http://kompas.com/kompas-cetak/0411/06/opini/1368560.htm

Sabtu, 06 November 2004

Berteologi Melawan Kemiskinan
Oleh M Subhan Setowara

"My book is a love letter to God and to the people to which I belong. Love 
remains alive, but it grows deeper and changes its manner of expression" 
(Gustavo Gutierrez).
KEMISKINAN adalah musuh agama-agama. Hal itu tidak perlu diragukan lagi 
karena memang ajaran tiap agama memuat pesan kemanusiaan yang universal. 
Namun, kenyataan yang bisa kita lihat saat ini sungguh paradoks dengan 
harapan setiap agama dunia.
World Watch Magazine edisi September-Oktober 2004 dalam sebuah berita 
berjudul "Population Beyond the Numbers" mewartakan bahwa angka kemiskinan 
telah melampaui batas kewajaran. Sebagai umat beragama, kita mestinya 
bertanya, benarkah pesan kemanusiaan agama telah hadir di muka bumi ini?
Memang kemiskinan telah menjadi musuh abadi dalam sejarah manusia. Bisa 
dikatakan, tidak ada peradaban yang benar-benar steril dari kemiskinan, 
ketidakadilan, penindasan, peperangan, dan ragam praktik tidak manusiawi 
yang ternyata juga dilakukan oleh manusia. Manusia memang telah membunuh 
kemanusiaan.
Dewan Uskup Amerika Latin ketika bertemu dalam American Episcopal Conference 
(Consejo Episcopal Latino Americano/CELAM) pada 1968 di Medellin dalam 
mendiskusikan makna Konsili Vatikan II bagi Amerika Latin pernah 
menghasilkan sebuah pernyataan: "A deafening cry pours from the throats of 
millions of men, asking their pastors for a liberation that reaches them 
from nowhere else." Betapa agama memang benar-benar dipertaruhkan tentang 
perannya dalam menuntaskan kemiskinan.
Maka evaluasi akan peran agama dan agamawan dalam merumuskan aksi 
kemanusiaan semakin penting dewasa ini. Jika agama tidak lagi melakukan 
kritik diri atas perannya selama ini, ajarannya akan usang. Sebab, masalah 
kemiskinan bukan saja persoalan sosial-ekonomi, namun juga realitas moral 
dan teologis. Penyebab terjadinya kemiskinan juga tidak tunggal, dan sering 
kali akar masalahnya tidak terungkap dengan baik.
HASIL American Episcopal Conference merumuskan bahwa ada tiga arti 
kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan nyata; karena ketidakadilan, 
manipulasi, dan kekerasan. Kedua, kemiskinan karena seseorang dianggap 
sebagai bukan manusia (non-persons); sebab ia kehilangan hak hidup serta 
kebebasan dalam menentukan pilihan. Ketiga, kemiskinan rohani; di mana 
seseorang telah kehilangan kesadaran spiritual dan rasa solidaritas akan 
sesamanya, terutama terhadap orang miskin dan mereka yang membutuhkan 
pembebasan (CELAM di Medellin 1968, On Poverty 9).
Jadi, kemiskinan bukan saja berarti defisit ekonomi atau kondisi 
termarjinalkan. Orang- orang yang mapan secara materi serta memiliki 
kebebasan penuh dalam menentukan jalan hidupnya bisa jadi miskin secara 
rohani. Ketika terjadi proses pemiskinan, penindasan, pembunuhan, 
pemarjinalan, yang sebenarnya terjadi adalah pemiskinan manusia atas 
manusia, penindasan manusia atas manusia, pembunuhan manusia atas manusia, 
dan seterusnya. Maka para penindas itu adalah orang-orang yang kaya secara 
materi namun miskin secara rohani, hampa secara spiritual.
Dengan demikian, teologi bukan saja jalan bagi manusia untuk merasakan 
kehadiran Tuhan mereka. Yang lebih penting dari itu, bagaimana manusia bisa 
memancarkan keimanan dan ketauhidan akan Tuhan melalui pembebasan terhadap 
orang- orang yang tidak dihargai kemanusiaannya. Doktrin agama-agama 
berulang kali mengajarkan umat manusia untuk menebarkan keadilan dan 
perdamaian di muka bumi.
Asghar Ali menyebutkan, dalam Islam konsep tauhid bukan saja berarti keesaan 
Tuhan, namun juga bermakna kesatuan manusia (unity of mankind). Dengan 
mengikuti analogi Ahmad Amin, Asghar menggambarkan bahwa orang yang 
memperbudak sesamanya berarti ingin menjadi Tuhan, penguasa yang merendahkan 
rakyatnya berarti ingin menjadi Tuhan, manusia yang menindas manusia lain 
berarti ingin menjadi Tuhan, padahal tiada Tuhan selain Allah (Islam dan 
Teologi Pembebasan, 2003).
Kritik terhadap paradigma beragama tidak lagi berkutat pada persoalan ajaran 
yang benar (orthodoxy), namun lebih menekankan pada tindakan yang benar 
(orthopraxis), yakni sebuah teologi dan paradigma beragama yang menekankan 
pada pembebasan dan transformasi sosial. Dalam Islam, doktrin ummatan 
wahidatan (umat yang satu) tidak perlu diperbincangkan lagi karena telah 
menjadi ajaran yang benar. Namun, doktrin itu perlu dikaji ulang dalam 
kacamata ortopraksis, sudahkah Islam menjadi umat yang satu?
Hassan Hanafi menggugat doktrin itu dengan mengemukakan bahwa umat Islam 
tidak pernah menjadi umat yang satu karena mereka selalu terbagi dalam dua 
kutub, yaitu Muslim yang kaya dan Muslim yang miskin. Bahkan pada wilayah 
yang lebih ekstrem, hingga kini masih ditemukan umat beragama yang seolah 
mendapat lisensi dari Tuhan untuk membunuh sesamanya (lisence to kill). 
Dengan demikian masih bisa kita bagi lagi menjadi Muslim penindas dan Muslim 
tertindas. Inilah yang perlu menjadi gugatan agama saat ini.
Karena itu, kehadiran paradigma beragama yang manusiawi dan tertuju pada 
praksis penyadaran, pembebasan, dan perlawanan amat kita perlukan saat ini. 
Penyadaran terhadap kaum miskin akan realitas ketertindasan dan kemiskinan 
yang menimpanya, sekaligus memberi inspirasi teologis-kemanusiaan bagi 
terjadinya pembebasan. Begitu pula perlawanan terhadap arogansi manusia yang 
selama ini jadi penindas.
SEBENARNYA kendala yang paling utama adalah moralitas manusia yang selama 
ini melakukan penindasan. Apakah mereka tidak sadar bahwa yang mereka tindas 
adalah makhluk yang juga seharusnya sederajat dengan mereka? Dalam konteks 
ini, perlawanan menjadi suatu tindakan yang niscaya dilakukan ketika sistem 
ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan agama bernilai penindasan. Menurut 
Muhammad Abduh, agama justru harus menjadi daya dobrak teologis (theological 
striking force) dalam melakukan perlawanan. Bentuk ini telah dijalankan 
melalui aksi penuh solidaritas, refleksi, dan kemartiran, misalnya oleh 
Farid Esack di Afrika Selatan, Guadalupe Carney di Honduras, komunitas 
resistensi Ixcan dan Rigoberta Menchu di Guatemala, serta Death Foretold 
dari para dosen di Universitas Amerika Tengah, El Savador.
Mengubah kesadaran spiritual menjadi instrumen perlawanan adalah sesuatu 
yang tidak bisa dihindari. Maka yang terpenting adalah bagaimana 
mengomunikasikan bahasa agama menjadi inspirasi pembebasan. Pedoman inilah 
yang selalu menjadi misi suci para nabi. Mereka tak hanya mengajarkan 
tentang aturan-aturan teologis yang baku, tapi justru yang patut diteladani 
adalah kemampuan mereka menghayati risalah ketuhanan dalam bahasa teologis 
yang bernilai transformatif dan membebaskan.
Saat ini umat Islam, misalnya, sangat sering membedakan antara misi kenabian 
dan keulamaan. Ulama seolah hanya memikirkan masalah masjid, kitab suci, dan 
ritualisme, sementara refleksi pembebasan adalah urusan kaum intelektual dan 
para aktivis pembaharuan. Padahal, ulama adalah pewaris para nabi yang juga 
harus mengemban misi pembebasan.
Para nabi adalah kaum intelektual-pendakwah (missionaries) yang tidak hanya 
sebagai intelligent and rational being, tetapi juga relational being capable 
of communion and self- gift. Kematangan berpikir para nabi juga diikuti 
dengan rasa solidaritas yang amat tinggi. Elitisme beragama telah menjadi 
misi iman yang profetis. Se- jarah nabi-nabi adalah sejarah pengorbanan 
kemanusiaan, yaitu riwayat tentang pembaharuan dari tata sosial menindas 
menuju tata sosial membebaskan. Para nabi adalah kaum pendakwah yang 
mengajak dan mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan pengorbanan 
hidup. Mereka juga adalah para intelektual yang senantiasa melakukan 
refleksi kritis atas situasi sosial di sekitarnya.
Karena itu, para intelektual dan agamawan masa kini harus mengemban misi 
profetis. Secara khusus, Ignacio Ellacuria menyebutkan bahwa peran kaum 
intelektual dewasa ini harus berpihak pada transformasi sosial serta 
bersuara bagi mereka yang tidak punya suara dan memperjuangkan hak-hak 
mereka.
Sebuah peringatan pernah datang dari Konsili Vatikan II (1962-1965) yang 
mengingatkan bahwa, "Do not let men, then, be scandalized because some 
countries with a majority of citizens who are counted as Christians have an 
abundance of wealth, whereas others are deprived of the necessities of life 
and are tormented with hunger, disease, and every kind of misery. Kini, 
sadarkah bahwa agama yang kita anut perlu mendapat kritik dan terus 
disadarkan akan realitas kemiskinan yang berhamparan di sekitarnya?
M Subhan Setowara Peneliti pada Center for Religious and Social Studies 
(ReSIST) Malang, Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke