Sekarang pun masih ada sosok seperti Setiawan Barin, yang sangat berjiwa 
sosial dan tak pernah mengharapkan pujian sebagai contoh orang Liat Kong 
yang patut dibanggakan.
----- Original Message ----- 
From: "May Teo" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "PPIINDIA" <ppiindia@yahoogroups.com>
Sent: Thursday, January 13, 2005 1:06 PM
Subject: [ppiindia] PAHLAWAN KOTA SUNGAILIAT


>
>
> PAHLAWAN KOTA SUNGAILIAT
>
> Dikarang Oleh: May Teo
>
> ============================
>
>
> S A T U
>
>
> Tidak banyak yang tahu dimana letaknya kota Sungailiat.
>
> Sungailiat adalah sebuah kota kecil di pulau Bangka yang sekarang telah 
> menjadi sebuah propinsi, dibagian ujung selatan pulau besar Sumatra.
>
> Kedua orangtuaku dilahirkan di Sungailiat, demikian juga orangtua mereka 
> dan orangtua mereka sebelumnya.
>
> Pertamakali mengunjungi Sungailiat, aku baru berusia sekitar enam tahun. 
> Pada ketika itu, aku diajak ibu melawat kesana, yang baginya berupa 
> perjalanan sentimental penuh dengan pahit getir memori, sebagaimana 
> biasanya dengan perjalanan balek kampung.
>
> Ibu menikah ketika berusia lima belas tahun, baru naik remaja. Sebuah 
> perkawinan yang dijodohkan oleh orangtua masing-masing. Suatu kebiasaan 
> yang membudaya pada masanya.
>
> Malangnya, laki laki yang dikawininya adalah seorang sadis dan pemalas. 
> Ditambah lagi dengan kesukaannya berjudi, seringkali menagih uang dari ibu 
> untuk membayar hutang dan berjudi lagi. Kalau tidak diberi, ianya berlaku 
> kasar, bahkan menjadi violent, kaki menendang, tangan menampar.
>
> Ibuku dilahirkan dalam keluarga sederhana, dalam arti kata tidak hidup 
> dalam kemewahan, tapi juga tidak merana kekurangan makanan. Lain halnya 
> dengan ayahku yang berasal dari keluarga kaya, karena ayahnya seorang 
> Kepala parit. Ayahnya ibu bekerja sebagai buruh dipertambangan timah, 
> parit panggilan bahasa lokalnya. Sedangkan ibunya berasal dari campuran 
> darah dari rumpun Melayu.
>
> Seperti juga dengan ibunya ibu, yang kami panggil Apho Chen, karena dari 
> keluarga Chen, ibuku berpakaian sarung kebaya dan rambutnya bersanggul 
> sepanjang hidupnya, sama dengan penampilan wanita Melayu lainnya.
>
> Ibu berpembawaan sangat rajin,  disamping bekerja mengurus rumah tangga 
> sehari-hari seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya, ia juga sangat kreatif, 
> belajar sendiri menjahit kebaya dan bordir sulam. Karyanya sangat indah 
> dan banyak yang menyukainya. Semua pekerjaan jahit menjahit dan menyulam 
> dilakukan pada malam hari, terkadang sampai larut malam. Dari penjualan 
> bahan jahitannya, sedikit demi sedikit ibu dapat menabung, dan uang 
> simpanannya dibelikan gelang kalung emas. Barang kemas itu berupa  hasil 
> jerih payah usahanya sendiri. Dengan rasa bangga, barang-barang itu 
> dibalutnya dengan kain sutera, lalu disimpan dibagian bawah laci meja yang 
> berkunci.
>
> Pada suatu hari ibu membuka laci itu untuk menambah koleksi barang kemas 
> yang baru dibelinya dikedai emas. Alangkah terkejutnya ia ketika didapati 
> bungkusan sutera itu sudah tidak berisi lagi. Hilang. Seluruh usaha yang 
> dilakukannya dengan susah payah hilang tak berbekas.
>
> Pertengkaran pun terjadi. Ibu menuduh suaminya mengambil barang 
> simpanannya tanpa permisi. Mencuri itu, kata ibu dengan penuh kemarahan. 
> Sebaliknya sang suami dengan galak mencela ianya menyembunyikan  harta 
> benda yang menurutnya adalah haknya juga. Seperti biasa, pertengkaran 
> mulut dengan lekas menjadi tumbukkan yang bertubi-tubi. Babak belur badan 
> ibu ditonjok dan ditendang.
>
> Kejadian tersebut diatas berupa suatu nisan pengukur jalan, dimana ibu 
> mengambil keputusan untuk keluar dari perkawinan yang berupa rumah siksa 
> orang tahanan.
>
> Ibu melarikan diri ke Jakarta membawa dua orang anaknya dari perkawainan 
> itu. Disitu ia bertemu dengan ayahku, yang juga sudah dikenalnya dari 
> Sungailiat.   Ketika itu kebetulan ayahku juga berstatus duda. Berdua 
> mereka saling membantu dan memberi perlindungan dalam kehidupan 
> sehari-hari.  Akhirnya mereka mendirikan rumah tangga bersama. Apakah 
> pertemuan mereka di Jakarta sudah direncanakan ketika mereka masih berdiam 
> di Sungailiat, atau memang kebetulan ketemu lagi karena diatur oleh 
> perjalanan nasib, aku kurang tahu.
>
> Tapi betapa pun gagah dan beraninya ibu menantang  budaya masyarakat, 
> terlebih pula pandangan picik masyarakat kota kecil seperti Sungailiat, 
> dengan membebaskan diri dari cengkraman perkawinan yang ganas dan penuh 
> dengan tindasan, namun dalam hati kecilnya terasa juga sesuatu ganjelan 
> yang perlu dihadapinya. Maka setelah suaminya yang pertama meninggal, ia 
> pun berkepentingan pulang mengunjungi Sungailiat, untuk bertemu kembali 
> dengan sanak keluarga. Ibu kembali kekampung halamannya untuk menutup 
> lembaran buku sejarah hidupnya di Sungailiat yang terpaksa ditinggalkannya 
> dengan tergesa-gesa beberapa tahun yang lalu.
>
> Aku, sebagai anak sulung dari perkawinannya yang kedua, diajak serta dalam 
> ziarah kunjungan itu.
>
>
> D U A
>
> Kunjungan itu berupa sebuah pengalaman yang tak terlupakan.
>
> Itulah pertama kalinya aku bertatap muka dengan rumpun keluargaku sendiri. 
> Sebelumnya, karena dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta, aku belum pernah 
> berhubungan dengan sanak keluarga jauh, selain kakak dan adik.
>
> Di Sungailiat, ternyata seluruh  warga kampung dan kota terdiri dari sanak 
> keluargaku! Mereka semuanya  terjalin hubungan keluarga dengan diriku 
> melalui satu dan lain sisi, yang katanya berasal dari seorang buyut yang 
> sama. Waah, ini berupa suatu kesadaran yang luar biasa menakjubkan. Tapi 
> karena ketika itu aku masih kecil sangat, kenyataan itu belum dapat aku 
> insyafi  dalam suatu persepsi yang luas mendalam. Aku hanya dapat 
> merasakannya sebagai sesuatu yang luar biasa, terheran-heran, bahkan 
> sangat membingungkan. Rata-rata semua orang disekeliling tahu aku siapa, 
> sedikitnya mereka tahu aku ini anak siapa, cucunya siapa, keponakan siapa, 
> saudara sepupunya siapa dan seterusnya. Sedangkan aku sama sekali tidak 
> tahu menahu mereka itu siapa. Seakan berada dalam sebuah ruangan bercermin 
> dua hala, orang didalam tidak dapat melihat keluar, tapi yang diluar dapat 
> melihat kedalam. Dan aku berada didalam ruang itu.
>
> Namun aku diperlakukan dengan sangat ramah, sekalipun terkadang merasa 
> dibuat sebagai tontonan. Perasaan itu sangat merisihkan jiwa 
> kanak-kanakku.
>
> Kami tinggal dirumah kakaknya ibuku. Sebuah rumah sederhana dengan 
> pekarangan yang sangat luas. Dibelakang rumah ada perkebunan karet, berupa 
> harta warisan dari kakek moyang yang dapat digarap hasilnya. Sehabis 
> hujan, banyak sekali jamur yang bertumbuhan disekitar kaki pohon-pohon 
> karet. Jamur itu kulat panggilan bahasa lokalnya, sangat disukai oleh 
> masyarakat setempat, terkenal dengan lempa kulat,  masakan khas Bangka. 
> Disamping itu, ada lagi makanan khas setempat yang terkenal, wak wak 
> panggilannya. Wak wak itu sebenarnya adalah cacing laut, panjang sekitar 
> satu setengah meter yang setelah dikeringkan, lalu digoreng. Rasanya sedap 
> seperti kerupuk.
>
> Disebelah kanan rumah, berjarak sekitar seratus meter, terdapat sebuah 
> aliran mata air. Kami anak-anak sering mandi bermain air disitu. Airnya 
> bening sejuk, di kelilingi oleh pepohonan dikedua belah tebing. Seringkali 
> sekumpulan ikan-ikan kecil datang berenang dipinggir tebing yang penuh 
> dengan lumut, mungkin mencari makanan. Sebagai anak kota Jakarta yang 
> hanya tahu kolam renang  Manggarai dengan air yang berbau obat kimia dan 
> pedih mata berenang lama disitu, adanya kolam alam disamping rumah itu 
> terasa sangat berkesan sekali.
>
> Suatu hari, seorang kemenakan datang mencariku, ia mengatakan ada sesuatu 
> yang ingin ia perlihatkan. " Mari ikut aku," serunya. Aku bersama dengan 
> beberapa anak-anak lainnya yang sebaya usia, beramai mengikutinya. Kami 
> dibawanya kebagian belakang rumah. Disitu terdapat sebuah kolam ikan 
> berukuran sekitar dua meter, lumut hijau tumbuh disekeliling tembok kolam 
> itu. Airnya kumuh butek. Disitu kemenakanku itu berhenti. Kami pun turut 
> berhenti. Lalu ia menurunkan lengan kirinya kedalam kolam tersebut. Dengan 
> cepat dikeluarkannya lagi lengannya. Nampak seekor ikan belut panjang 
> serupa ular  bergeliat dalam genggamannya. Melihat itu, aku terkejut tidak 
> kepalang. Mundur setapak, aku berteriak kecil. Lalu, belum lagi hilang 
> rasa terperanjat, dengan pesat, tangan kanannya mengacu sebuah parang 
> tajam, lalu dipenggalnya kepala ikan yang ketika itu masih bergelipar 
> seluruh badannya. Darah merah muncrat menyembur keluar dari bagian kepala 
> yang sudah tidak berada disitu lagi, segera disod
> orkan  bagian badan ikan yang tak berkepala itu kemulutnya,  disedot dan 
> ditelannya darah  itu mentah-mentah. Setelah itu, ia tersenyum lebar 
> sambil menggosok bekas ciciran darah disekitar mulut dengan belakang 
> tangannya. Ia berdiri bertekan pinggang, memandang kearahku dengan 
> bangganya, menunggu kata pujian dariku. Mulut menganga, mata melotot, 
> namun aku tidak mampu mengeluarkan kata sepatah pun. Pandangan gelap, 
> kepala terasa berputar, tak sadar lagi apa yang  terjadi disekeliling. Aku 
> pingsan, jatuh terbaring tak ingat orang.
>
>
>
> T I G A
>
>
> Pada masa penjajahan Belanda, pulau Bangka adalah produsen timah yang 
> terbesar didunia.
>
> Sejak abad ke delapan belas, telah diketahui adanya kandungan timah di 
> Bangka, yang kemudian ditemukan juga mineral itu di daerah kepulauan 
> sekitarnya, seperti Belitung, Singkep, Karimun dan Kundur. Pada tahun 
> seribu sembilan ratus dua puluh, pemerintah Belanda mulai melakukan 
> kegiatan penambangan timah sebagai suatu operasi industri. Pada masa itu, 
> demi menopang industry pertambangan yang demikian besar, diperlukan 
> tunjangan tenaga kerja yang memadai. Untuk kepentingan ini, pemerintah 
> Belanda telah mendatangkan banyak tenaga kerja kasar dari Tiongkok 
> daratan. Permintaan untuk pekerja-pekerja kuli ini ditangani oleh sebagian 
> kontraktor orang Tionghua yang bekerjasama dengan pertambangan timah 
> setempat.
>
> Para pekerja terdiri dari petani miskin yang menjadi lebih sengsara lagi 
> hidupnya dengan adanya musim kemarau yang berkepanjangan, diselingi dengan 
> terjadinya air bah yang melanda. Rakyat disekitar pedesaan berduyun-duyun 
> datang kekota, dengan harapan mendapat pekerjaan ataupun sedekah. 
> Akhirnya, tidak sedikit yang terperangkap dalam dunia kriminal. Ini 
> terjadi pada pemerintahan  kerajaan Qing Dynasty, dimana para elite yang 
> memegang kekuasaan hanya mencurahkan perhatian demi menumpuk kekayaan 
> pribadinya dan mengokohkan posisi dengan segala daya upaya, tidak 
> mempedulikan nasib rakyat jelata yang terlantar. Korupsi merajarela dan 
> kemiskinan menjalar luas. Tidak ada bekal makanan, rakyat miskin 
> dipedesaan terpaksa makan kulit pohon kayu dan sebagian menjual anak-anak 
> mereka kepada keluarga orang berada demi  menyambung nyawa.
>
> Dalam keadaan buruk seperti ini, para petani miskin dengan rela bersedia 
> meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di Nan Yang,  yang berarti 
> daerah Lautan Selatan, termasuk Indonesia. Bagi mereka, Nan Yang dengan 
> iklim cuaca lunak ramah, dan adanya pekerjaan yang tersedia, berupa satu 
> satunya kesempatan hidup yang terbuka. Mereka bersedia bekerja berat, 
> membanting tulang demi sesuap nasi, juga dengan harapan pada suatu hari 
> dapat menabung, dan mengirim uang kepada sanak keluarganya dikampung. 
> Mereka sama sekali tidak mampu membeayai  ongkos perjalanan, maka para 
> calo kontraktor buruh bersedia membayar ongkos beayanya atas perjanjian 
> mereka harus bekerja pada majikan masing-masing untuk seumur hidup. 
> Bayangkan, alangkah tidak manusiawinya  nasib yang mereka hadapi.  Demi 
> semangkok nasi, mereka terpaksa menjual kebebasan diri sendiri untuk 
> sepanjang hayatnya!
>
> Di Bangka, mereka dipekerjakan sebagai kuli kasar di pertambangan timah di 
> Sungailiat dan perkebunan lada di Mentok. Sebagai pendatang baru, secara 
> keseluruhan, mereka disebut Sin Khe  yang dalam bahasa Tionghua berarti 
> Pendatang Baru. Ini demi membedakannya dengan komunitas Tionghua yang 
> lahir dan sudah berdiam lama beberapa generasi ditempat, biasanya disebut 
> Tionghua Peranakan.
>
> Para pekerja Sin Khe ini diperlakukan sangat kejam oleh Kepala parit di 
> pertambangan dan juga di perkebunan dimana mereka bekerja. Salah sedikit, 
> mereka dimaki, ditendang, bisa juga diikat, ditelanjangi dan disabet 
> dengan sambuk yang terbuat dari sabut kelapa berjarot hingga darah 
> mengalir dari luka menganga. Teriakan meratap menjerit kesakitan dari para 
> buruh pertambangan yang disiksa sering terdengar memecah malam kelam. Pilu 
> hati barang siapa pun mendengarnya. Sebagai manusia yang sudah hilang 
> kebebasan, mereka diperlakukan lebih parah daripada binatang peliharaan.
>
> Dalam  kedudukan social,  masyarakat Sin Khe juga dipandang rendah oleh 
> masyarakat Tionghua Peranakan yang sudah lama berdiam dilokasi. Jadi 
> diantara komunitas Tionghua, sekali pun satu ras satu bangsa,  juga 
> terjadi perbedaan status. Orangtua Tionghua Peranakan misalnya, tidak akan 
> merestukan anaknya kawin dengan anak dari keluarga Sin Khe.  Maka, yang 
> namanya diskriminasi itu tidak hanya terdapat antara ras dan agama yang 
> berlainan, tapi juga terdapat dalam ras yang sama tapi berlainan jenjang 
> status social dan ekonomi. Lain dengan air yang selalu mengalir kebawah, 
> manusia selalu menjangkau keatas.
>
> Zaman berputar, manusia pun berubah, pasang surut silang berganti, dan 
> kedudukan ekonomi masyarakat Sin Khe berangsur baik. Adanya latar belakang 
> pahit getir pengalaman hidup, bagaikan baja yang ditempa barak api 
> kehidupan  telah melatih mereka berkemauan  keras untuk maju, Ditambah 
> dengan kebiasaan irit dan rajin, ciri budaya yang dibawanya dari tanah 
> leluhur. Kebiasaan yang juga berhubungan dengan hidup dialam empat musim, 
> dimana manusia perlu senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan 
> lingkungan.  Kepandaian dan ketekunan mereka berusaha jauh melebihi 
> masyarakat Tionghua Peranakan pada umumnya. Dengan perubahan yang terjadi, 
> jenjang social ekonomi mereka dengan sendirinya menjulak tinggi, pandangan 
> sempit diskriminasi  terhadap mereka juga jadi mencair. Dan kawin campur 
> antara kedua rumpun masyarakat pun sering terjadi.
>
>
> E M P A T
>
> Pada zaman revolusi, banyak masyarakat Tionghua asal Bangka yang turut 
> serta barisan nasional menggempur kolonial Belanda bersama putera daerah 
> lainnya dalam mendirikan dan melindungi keutuhan Republik Indonesia. Satu 
> antara sosok yang sangat terkenal adalah Tony Wen atau Boen Kin To nama 
> aslinya. Ia dilahirkan dalam keluarga berada. Ayahnya seorang Kepala parit 
> pertambangan timah di Belitung. Ia disekolahkan ke Tiongkok oleh 
> orangtuanya. Sekembalinya ke Indonesia, mengajar sebagai guru olah raga di 
> Sekolah Menengah Pak Hwa di Jakarta, sebuah sekolah yang didirikan atas 
> sumbangan dana dari para pengusaha Tionghoa setempat pada ketika itu. 
> Sekolah ini berhaluan nasionalis. Pada tahun-tahun seterusnya, dengan 
> terjadinya perubahan besar besaran dengan  terbentuknya Republik  Rakyat 
> Tiongkok ( RRT ), dengan segala perubahan politiknya, Sekolah Pak Hwa yang 
> berhaluan nasionalis cenderung mengarah ke Taiwan,  sedangkan Sekolah 
> Menengah Pah Chung, yang juga didirikan atas sumbangan
> para pengusaha masyarakat Tionghoa setempat, mengarah kehaluan kiri, 
> mendukung RRT. Kedua sekolah itu berlawanan posisi dan haluan.  Ada 
> pendukung massanya masing-masing, termasuk pendukung koranya tersendiri. 
> Sering sekali mengadakan polemik dimedia, saling mengkritik bahkan mencaci 
> maki menurut pandangannya masing-masing.
>
> Kembali kepada cerita Tony Wen, disamping kegemarannya dengan dunia olah 
> raga, dimana ianya banyak mengambil peran dalam berbagai organisasi yang 
> berhubungan, ia juga seorang pemainan sepak bola nasional yang sangat 
> handal. Gesit dan cergas dalam pertandingan. Perawakannya gagah ganteng 
> penampilannya rapih, tata bahasanya ramah dan teratur mencerminkan latar 
> orang terpelajar, ditambah dengan kumis ala Errol Flynn bintang filem 
> Hollywood tenar, dan senyum murah yang menggiurkan, Tony Wen berupa sosok 
> nasional yang sangat digemari ramai. Ia banyak menyibukkan diri dalam 
> menggalang masyarakat Tionghoa menunjang kegiatan revolusi dibawah bendera 
> nasionalis bimbingan Bung Karno. Pada tahun 1952 ia diterima menjadi 
> anggota PNI, 1954 duduk di Kabinet Interim Demokrasi dan pada tahun 1955 
> pernah duduk di Kabinet Ali Sastroamidjojo. Ketika ia meninggal pada tahun 
> 1956, banyak sekali sanak saudara dan teman seperjoangan datang memberi 
> kehormatan yang terakhir kerumahnya di Jalan Jawa,
> Jakarta.
>
> Namun, disamping beberapa sosok high profile elit politik Tionghoa yang 
> sangat terkenal pada ketika itu, masih banyak lagi putera Sungailiat yang 
> menyatukan diri dengan perjuangan kemerdekaan, yang pengalamannya tidak 
> banyak diketahui umum, selain sanak keluarga terdekat. Karena mereka 
> bekerja dibawah tanah jalur  rahasia clandestine, tidak terlihat oleh 
> masyarakat ramai. Namun pengabdian mereka kepada negara tidak kurang 
> pentingnya daripada mereka yang mendapat kesan glamour dipandangan umum. 
> Nama-nama seperti Liong Min Loy, Yap Foeng Boei, Tjoeng Kioen Lioeng, Lie 
> Kwet Tjin dan banyak lagi lainnya,  berupa serangkaian putera asal 
> Sungailiat dan Bangka lainnya yang pernah bekerjasama, bersatu dengan 
> pemerintahan Republik di Yogyakarta.
>
> Dalam menunaikan tugas, mereka sering  mengadakan perjalanan  ke Surabaya 
> yang pada ketika itu juga berada dibawah kekuasaan Republik. Dimana 
> keadaan mengizinkan, perjalanan dilakukan dengan kereta api, namun demi 
> mengalihkan perhatian dan juga penggeledahan sepanjang jalan, sering kali 
> perlu berhenti di kota-kota kecil, dan melanjutkan perjalanan dengan jalan 
> kaki atau naik sepeda, melalui desa dan sawah ladang pada malam hari, 
> berselubung sehelai sarung menahan dingin. Sebagian dari mereka ada yang 
> diberi pangkat kapten oleh kekuasaan militer pada waktu itu. Dan untuk 
> melindungi diri dari serangan mata-mata Belanda yang banyak berkeliaran, 
> mereka juga membawa senjata api berupa revolver dalam menjalankan tugasnya 
> yang berbahaya.
>
> Tugas pokok utama yang diemban adalah melakukan barter trade dengan 
> Singapura, yang ketika itu masih dibawah pemerintahan Inggeris. Pengadaan 
> logistik perang berupa misi terpenting dalam tugas yang diemban. Mereka 
> membawa barang komoditi berupa biji timah dan merica ke Singapura, untuk 
> dibarter dengan senjata api, juga obat obatan yang sangat diperlukan. Dan 
> setelah itu, kembali lagi ke tanah air menyerahkan bahan barter tersebut 
> kepada pihak tentara Indonesia yang sangat membutuhkannya dalam operasi 
> militer melawan musuh.
>
> Dalam menjalankan tugas ke Singapura, mereka menggunakan perahu motor 
> kecil dengan single propeller engine, menantang ombak laut yang ganas 
> menyembur, melintangi Selat Malaka, menembus rintangan blokade Belanda. 
> Sekali-kali menyerok air laut yang menyusup tergenang dilantai perahu. 
> Mereka berlayar dalam pelukan malam gelap gulita yang dipatroli ketat oleh 
> pasukan musuh yang siap sedia menyapunya dengan senapang mesin. Namun 
> dengan hati teguh badan bergigil kedinginan, mereka telusuri lautan lepas, 
> dibawah kelipan bintang dilangit, bertarung dengan nasib, bertaruh nyawa 
> dibadan.
>
> Dari semua kenyataan ini,  tidak dapat diingkari lagi adanya komitment 
> yang tinggi dari  masyarakat Tionghoa umumnya dalam perjoangan kemerdekaan 
> melawan jajahan Belanda. Dalam kapasitas masing-masing, mereka telah 
> menjinjing lengan mengangkat senjata berjoang bersama dengan tentara 
> Republik Indonesia dan putera daerah lainnya.
>
> Dibawah porak-poranda suasana perang, banyak lagi pengalaman gagah berani 
> dari masyarakat Tionghoa pada masa itu yang tidak tercatat dalam arsip 
> negara. Tapi tentunya tidak menutup kenyataan adanya keterlibatan dan 
> pengorbanan masyarakat keturunan Tionghoa dalam perjoangan merebut 
> kemerdekaan. Keterlibatan yang menyatukan seluruh warga Indonesia dibawah 
> panji nasional: Bhineka Tunggal Ika, dan Soempah Pemoeda: Satu Nusa, Satu 
> Bangsa, Satu Bahasa.
>
> Direkam tidaknya dalam arsip sejarah, pengalaman perjoangan yang tertera 
> dalam tuturan diatas, bagiku, mereka adalah pahlawan nasional sejati 
> sepanjang masa dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sungailiat kota 
> pahlawan, dimana orangtuaku dan orangtua mereka sebelumnya dilahirkan dan 
> mengabdi.
>
> Pahlawan Sungailiat, jasamu tercantum diantara kelipan bintang dilangit, 
> terpahat diantara gemuruh ombak lautan lepas, tersebar diantara sawah 
> ladang meluas. Terkikir dikenangan lagu Indonesia Merdeka.
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>
>
>
>
>
> ***************************************************************************
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia 
> yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
> ***************************************************************************
> __________________________________________________________________________
> Mohon Perhatian:
>
> 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
> 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru;
> 4. Forum IT PPI-India: http://www.ppiindia.shyper.com/itforum/
> 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
>
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
> 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke