Sebuah tulisan yang sangat mencerahkan.

Salam

RM Danardono HADINOTO


--- In [EMAIL PROTECTED], "Ambon" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=687
> 
> Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd:
> Sekularisme Ada dalam Sejarah, Tak Ada dalam Kitab
> Tanggal dimuat: 14/9/2004
> 
> 
> Beberapa waktu lalu, JIL mengadakan workshop dua hari 
seputar "Kritik Wacana
> Agama" yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi lintas 
agama di
> Hotel Millenimum, Jakarta (28-29/8/2004). Berikut petikan wawancara 
ekslusif
> JIL dengan Nasr Hamid di sela-sela perhelatan workshop soal wacana 
agama,
> proses demokrasi di dunia muslim, sampai perasaannya harus berada 
jauh dari
> kampung halamannya, Mesir.
> 
> Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang kini bermukim di 
Belanda,
> menghabiskan waktu dua pekan (sejak akhir Agustus-pertengahan 
September) di
> Indonesia. Sepanjang dua pekan itu, sosok intelektual bersahaja ini
> menyempatkan diri bertukar gagasan dan berdialog dengan pelbagai 
kalangan.
> Selain mengisi seminar di UIN Jakarta dan universitas lainnya, 
pakar ilmu
> Alqur'an berbadan gempal ini juga mengisi "pengajian" ilmu Alqur'an 
di
> Pondok Pesantren Salafiyah Assyafiiyyah Asembagus Situbondo. 
Jaringan Islam
> Liberal (JIL) kebagian jatah mengadakan workshop dua hari 
seputar "Kritik
> Wacana Agama" yang diikuti pelbagai aktivis LSM dan organisasi 
lintas agama
> di Hotel Millenimum, Jakarta (28-29/8/2004). Di sela-sela perhelatan
> workshop itulah, Novriantoni (salah seorang redaktur JIL) sempat
> berbincang-bincang dengan Nasr Hamid tentang pelbagai persoalan, 
mulai dari
> teori ilmu Alqur'an, soal wacana agama, proses demokrasi di dunia 
muslim,
> sampai perasaannya harus berada jauh dari kampung halamannya, 
Mesir. Berikut
> Petikannya.
> 
> NOVRIANTONI: Prof. Nasr, selama dua hari workshop, kita menangkap
> perkembangan pemikiran Anda dari gagasan tentang "Alqur'an sebagai 
teks"
> (al-Qur'ân kan nash) yang dapat dianalisis dengan perangkat 
analisis teks
> yang lazim, menuju gagasan tentang "Alqur'an sebagai wacana" (al-
Qur'ân kal
> khithâb). Apa bedanya?
> 
> NASR HAMID ABU ZAYD: Bedanya seperti perbedaan antara posisi Mushaf 
dan
> Alqur'an itu sendiri. Alqur'an adalah hidup dan merupakan fenomena 
yang
> dinamis dan efektif dalam kehidupan keseharian kita. Posisi itulah 
yang
> tidak mampu dijangkau oleh Mushaf sebagai sekumpulan teks yang 
mati. Jadi,
> kita memiliki dua fenomena tentang Alqur'an: Alqur'an sebagai 
fenomena yang
> dinamis; dan Mushaf sebagai fenomena teks. Dalam Mushaf, yang 
penting adalah
> teks itu sendiri. Sementara yang menjadi titik perhatian dalam 
fenomena
> Alqur'an sebagai wacana adalah soal kenyataan (al-wâqi`). Dalam 
fakta
> sejarah, selama 23 tahun Alqur'an merupakan fenomena yang dinamis, 
dialogis,
> debat-sanggah, dan mengikut mekanisme take and give.
> 
> 
> 
> NOVRIANTONI: Apakah selama 23 tahun pertamanya itu dia tetap 
dianggap
> sakral?
> 
> NASR: Sakral dalam artian apa? Kalau sakral diartikan "tetap dan 
tidak
> dinamis", kenyataannya orang-orang muslim pertama zaman itu 
mengajukan
> pelbagai pertanyaan dan menuntut jawaban Alqur'an. Manusia zaman itu
> berinteraksi dengan sesuatu yang sakral dengan cara yang hidup. 
Artinya,
> mereka bertanya, Alqur'an menjawab; mereka membantah, Alqur'an 
menyanggah.
> Titik sentral perdebatan itu ada pada sosok Nabi Muhammad. Ambillah 
contoh
> dari ayat Alqur'an, "yas'alûnaka `anis syahril harâm qitâlun fîh" 
(mereka
> bertanya tentang status perang pada bulan-bulan yang terlarang). 
Kalau Anda
> menganalisis ayat itu sebagai sebuah teks, Anda akan mengatakan 
bahwa ayat
> itu menghalalkan perang sekalipun di bulan-bulan terlarang. Tapi 
ketika dia
> dianalisis sebagai sebuah wacana, kita akan menemukan bahwa kaum 
muslim
> ketika itu sangat gentar ketika harus berperang di bulan-bulan 
terlarang.
> Sebab, itu merupakan pelanggaran atas aturan yang standar berlaku 
dalam
> mayarakat tribal Arab ketika itu. Di sini Alqur'an mengajak dan 
memotivasi
> kaum muslim untuk berperang walaupun "qitâlun fîh syadîd" (sangat 
berat bagi
> mereka).
> 
> Urusan perang bagi mereka yang hijrah dari Mekkah ke Madinah itu 
tentu
> sangat berat. Bagaimana mungkin mereka berani berperang melawan 
kekafiran,
> toh yang mereka perangi tak lain adalah sanak saudara mereka 
sendiri dari
> kaum Quraisy. Dari sinilah kita dapat memahami mengapa redaksi 
Alqur'an di
> situ begitu keras. Jadi ayat yang menganjurkan untuk berperang 
melawan kaum
> musyrik (yang notabene masih sanak saudara kaum muslim sendiri 
ketika itu),
> merupakan pelecut semangat bagi kaum muslim yang peragu. Tidak 
mungkin kita
> menganggap ayat itu berlaku umum sebagai anjuran perang tanpa tedeng
> aling-aling.
> 
> Makanya, ketika menjumpai redaksi Alqur'an yang berbunyi "uqtulûhum 
haits
> tsaqiftumûhum" (perangilah mereka dimanapun engkau jumpai!), kita 
tidak bisa
> menganggapnya sebagi perintah yang langsung dan mutlak. Ayat ini 
dapat
> diletakkan sebagai bagian dari pelecut semangat, khusushya bagi 
mereka yang
> ragu dan takut untuk berperang. Artinya, redaksi yang ada di sini 
bersifat
> dialogis. Kaum Muslim ketika itu mungkin tidak punya beban untuk 
berperang
> melawan orang Parsi dan Romawi. Tapi melawan sanak saudara mereka 
sendiri,
> orang Arab seperti mereka (sekalipun musyrik), tentu sangat berat 
dan
> dilematis. Jadi di sini Alqur'an mengajak untuk keluar dari rasa 
waswas
> tadi, karena sedang membentuk tatanan mayarakat baru.
> 
> NOVRIANTONI: Kalau begitu, Alqur'an itu sangat ideologis, ya!?
> 
> NASR: Kalau mau mengatakan begitu, katakanlah! Saya menamakannya 
sebagai
> wacana (al-khitâb). Setiap wacana tentu saja mengandung unsur yang
> ideologis, dan itulah yang terjadi. Kita tidak perlu takut 
mengatakan
> demikian, sebab Allah kemungkinan juga sangat ideologis.
> 
> NOVRIANTONI: Ini seperti terkait dengan tesis Anda yang mengatakan 
bahwa
> selain bagian dari mutâj tsaqâfî (produk kebudayaan), Alqur'an juga 
berperan
> sebagai mutij tsaqâfî (produsen peradaban)!
> 
> NASR: Mungkin. Bagi saya, persoalannya bukan pada fakta bahwa 
Alqur'an
> adalah "produk budaya", tapi lebih pada aspek "produsen budaya" itu 
tadi.
> Sebab dalam pengandaian sebagai produsen budaya, semua aktivitas 
yang
> ideologis itu tadi sangat dimungkinkan. Terus terang, saya 
sebetulnya takut
> menggunakan tesis tersebut, karena kita dapat memperhatikan fakta 
bagaimana
> Alqur'an mampu menjadi penggerak itu semua. Kini kita punya 
persoalan serius
> dalam memahami Alqur'an: absennya pendengar Alqur'an awalnya, 
sehingga kita
> kesulitan meletekkan konteksnya. Dalam sebuan wacana, tentu ada 
pihak
> penyampai dan pendengar. Tapi sekarang pendengar pertamanya sudah 
tidak ada.
> 
> Kita ambil contoh sederhana tentang bagaimana sebuah wacana 
bekerja. Saya
> tak jarang sengaja membentak anak sulung saya untuk menyampaikan 
pesan lain
> kepada anak saya yang paling bungsu. Saya tentu tidak sampai hati 
memarahi
> si bungsu yang masih kecil itu. Tapi dengan memarahi yang sudah 
besar, si
> bungsu tahu bagaimana sikap saya dalam persoalan tertentu. Jadi ada 
pesan
> bersayap di dalam wacana yang sedang saya sampaikan kepada anak 
sulung saya.
> Wacana yang saya sampaikan itu punya lebih dari satu fokus.
> 
> Makanya, saya selalu mengatakan bahwa proses dialog dengan kalangan 
Islamis
> itu tetap penting. Bukan dalam rangka memuaskan mereka dengan 
pemikiran
> kita, tapi untuk memberi pesan kepada yang lain: pihak ketiga yang 
ikut
> menyimak dialog tersebut secara diam-diam. Kalangan Islamis mungkin 
sudah
> tidak penting Anda ajak untuk berpikir mendalam, karena mereka 
sudah sangat
> ideologis. Tapi yang penting adalah pihak ketiga yang diam itu. 
Dialog
> selalu penting untuk pihak pendengar, dan dari situlah terciptanya 
wacana.
> Itulah kelebihan sebuah wacana. Sementara teks, hanya terdiri dari 
pengarang
> dan pembaca. Ketika Alqu'an menjadi teks pertama kali, dia tetap 
mampu
> menciptakan kebudayaan yang betul-betul hidup. Tapi setelah itu 
banyak pihak
> yang mengambil hukum-hukum mutlak, walaupun sebetulnya tidak ada 
yang
> namanya hukum mutlak itu.
> 
> Misalnya, Anda mengambil hukum mutlak dari redaksi ayat "waqtulûhum 
haitsu
> tsaqiftumûhum (bunuhlah mereka dimanapun engkau jumpai) 
atau "waikhrâjul
> bait aktsaru fitnah" (mengeluarkanmu dari tempat tinggalmu lebih 
dari sebuah
> petaka). Artinya, di sini akan ada proses penyelewengan makna dari 
teks yang
> sebenarnya. Nah, dalam sebuah wacana, diperlukan analisis yang 
lebih lanjut
> menyangkut kondisi sosial-politik-budaya ketika teks itu 
dilahirkan. Kata
> "musyrik" misalnya, tidak bisa kita mutlakkan pada siapa saja. 
Kata "kafir"
> juga demikian. Kalau pembunuhan pada kaum musyrik merupakan 
perintah yang
> mutlak, tidak mungkin Nabi membiakan penghuni Mekkah yang musyrik 
itu tetap
> hidup ketika terjadi proses Penaklukan Mekkah (fath makkah).
> 
> NOVRIANTONI: Prof. Nasr, Anda getol sekali mengajak mengembangkan 
kesadaran
> kritis-ilmiah dalam kajian atas Kitab Suci, terutama Alqur'an. Apa 
saja
> tantangan dalam membentuk kesadaran kritis-ilmiah itu?
> 
> NASR: Tantangannya banyak sekali. Dari institusi resmi dan dogma-
dogma yang
> dipoduksi dan reproduksi berkali-kali oleh kalangan konservatif. 
Mereka
> dengan leluasa mengembangkan dogma-dogma mereka di pelbagai media 
massa. Dan
> itu sangat berat untuk ditantang, karena mereka mengklaim 
memperjuangkan
> Islam yang otentik. Media dogma yang paling krusial tentu saja 
masjid. Jadi,
> kita punya berbagai peringkat produsen dogma; institusi keagamaan 
resmi,
> media massa, dan khatib-khatib di masjid. Dogma bertebaran di 
segenap
> penjuru itu.
> 
> Hilangnya etos keilmuan dan tidak adanya pendidikan yang hakiki juga
> menyebabkan tantangan kita semakin berat. Institusi pendidikan kita 
tidak
> mengajarkan bagaimana murid bisa berpikir, tapi memaksa mereka untuk
> menghafal untuk lulus ujian. Tantangan lain adalah buku-buku yang 
tidak
> mendidik kesadaran kritis-ilmiah dalam beragama. Saya tidak 
menyebut buku
> sebagai salah satu tantangan terberat. Buku mungkin dibaca dan 
mungkin
> diabaikan. Tapi, buku merupakan salah satu bagian dari gerakan yang 
integral
> dalam proyek pencerahan. Meski begitu, saya tidak terobsesi untuk 
dapat
> melakukan pencerahan melalui buku-buku yang saya karang. Satu-dua 
buku yang
> mengajak berpikir kritis-ilmiah tentu tidak dapat diandalkan, 
dibanding
> banyaknya buku yang mengajar secara detil cara-cara melenyapkan 
kesadaran
> kritis-ilmiah.
> 
> Makanya diperlukan komunikasi yang lebih banyak lagi dengan orang 
lain. Tak
> jarang komunikasi langsung secara individual lebih memungkinkan 
kita untuk
> menyebarkan pengetahuan secara baik. Saya beruntung kini bermukim di
> Belanda, sebab bisa mengajar mahasiswa muslim dari pelbagai negara, 
tidak
> hanya orang Mesir. Makanya, kadang-kadang saya berpikir, orang lain 
ingin
> mencelakakan kita, tapi Allah menginginkan skenario lain. Saya punya
> mahasiswa dari Iran, Turki, dan juga Indonesia; cukuplah bagi saya. 
Saya
> kira di dunia Islam kini sedang muncul kesadaran penuh semangat 
untuk
> membangun masyarakat baru.
> 
> NOVRIANTONI: Prof. Nasr, dalam buku al-Khitâb wat Ta'wîl (Wacana dan
> Penakwilan), Anda mengeluhkan kalangan yang mengklaim kalau kita 
hanya perlu
> mengadopsi sains dan teknologi Barat, tanpa perlu mengadopsi nilai-
nilai
> seperti individualisme, kebebasan, demokrasi, dan lain-lain. 
Mungkinkah
> sains dan teknologi berkembang tanpa prasyarat budaya seperti
> individualisme, kebebasan berpendapat, dan lain-lain?
> 
> NASR: Mungkin saja kita mendapat segenap produk sains dan teknologi 
itu
> tanpa prasayarat budaya tertentu. Tapi kita tetap saja akan menjadi 
konsumen
> dan importir. Menurut saya, ketika kita mengadopsi nilai-nilai 
budaya Barat,
> tidak otomatis kita telah membebek kepada mereka. Barat juga tidak 
satu
> front. Barat terdiri dari beragam masyarakat dengan eksperimen 
sejarah
> masing-masing. Sekularisme Jerman tentu bukan sekularisme Perancis.
> Sekularisme Perancis berbeda dengan sekularisme Inggris. 
Sekularisme Belanda
> tidak sama dengan sekularisme Amerika. Jadi perbincangan tentang 
Barat
> dengan meletakkannya dalam satu keranjang juga keliru.
> 
> Makanya, kita perlu berbincang soal interaksi, lebih spesifik 
interaksi yang
> terbuka antara nilai-nilai kita dengan nilai-nilai lain. Ini bukan 
soal
> pembebekan. Kita sering mendengar klaim bahwa kita memiliki nilai-
nilai
> sedemikian rupa yang berbeda dengan nilai-nilai orang lain. Padahal,
> nilai-nilai yang diklaim tersebut tak jarang hanya ada dalam 
fantasi kita
> sendiri. Apa yang menghalangi kita untuk mendapat nilai kebebasan 
individu
> dari konsep dan nilai-nilai Islam sendiri? Apakah Islam melulu 
berdiri atas
> dasar paksaan?
> 
> NOVRIANTONI: Mungkin persoalannya karena Islam lebih banyak 
menekankan soal
> keadilan dibandingkan kebebasan. Akibatnya kebebasan seakan-akan 
bukan
> bagian penting dari nilai-nilai Islam!
> 
> NASR: Saya paham itu. Tapi saya tidak menganggap adanya 
pertentangan nilai
> di dalam Islam. Mungkin persoalannya hanya pada bagaimana meletakkan
> prioritas; bukan pertentangan antar nilai. Sebab, kita tidak mungkin
> mencapai taraf masyarakat sosialis dan berkeadilan sosial tanpa 
ditopang
> kebebasan individu yang memadai. Mungkin itu bisa saja terjadi, 
tapi akan
> gagal dengan segera. Inilah yang kita saksikan dari kasus kegagalam
> eksperimentasi sosialisme di negara-negara Arab umumnya. Sosialisme 
selalu
> dipaksakan dengan mengorbankan kebebasan individu. Kebebasan 
mendapatkan
> roti mengorbankan kebebasan berpendapat. Tapi pada akhirnya 
terbukti,
> kebebasan berpendapatlah yang sesungguhnya memperjuangkan kebebasan 
mendapat
> jatah roti pada awalnya.
> 
> NOVRIANTONI: Apa penyebab defisit kebebasan di negara-negara muslim;
> persoalan politik, budaya, atau apa?
> 
> NASR: Politik, sosial dan ekonomi! Jadi bukan problem politik 
semata. Lebih
> dalam dari itu adalah persoalan sosial-budaya, khususnya menyangkut
> pendidikan atau bagaimana cara kita mencetak generasi sejak dini. 
Kita punya
> problem dalam mendidik di lingkungan rumah tangga karena terlalu 
banyak
> menekankan asas ketaatan. Saya tidak menganjurkan semua anak 
bertindak
> durhaka pada orang tuanya masing-masing. Yang kita harapkan: bila 
anak
> ditanya, dia bisa menjawab; Ada proses dialog dalam lingkungan 
keluarga.
> 
> Nah, dogma ketaatan yang mutlak pada level rumah tangga ini rupanya 
meluas
> ke sistem pendidikan di sekolah, sampai tingkat perguruan tinggi. 
Di dalam
> perkuliahan, tidak ada perdebatan. Para pengajar menjadikan 
peneliti sebagai
> jongos. Nilai ketaaatan di rumah tangga berlanjut ke level yang 
paling
> makro: rezim politik. Keluar dari kerangka ketaatan pada rezim 
dianggp
> penentangan terhadap negara. Yang dipentingkan kemudian adalah 
konsensus dan
> harmoni. Konflik ditekan sama sekali. Jadi persoalan defisit 
kebebasan
> bermula dari level yang paling mikro sampai level yang paling 
makro. Makanya
> di dunia muslim, struktur makro berupa rezim politik, merefleksikan
> ketaaatan mutlak pada level keluarga tadi. Rezim-rezim politik 
selalu bisa
> memaksakan kehendak ideologisnya dalam kurikulum pengajaran dan 
pendidikan.
> 
> NOVRIANTONI: Prof. Nasr, sekarang terjadi gelombang demokratisasi 
yang cukup
> menjanjikan di sejumlah negara muslim. Apa yang terbayang dalam 
benak Anda
> ketika melihat proses demokratisasi di Indonesia?
> 
> NASR: Saya tidak punya banyak informasi tentang proses 
demokratisasi di
> Indonesia. Tapi melihat pemilu presiden terakhir, dengan kontestasi 
banyak
> calon, tidak adanya salah satu calon yang memperoleh suara mutlak, 
tradisi
> pemilu yang reguler, dan adanya kontrol yang kuat atas pemilu, saya
> menganggapnya sebagai bagian tradisi transparansi yang mungkin 
tidak terjadi
> di banyak negara muslim lain. Di Iran ada pemilu, tapi tetap saja
> terkungkung oleh kerangka sistem negara Islam. Jangan lupa, di 
Indonesaia
> perempuan sudah menjadi kepala negara, dan sekarang menjadi calon 
kepala
> negara. Itu pantas kita apresiasi sekalipun mendapat banyak 
tantangan dari
> kalangan Islam konservatif dan kelompok lainnya.
> 
> Bagi saya, kalau proses demokratisasi di Indonesia berkembang secara
> progresif --mudah-mudahan tidak terjadi hal-hal yang merintanginya--
 kita
> akan punya tiga contoh demokrasi di negara muslim, di samping 
contoh Turki
> dan Iran. Memang terdapat variasi yang mencolok antara ketiga contoh
> tersebut. Tapi yang penting, masyarakat Islam merasa dipimpin oleh
> pemerintahan yang demokratis, sekalipun dalam format Islam seperti 
di Iran.
> 
> NOVRIANTONI: Apakah demokrasi yang diformat dalam kerangka negara 
Islam
> seperti Iran itu tidak problematis?
> 
> NASR: Betul! Di Iran, mereka mengklaim sedang menjalankan demokrasi 
Islam
> tanpa membolehkan nonmuslim untuk berkompetisi di dalam sistem 
demokrasi
> tersebut. Tapi Iran saya rasa masih berada dalam kerangka negara 
demokratis,
> karena di sana ada parlemen atau dewan yang dipilih langsung secara 
reguler
> dengan instrumen-instrumen demokrasi. Dan lebih dari itu, di sana 
ada hasrat
> dan kesempatan untuk mengganti kekuasaan secara reguler. Itu tidak 
sama
> dengan beberapa negara Arab yang kita lihat saat ini. Semua itu 
bagi saya
> sangat penting.
> 
> Sekarang, kita perlu lebih jeli memperhatikan perkembangan sosial-
politik
> Iran. Kini di Iran, gagasan velayat-e-faqih sedang berada dalam 
tantangan.
> Perlu diingat, itu semua tentu tidak mungkin terjadi kecuali dalam 
iklim
> yang relatif demokratis. Beberapa perkembangan dan gejolak yang 
kini terjadi
> di Iran, menurut saya masih bagian dari indikator proses yang 
sehat, bukan
> tanda pesakitan.
> 
> NOVRIANTONI: Bagaimana dengan proyek "demokratisasi" Irak?
> 
> NASR: Demokratisasi di Irak jelas tidak menjanjikan! Sederhana 
saja, proses
> perubahan apapun yang dijalankan langsung dari atas akan sulit 
menuai
> sukses. Dari ekserimen sejarah kita tahu, proses perubahan apapun 
yang
> dipaksakan dari atas tidak akan berhasil. Pada level masyarakat, 
mungkin
> mereka terlihat seakan-akan menerima proses perubahan, tapi 
sesungguhnya
> bentuk penerimaan itu semu dan terpaksa belaka. Inilah yang 
sebetulnya
> sedang kita saksikan di Irak.
> 
> NOVRIANTONI: Khaled Khistaini, kolumnis al-Syarq al-Awsath asal 
Irak,
> optimis akan proses demokratisasi Irak. Menurutnya, rakyat Irak pada
> dasarnya berbudaya, gemar membaca, demokratis, sekuler, dan sifat-
sifat baik
> lainnya!
> 
> NASR: Kita perlu berhati-hati ketika mengatakan rakyat ini atau itu 
pada
> esensinya berwatak demikian. Kondisi rakyat selalu berubah. Kita 
perlu ingat
> pengalaman Irak selama kurang lebih 30 tahun di bawah rezim 
diktator yang
> bengis. Dari pengalaman itu, rakyat Irak tidak dapat dibayangkan 
akan tetap
> berada dalam kondisi tertentu tanpa proses perubahan. Makanya, saya 
selalu
> menentang bentuk-bentuk generalisasi dalam berpikir. Saya tidak mau
> mengatakan bahwa rakyat Mesir pada esensinya lemah-lembut dan 
santun,
> misalnya. Sebab, suatu ketika rakyat Mesir bisa menjadi kasar dan 
sangat
> beringas.
> 
> Menobatkan sifat-sifat dasar tertentu terhadap suatu masyarakat, 
terkadang
> berubah menjadi klaim yang justru mengabaikan pelbagai kompleksitas
> perubahan pada masyarakat itu sendiri. Sebuah pepatah mengingatkan 
kita,
> "Air yang sama tidak akan menempuh arus yang sama dua kali." 
Artinya, rakyat
> Irak tidak mugkin tetap dalam kondisi yang demokratis --kalau itu 
pernah
> terjadi-- setelah sekian lama berada dalam kungkungan rezim 
otoriter.
> Makanya, saya tidak dapat menerima anggapan seperti itu. Watak 
manusia pada
> dasarnya tidak tetap. Manusia bukanlah data-data yang konstan.
> 
> NOVRIANTONI: Bagaimana prediksi Anda tentang masa depan demokrasi 
di dunia
> Arab?
> 
> NASR: Khusus pada dimensi politik, cukup menjanjikan. Tapi kalau 
kita tarik
> pada level yang lebih luas, demokrasi di sana baru akan sampai pada 
level
> demokrasi pemilu saja. Jadi belum akan sampai pada level demokrasi 
yang
> menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Artinya, di sana akan ada 
banyak
> partai, elit, dan prosedur-prosedur demokrasi. Tapi demokrasi 
sebagai sebuah
> konsep yang bersendi kebebasan individu, akuntabilitas, dan lain-
lain, akan
> sulit tercapai. Demokrasi yang akan muncul di negeri Arab adalah 
demokrasi
> tribalistik. Sebab, kebebasan individu tidak akan pernah ada. Para 
calon
> anggota dewan akan giat melakukan kampanye di desa dan wilayah 
sukunya,
> sebab masyarakat sangat fanatik terhadap calon yang berasal dari 
daerah dan
> sukunya masing-masing.
> 
> NOVRIANTONI: Apakah lemahnya individulisme dalam demokrasi Arab ini
> menandakan bahwa individualisme itu sendiri merupakan nilai-nilai 
Barat yang
> tak mungkin diadopsi oleh negara muslim?
> 
> NASR: Saya tidak mengatakan bahwa individualisme sebagai sebuah 
nilai
> betul-betul sudah raib dari negeri Arab. Yang hilang adalah 
kebebasan
> individu untuk mengambil keputusan dan memilih. Padahal itu semua 
merupakan
> prasyarat untuk menegakkan kebebasan politik. Kebebasan politik 
tidak akan
> terjadi bila kebebasan pndidikan, berkeyakinan, mengeluarkan 
pendapat, dan
> lain-lain tidak terwujud.
> 
> NOVRIANTONI: Prof. Nasr, sebagian orang menganggap konsep syura dan 
ijmak
> sebagai akar-akar demokrasi dalam Islam. Bagaimana pendapat Anda?
> 
> NASR: Saya tidak yakin dan tidak pernah berpikir seperti itu. 
Menurut saya,
> konsep syura bukanlah konsep Islam. Kata syura termuat di Alqur'an 
dalam
> bentuk deskriptif saja (shûrah washfiyyah). Misalnya, dalam bentuk 
redaksi:
> "wa 'amruhum syûra bainahum" (perkara mereka diselesaikan dengan 
cara
> rembukan). Dalam sejarahnya, syura merupakan prosedur yang digunakan
> elit-elit Quraisy ketika mereka menghadapi pelbagai problem bersama,
> sebagaimana yang dipraktekkan ahli nadwah dan malâ' atau para elit 
suku
> Quraisy. Mereka berembuk ketika ingin menetapkan keputusan yang 
bersentuhan
> langsung dengan kepentingan masing-masing suku. Inilah bentuk syura 
yang
> sudah dipraktekkan sebelum Islam. Jadi sama sekali bukan inovasi 
Islam. Ini
> ditunjang fakta sosiologis bahwa ketika itu tidak mungkin satu suku 
saja
> yang mengambil keputusan sembari mengabaikan suku lainnya.
> 
> NOVRIANTONI: Tapi etos seperti kan tetap dapat dijadikan modal
> sosial-kultural bagi sebuah demokrasi!?
> 
> NASR: Saya tidak cenderung pada pemikiran seperti itu. Saya 
berpikir, kita
> sudah hidup dalam dunia baru, dimana demokrasi sebagai sebuah nilai 
dan
> sistem sudah tidak membutuhkan banyak legitimasi dari khazanah masa 
lampau
> kita lagi. Kalau kita masih merepotkan diri mencari legitimasi dalam
> khazanah masa lampau kita, mungkin akan muncul orang lain yang 
menyibukkan
> diri mencari legitimasi dari landasan mereka. Yang perlu diingat 
juga, syura
> dalam kasus Islam berbeda dari demokrasi. Syura tidak dalam posisi 
mulzimah
> (mengikat). Sekarang kita punya pilihah: apakah ingin negara 
demokrasi atau
> nomokrasi? Demokrasi adalah pemerintah yang berlandaskan hukum 
rakyat,
> sementara nomokrasi adalah hukum syariat.
> 
> Saya mengerti kalau ada kekhawatiran sekiranya demokrasi akan 
menggiring
> mayoritas rakyat menentang syariat. Tapi kita juga punya problem 
yang sama
> dengan konsep syura; apakah syura itu mengikat seorang penguasa 
atau hanya
> sekedar mengingatkan (mu`limah) dan bagian dari nasihat belaka. 
Kita tahu,
> di Kerajaan Arab Saudi juga ada Majlis Syura. Tapi Majlis Syura di 
sana
> ditentukan langsung oleh raja untuk menangani urusan-urusan 
tertentu.
> Mungkin model ini lebih tepat disebut Majlis Khubarâ' (dewan 
pakar). Saya
> berpandangan bahwa konsep Majlis Syura di sana lebih dekat pada 
konsep
> Majlis Khubarâ'. Setiap institusi pemerintahan tentu membutuhkan 
dewan pakar
> yang bekerja untuk menyampaikan pendapat dan pandangan mereka dalam 
proses
> pengambilan keputusan pada sebuah institusi. Jadi, ini mirip saja 
dengan
> dewan penasehat.
> 
> NOVRIANTONI: Prof. Nasr, pendahulu Anda, Ali Abdur Raziq, telah 
meletakkan
> fondasi sekularisme dari basis ajaran Islam melalui buku Al-Islâm 
wa Ushûlul
> Hukm (Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan). Tapi bagi saya masih 
kabur:
> adakah akar-akar sekularisme yang cukup solid dalam sejarah Islam?
> 
> NASR: Ada dua jawaban. Kalau kita bicara tentang Islam yang hidup, 
dinamis,
> dan bergerak, maka jawabannya "ada". Tapi kalau kita bicara tentang 
Islam di
> dalam buku, atau Islam dogmatik, jawabannya "tidak ada". Jadi, 
sekularisme
> sebetulnya ada dalam fakta sejarah, tapi tidak ditemukan rumusannya 
di dalam
> buku. Kalau Anda mengikuti sejarah Islam sejak mulai muncul sampai 
kurun
> waktu tertentu, Anda akan dapatkan tidak adanya penyatuan antara 
otoritas
> agama dengan otoritas politik. Institusi-institusi keagamaan, 
seperti
> madrasah fikih, kalam, atau tasawwuf, merupakan lembaga yang dalam 
batas
> tertentu independen dari kekuasaan politik. Mayoritas ahli fikih 
tidak
> senang menjadi pegawai pemerintah. Kita tahu, Khalifah al-Manshûr 
pernah
> berkeinginan mengadopsi kitab al-Muwattha' karangan Imam Malik untuk
> dijadikan undang-undang pemerintah. Tapi Imam Malik menolaknya.
> 
> Ada ungkapan menarik yang dikemukakan Imam Malik dalam 
penolakannya: "Laqad
> balaghat linnâs ârâ'" (orang-orang sudah punya multipendapat). 
Artinya, Imam
> Malik menyadari perbedaan pandangan hukum yang sangat beragam di 
masyarakat,
> dan mereka berbuat sesuai pemahamannya tentang hukum tersebut. 
Makanya, Imam
> Malik menolak formalisasi hukum melalui bukunya. Imam Abu Hanifah 
juga
> menolak ketika dirinya hendak dinobatkan sebagai qlâdî pemerintah. 
Ini
> artinya, para ahli fikih itu senantiasa ingin menjaga tingkat 
independensi
> dirinya ketika berhadapan dengan kekuasaan politik pemerintah.
> 
> NOVRIANTONI: Tapi al-Ghazali pernah mengungkapkan "al-dîn uss was 
shulthân
> hâritsuh, mâ lâ ussa lahu famahdûm wa mâ lâ hâritsa lahu fadlâi'" 
(agama
> adalah fondasi dan kekuasaan adalah proteksinya; yang tidak 
berfondasi akan
> rubuh, yang tidak berproteksi akan lenyap). Tidakkah ungkapan ini
> merefleksikan perlunya penyatuan agama dan kekuasaan pemerintah?
> 
> NASR: Ungkapan seperti itulah yang saya katakan sebagai dogma. 
Kalau kita
> analisis, dogma ini menafsirkan apa yang terjadi ketika dia 
dikatakan oleh
> al-Ghazali. Kita tahu, al-Ghazali adalah seorang ahli fikih dan 
ilmu kalam
> yang merupakan bagian dari lingkaran kekuasaan (inner circle) 
pemerintahan
> ketika itu. Sementara sosok-sosok lain berusaha menjaga tingkat
> independensinya dari rezim penguasa --paling tidak pada level 
pemikiran.
> Memang tidak mungkin kita indepen secara mutlak dari negara, karena 
pada
> akhirnya kita tetap hidup di sebuah tatanan negara, dan suatu waktu 
bisa
> menjadi pegawai birokrasi negara.
> 
> Tapi eksperimen al-Ghazali ini saya kira penting. Kita tahu, Al-
Ghazali
> adalah seorang kepada Madrasah Nidzâmiyyah, sekolah negeri pada 
masa Daulah
> Abbasiyah. Pada zamannya, Daulah Abbasiyyah secara ideologis 
bertentangan
> dengan Daulah Syi'iyyah. Kalau kita membaca buku al-Ghazali, al-
Munqidz
> Minad Dlalâl, kita akan menemukan bahwa seorang al-Ghazali secara
> intelektual telah "dimanfaatkan" oleh kekuasaan pemerintah ketika 
itu. Dalam
> bukunya, Fadlâihul Bhâtiniyyah, kita akan menemukan betapa kerasnya
> konfrontasi al-Ghazali terhadap Kaum Bathiniyyah demi mempertahankan
> ideologi Abbasiah. Jadi, al-Ghazali di sini bergerak bukan atas 
dasar
> keyakinan intelektualnya.
> 
> NOVRIANTONI: Apa Anda ingin mengatakan al-Ghazali berpikir ideologis
> ketimbang epistemologis, seperti kritik Anda terhadap Muhammad 
Emarah yang
> ditengarai berpikir ideologis ketika mengeritik Ali Abdur Raziq?
> 
> NASR: Tidak mengapa berpikir ideologis, dan itu bukan aib. Siapapun 
memang
> tidak bisa lepas dari cara berpikir ideologis. Al-Ghazali sendiri 
mengaku
> bahwa dia berpikir secara ideologis di dalam bukunya al-Munqidz 
Minad
> Dlalâl. Posisi seperti itulah yang perlu kita ketahui ketika 
mencermati
> ungkapan-ungkapannya. Di dalam bukunya, al-Ghazali mengatakan bahwa 
dia di
> kemudian hari sadar bahwa kegiatan belajar mengajar dan penulisan 
yang dia
> lakukan bukan dilandaskan untuk pengabdian kepada Allah. Dia 
mengatakan itu
> sendiri dan menyesal.
> 
> NOVRIANTONI: Untuk siapa dia abdikan karya-karya intelektualnya?
> 
> NASR: Tidak penting untuk siapa. Tapi yang penting adalah makna dari
> pengakuan itu sendiri. Ini pengakuan al-Ghazali sendiri, dan kita 
perlu
> menghargai itu. Sebab dialah satu-satunya pemikir yang melakukan 
proses
> otokritik (naqd dzâtî). Dari kesadaran itulah kemudian dia meminta 
izin
> pemerintah untuk berangkat haji dan menetap di Masjidil Haram. Lalu 
dia
> berangkat ke Yerussalem untuk kemudian menempuh jalur tasawwuf.
> 
> Selain kasus al-Ghazali kita juga bisa mencermati kasus Khalifah al-
Makmun.
> Kita tahu, ketika dia mengukuhkan pandangan Muktazilah 
tentang "keterciptaan
> Aqur'an" (khuluqul Qur'ân), tujuannya bukanlah pencerahan 
intelektual
> ataupun rasionalisme sebagaimana yang kita sangka. Yang sebenarnya 
terjadi,
> rezim penguasa ingin melakukan kontrol atas pemikiran, sembari 
menyebarkan
> pemikiran yang disenangi penguasa semata. Dari sini, kita mesti 
meletakkan
> tragedi Ibn Hanbal (mihnat Ibn Hanbal) sebagai bagian dari 
kepahlawanan
> politik, bukan kepahlawanan pemikiran. Artinya, Ibn Hanbal ketika 
itu ingin
> menyampaikan pesan bahwa, negara tidak perlu ikut campur dalam 
persoalan
> pemikiran. Persoalan seperti itu merupakan urusan ahli ilmu kalam, 
dan
> negara tidak berhak ikut campur. Tapi sayangnya negara tetap saja
> menggunakan wewenangnya dalam persoalan seperti itu.
> 
> NOVRIANTONI: Prof. Nasr, di sela-sela workshop Anda pernah 
berbicara soal
> hilangnya dimensi humor dalam pola keberagamaan masyarakat Mesir, 
khususnya
> setelah kecenderungan fundamentalisme dan dan radikalisme agama 
menguat.
> Padahal, kelakar keagamaan (nuktah) adalah bagian budaya masyarakat 
Mesir.
> Anda bisa cerita lebih banyak!?
> 
> NASR: Saya menamakan fenomena ini sebagai fenomena keberagamaan 
yang murung
> atau depresif (al-tadayyun al-mukta'ib). Artinya, ketika Anda 
mendengar
> orang lain berkelakar tentang agama, Anda merasa kikuk karena tidak
> membayangkan orang yang kuat agamanya akan banyak berkelakar dan 
melontarkan
> joke-joke. Padahal, kelakar keagamaan itu sendiri merupakan bagian 
dari
> keberagamaan. Dalam pola keberagamaan ini, Anda selalu murung, 
dengan dahi
> berkedut, dan raut muka kencang dan masam.
> 
> NOVRIANTONI: Fahmi Huwaydi menyebutnya pola keberagamaan yang 
pemberang
> (at-tadayyun al-ghâdib)!
> 
> NASR: Saya menyebutnya keberagamaan yang depresif (al-tadayyun al-
mukta'ib).
> Marah berbeda dengan depresi. Marah merupakan bagian kebiasan dan 
emosi,
> semenetara depresi bagian penyakit. Makanya, bagi saya kita tidak 
sekedar
> mengidap keberagamaan yang pemberang, tapi depresif. Keberagamaan 
yang
> pemberang mungkin banyak dialami kawula muda. Saya tetap menghargai 
pola
> keberagamaan seperti itu, baik yang ditunjukkan kalangan Islamis 
maupun
> liberal. Pada mereka memang ada bentuk kemarahan dan gairah untuk 
perubahan.
> Saya lebih jauh mengatakan, keberagamaan yang depresif tak jarang 
menjadi
> bagian dari kombinasi antara keberagamaan yang pesakitan dan 
keberagamaan
> yang komersil (al-tadayyun al-tujârî).
> 
> NOVRIANTONI: Apa pula keberagamaan yang komersil itu?
> 
> NASR: Di negara-negara Arab kini, Islam merupakan bagian dari 
komoditas.
> Dengan Islam, Anda bisa menjadi juru nasehat dan mendapat uang 
berlimpah
> dari Negara-negara Teluk. Kasus pemikir Mesir, Muhammad Emarah, 
adalah
> contoh yang tepat dalam soal ini. Dia sering disebut pemikir Islam
> "tercerahkan" (al-mustanîr). Hanya saja, ketika berbicara di media 
massa
> Mesir, dia mengenakan pakaian casual sebagaimana kita gunakan. Tapi 
ketika
> berbicara di media massa dan televisi Negara-negara Teluk, dia 
mengenakan
> pakaian ala syekh dengan abaya dan tasbih yang melingkar di tangan. 
Saya
> kadang berpikir, kalau ingin menyalahi idealisme saya untuk 
menjunjung
> tinggi nilai-nilai kebebasan dan akal, saya bisa saja menjadi 
milyuner. Saya
> bisa bermain seperti permainan yang diperagakan sosok-sosok seperti 
Emarah
> dan Abdus Shabur Syahin. Saya bisa memasih-masihkan lidah ketika 
melafazkan
> "waqâla an-Nabî shallalLâh `alaih wa sallam" (dia memberatkan 
ucapannya
> dengan eksen khas juru dakwah). Saya yakin bisa mengerjakan itu dan 
mendapat
> banyak uang dari Negara Teluk. Saya tinggal mengumumkan pertobatan 
dari
> pemikiran-pemikiran saya selama ini, dan menobatkan diri sebagai 
juru bicara
> kaum antiakal dan antipencerahan.
> 
> NOVRIANTONI: Tapi dengan begitu Anda murtad dari idealisme Anda 
sendiri!
> 
> NASR: Tepat sekali! Yang ingin saya katakan dari cerita tadi, Islam 
bukan
> agama yang menuntut kita menjadi orang-orang yang menjengkelkan dan
> menakutkan. Yang diinginkan Islam adalah sosok lembut, santun dan 
mencintai
> kelakar. Saya tidak ingin menjadi orang yang tegang tiap saat, 
karena itu
> bertentangan dengan semangat Alqur'an sendiri. Dalam Alqur'an 
dikatakan,
> "walau kunta fadzzan ghalîdzal qalbi, lanfaddlû min haulik" (kalau 
Engkau
> kasar dan keras hati, mereka akan hengkang darimu). Ini yang perlu
> diperhatikan setiap juru dakwah. Mereka harus banyak tersenyum, 
utamanya
> kepada musuh. Juru dakwah tidak bertugas untuk memuaskan para 
pendukungnya,
> tapi lebih penting berpersuasi kepada para musuhnya. Makanya, 
dibutuhkan
> strategi dan kemampuan berkomunikasi yang santun.
> 
> Makanya saya berkesimpulan, ketika kaum muslim sudah hilang 
kemampuan untuk
> tersenyum, itu sudah menandakan kelemahan iman. Sebaliknya, secara
> psikologis, orang yang kuat imannya tidak perlu takut ketawa, 
bercanda,
> berkelakar, dan lain sebagainya. Kalau Anda cepat marah dan selalu 
depresi
> dan murung, berarti imanmu masih lemah, seakan-akan hidup hanya 
dilingkari
> ketakutan akan sanksi-sanksi agama. Artinya, secara teologis Anda 
telah
> mempersepsi Tuhan sebagai Dia yang murka sepanjang masa, dan tidak 
punya
> tugas lain kecuali menghitung kesalahan dirimu. Anda dengan begitu 
telah
> melupakan dimesi Tuhan yang Mahapengampun dan Mahapenyayang.
> 
> NOVRIANTONI: Prof. Nasr, pemikir seperti Hassan Hanafi menamai 
proyek
> pemikirannya dengan "Tradisi dan Pembaruan" (al-Turâts wat Tajdîd).
> Al-Jabiri mencanangkan "Kritik Nalar Arab" (Naqdul `Aqlil `Arabî), 
dan
> Arkoun melancarkan "Kritik Nalar Islam" (Naqdul `Aqlil Islâmî). 
Mengapa Anda
> tidak menamakan proyek Anda dengan nama tertentu?
> 
> NASR: Saya kurang senang dengan kata "proyek". Kata itu 
mengandaikan bahwa
> kita sedang menjalankan sebuah misi profetik tertentu (muhimmah 
rasûliyyah),
> bukan sedang melakukan aktivitas pemikiran. Saya kira, di dalam 
kalimat dan
> misi itu ada semacam hiperbola. Hassan Hanafi jelaslah seorang 
peneliti yang
> sangat terhormat, sebagaimana al-Jabiri dan Arkoun. Saya juga 
seorang
> akademisi. Di dunia intelektual, kita mestinya menunjukkan semacam
> kerendahan hati. Boleh saja kita punya banyak proyek, selain proyek 
tadi.
> Kita juga punya proyek pemikiran Muhammad Syahrur. Mestinya tugas 
peneliti
> adalah menekuni perkerjaannya sendiri, dan jangan berpretensi untuk 
menjadi
> seorang guru. Tugas seorang peneliti adalah bagaimana menyiapkan 
sebuah
> penelitian yang bermutu. Sebuah penelitian yang bermutu 
mensyaratkan kita
> untuk selalu mengembangkan instumen-instrumen penelitian dan 
metodologi yang
> kita gunakan. Kita juga perlu selalu mendengar kritik yang 
dialamatkan
> kepada kita, lantas melakukan koreksi-koreksi.
> 
> Sebagai orang yang berkonsentrasi pada bahasan tentang ilmu-ilmu Al-
qur'an,
> mungkin saya tidak paham 1000 % bidang bahasan yang saya geluti. 
Spesifikasi
> ilmu Alqur'an rupanya menuntut saya untuk melakukan penelaahan yang
> ekstensif terhadap pelbagai bidang lain dalam pemikiran Islam, 
seperi fikih,
> kalam, tasawwuf, sejarah, dan lainnya. Saya juga membutuhkan 
perangkat ilmu
> modern seperti hermeneutika, semiotika, dan lain-lain. Saya juga 
butuh
> wawasan tentang politik dan saya harus membacanya. Jadi saya tidak
> berpretensi untuk punya proyek mercusuar, misalnya dialog lintas 
dunia, dan
> proyek-proyek obsesif lainnya.
> 
> NOVRIANTONI: Anda tentu membaca perkembangan teori hermeneutika 
modern. Tapi
> kita jarang menemukan kutipan literatur Barat dalam buku Anda. 
Apakah Anda
> sengaja menyembunyikannya sebagai sebuah strategi pengetahuan?
> 
> NASR: Tidak. Dalam beberapa buku, saya mencantumkan rujukan-rujukan 
itu.
> Saya mengutip Gadamer dan lain-lain. Ketika saya mengutip seorang 
yang
> populer, saya mesti meyebutnya. Tapi banyak dari buah pikiran mereka
> tersebut yang sudah saya baca, lantas bermetamorfosa dalam diri 
saya,
> sehingga sulit bagi saya untuk menisbatkannya pada seseorang. 
Misalnya, saya
> menemukan sebuah istilah, lalu saya terangkan dengan bahasa saya 
sendiri,
> sehingga sulit bagi saya untuk menisbatkannya pada orang lain. Saya 
juga
> tidak ingin buku saya terlalu dipenuhi istilah-istilah teknis dan
> kutipan-kutipan yang tidak perlu. Mungkin banyak orang bangga ketika
> menggunakan pelbagai istilah teknis ilmiah yang dikutip dari mana-
mana. Tapi
> saya tidak suka itu, dan berusaha sekuat tenaga mengungkapankan 
istilah itu
> dengan bahasa saya, tanpa mengabaikan gagasan dasar dari konsep 
tersebut.
> Kadang-kadang gagasan dasar itu sudah menjadi seperti gagasan saya 
sendiri,
> dan saya tidak tahu akarnya dari mana: Gadamer, Paul Ricour, al-
Jurjani,
> atau dari mana. Nah, pikiran-pikiran Gadamer, Ricour atau al-
Jurjani sudah
> seperti pikiran saya sendiri saking seringnya saya menyebut mereka 
ketika
> mengajar.
> 
> Saya tidak memungkiri keterpengaruhan diri saya oleh pemikir-
pemikir lain.
> Tapi keterpengaruhan itu bukan keterpengaruhan yang harfiah. Saya 
membaca
> mereka secara tuntas dan bahkan mengajarkannya secara berulang-
ulang. Tapi
> untuk mengutipnya lagi, saya terkadang merasannya tidak lagi 
bermakna. Saya
> tidak perlu mengutip Edward Said, atau Chomsky yang sudah banyak 
dikutip
> orang lain, khususnya kalangan Islam.
> 
> Soal kutipan, bagi saya hanya perlu dicantumkan kalau Anda tidak 
yakin bahwa
> sebuah pemikiran tersebut benar-benar pemikiran Anda. Tentu tidak 
aib ketika
> Anda menyebut dari mana sumber pemikiran Anda, karena tidak ada 
pemikiran
> yang datang sekonyong-konyong dari ruang hampa. Tapi saya yakin, 
buku yang
> saya baca sudah seperti terkunyah. Saya misalnya, sudah membaca al-
Jurjani
> lebih dari seratus kali sembari mengajarkannya. Jadi sudah sulit 
bagi saya
> mengatakan bahwa al-Jurjani berpikir begitu, sebab saya sudah
> mengungkapkannya dengan bahasa yang sangat kontemporer. Makanya 
tidak
> mungkin lagi menyebut mana sumbernya, apalagi saya selalu membaca 
dengan
> cara yang bebas sambil mengambil sedikit petikan-petikan dan
> kutipan-kutipan.
> 
> NOVRIANTONI: Anda tentu tahu pentingnya interaksi pengetahuan dan 
kekuasaan.
> Mengapa Anda tidak berusaha menyosialisasikan gagasan-gagasan Anda 
melalui
> struktur pemerintahan seperti Thaha Husein atau Muhammad Abduh?
> 
> NASR: Masalahnya sederhana saja. Saya bersedia menjadi menteri 
dengan
> cara-cara yang demokratis dan setia menjalankan prinsip-prinsip 
demokrasi.
> Pada masa pemerintahan Partai Wafd dulu di Mesir, para menteri 
direkrut
> melalui pemilu. Sekarang problemnya, pemerintah punya ideologi yang 
tidak
> demokratis. Saya menganggap, saat ini sangat tidak mungkin untuk 
keluar dari
> kerangkeng sistem yang sudah dibuatkan sedemikian rupa oleh rezim 
penguasa.
> Saya tidak rela bekerja di bawah tekanan. Apabila ada sebentuk 
demokrasi
> dalam menjalankan tugas, tidak melulu memperturutkan titah rezim, 
saya
> mungkin mau menerima jabatan. Tapi kalau presiden menginginkan saya 
menjadi
> menteri dengan kerangka sistem sedemikiran rupa, saya akan 
terperangkap
> dalam sistem tersebut. Banyak sekali para intelektual yang sudah
> terperangkap dalam jerat rezim. Ini mungkin lain dari kasus Thaha 
Husein.
> Dia terpilih menjadi menteri dengan cara-cara yang demokratis dan 
dalam
> iklim yang relatif demoktaris.
> 
> NOVRIANTONI: Terakhir: kenapa Anda tidak menujukkan simbol-simbol 
keislaman
> dalam sehari-hari Anda?
> 
> NASR: Banyak murid saya di kampus Universitas Kairo dulunya yang 
menanyakan
> mengapa saya tidak membaca basmalah dan salawat ketika mengajar. 
Soalnya
> bukan saya menentang ungkapan itu. Saya menganggap itu semua sebagai
> ungkapan masjid, bukan di lingkungan akademik. Saya ingin 
membedakan antara
> al-jâmi` (masjid) dengan al-jâmi`ah (perguruan tinggi). Di 
perguruan tinggi,
> saya tidak perlu basa-basi dengan semua itu. Saya cukup 
menayakan "apa kabar
> kalian", "sampai di mana pemahaman kalian", dan lain-lain. Bagi 
banyak
> orang, keduanya disatukan sedemikian rupa. Bagi saya, ketika ke 
masjid,
> orang tidak sedang mencari pengetahuan, melainkan nasihat. Tapi di 
perguruan
> tinggi, orang butuh banyak pengetahuan, bukan diocehi nasihat-
nasihat
> keagamaan. Yang terjadi sekarang, perguruan tinggi-perguruan tinggi 
Islam
> mirip masjid; lebih banyak memberi nasihat daripada pengetahuan. 
Padahal
> mahasiswa mencari pengetahuan, kan!? [*]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppiindia.shyper.com
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke