http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/18/opini/1504210.htm

 Selasa, 18 Januari 2005

Aceh Tutup Lagi
Oleh Nono Anwar Makarim

PENGUSIRAN militer asing serta pendaftaran dan pembatasan gerak relawan 
asing hanya sebagian kecil dilatarbelakangi nasionalisme. Ia didorong oleh 
xenofobia, aspek nasionalisme yang paling buruk dan paling sering digunakan 
elite politik untuk kepentingan hegemoninya.
Konon, penduduk setiap kepulauan cenderung melihat semuanya "ke dalam" 
karena takut pada apa yang ada "di luar". Pada kita, xenofobia seakan 
diperkuat dengan konfirmasi oleh pengalaman revolusi dan dasawarsa 1950-an. 
Kemerdekaan Indonesia mau ditumpas secara militer oleh Nederland dan 
disubversi oleh Amerika Serikat. Pada dasawarsa 1940-an, ada serangan APRA 
di Bandung di bawah pimpinan Raymond Westerling. Pada tahun-tahun 1940-an, 
ada niat Belanda memecah belah Indonesia dengan federasi semu. Pada ketika 
itu, ada pembantaian orang Indonesia di Sulawesi Selatan dan kejahatan 
perang militer Belanda dalam dua aksi penumpasan kemerdekaan kita.
Lalu, pada tahun-tahun 1950-an, ada kapal-kapal selam Amerika "nongol" di 
pantai Indonesia, ada CIA yang membantu pemberontakan Sumatera dan Sulawesi 
terhadap Jakarta. Namun, kadang kala saya tergoda kesangsian apakah elite 
Indonesia pada awal abad ke-21 ini masih jujur terpasung ingatan setengah 
abad yang lalu. Kemudian, pikiran saya juga "diracuni" pengetahuan bahwa 
ingatan kolektif adalah hasil produksi elite yang berkuasa.
Naluri anti-asing merupakan sebab- musabab kecil mengapa unsur asing yang 
berbakti di Aceh harus pulang paling lambat bulan Maret 2005. Sebagian 
besar, penutupan Aceh lebih didorong oleh pertimbangan yang lebih "praktis". 
Hari Rabu pekan lalu, Newshour berwawancara dengan, antara lain, dua guru 
besar Amerika yang dikenal sebagai ahli tentang politik Indonesia. Profesor 
Liddle dan Profesor Winters pada umumnya memberi kesaksian tentang kelaziman 
nasionalisme Indonesia.
Akan tetapi, lebih penting lagi, mereka juga merinci alasan "praktis" 
militer Indonesia untuk menyembunyikan Aceh dari mata dunia. Liddle-Winters 
mengingatkan bahwa Aceh sudah puluhan tahun dijadikan medan operasi militer 
Indonesia. Daerah operasi militer di mana pun di dunia identik dengan 
pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan serius, dan pembantaian penduduk 
sipil. Mata dunia tidak boleh melihat kejadian buruk itu di Aceh. Alasan 
melindungi keselamatan relawan terhadap Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan lain 
sebagainya dianggap omong kosong. GAM, yang sudah kembang kempis dihajar 
Tentara Nasional Indonesia, masih sempat mengegolkan kemenangan public 
relations dengan menawarkan gencatan senjata demi keselamatan Aceh.
DUO Liddle-Winters dalam wawancara tersebut juga menyoroti aspek lebih buruk 
lagi dalam sepak terjang militer Indonesia. Didorong oleh nasib kurang duit, 
militer Indonesia terperosok dalam kebiasaan berdagang, mencatut, kerja 
sampingan, menyelundup, dan sering kali melakukan kejahatan. Untung bahasa 
Indonesia menyediakan kata penolong yang mujarab bagi aib kelompok: oknum. 
Yang mencetak uang palsu oknum, yang menyelundup kayu oknum, yang menjadi 
pembunuh bayaran oknum. Bodyguard Tauké oknum. Yang melakukan pembunuhan 
berlatar belakang politik juga oknum-oknum.
Oknumisasi penyelewengan disejajarkan pada kelompok-kelompok lain dalam 
masyarakat oleh para actor intelectualis pelembagaan oknum. Mereka bertanya, 
apakah adanya beberapa cukong dan konglomerat penipu memberi hak moral 
kepada kita untuk menyamaratakan kelompok etnik mereka sebagai penjahat? 
Apakah adanya beberapa gelintir preman di kalangan partai politik lalu 
membuat partai politik menjadi kumpulan preman?
Ada sesuatu yang salah dalam argumentasi semacam ini. Yang sengaja 
dikesampingkan dalam pembelaan oknumisasi justru unsur dasar yang membedakan 
organisasi militer dari kelompok masyarakat atau organisasi lain. Cukong dan 
konglomerat tidak punya hierarki pangkat, subordinasi bawahan pada atasan, 
ataupun komandan.
Tidak demikian dengan organisasi militer. Oknum merupakan bawahan dari 
Komandan Oknum. Dalam hukum perdata kita, Oknum Atasan bertanggung jawab 
atas kelakuan Oknum Bawahan. Oknumisasi tidak memaafkan Tentara Nasional 
Indonesia. Ia meningkatkan kecurigaan masyarakat terhadap sepak terjang 
tentaranya.
Banyak pihak yang menganggap tentara sebagai sumber huru-hara di Indonesia 
dan pencetus hampir semua pemberontakan. Ada baiknya kita renungkan anggapan 
itu dan mencocokkannya dengan para oknum yang berperan dalam hampir setiap 
huru-hara di Nusantara. Barangkali setelah itu bisa muncul di markas-markas 
militer suatu gambaran yang seimbang tentang kecemasan lembaga swadaya 
masyarakat akan penyembunyian Serambi Mekkah.
DALAM drama katastrofi Aceh juga muncul suatu gambar bencana nasional yang 
dikolektifkan, kemudian dibonsai. Suatu bencana selalu menimpa orang pada 
diri pribadinya yang paling hakiki. Kehilangan seorang anak, seorang ayah, 
seluruh keluarga meluluhkan hati sanubari "saya" pribadi, bukan hati 
sanubari "kau", bukan "mereka", bukan "kita". Barisan layar kenang-kenangan 
tentang orang-orang yang sudah pergi adalah barisan "saya" yang amat 
pribadi. ""Kau, mereka, dan kita" paling banter bisa berempati dan turut 
berduka.
Kolektivisasi sesuatu yang bersifat hakikat pribadi selalu politis. Kalau 
sifat pribadi sudah dipolitikkan, pertimbangan kekuasaanlah yang mulai 
bermain. Dalam permainan kekuasaan itu, tragis perseorangan niscaya 
tenggelam dan disubordinasikan pada kepentingan lain. Kesengsaraan Aceh 
kemudian dibonsai, dibuat menjadi miniatur, disingkirkan oleh pertimbangan 
lain yang bersifat kolektif. Saya merasa nasib yatim piatu Aceh 
disubordinasikan pada kepentingan lain ketika orang berkampanye agar yatim 
piatu Aceh diadopsi keluarga Muslim supaya tidak dimurtadkan oleh orang yang 
beragama lain.
Terlepas dari kekentalan tasmim orang Aceh pada kehidupan islami dan 
keimanan mereka pada Islam, pernyataan- pernyataan seperti itu tidak ramah 
terhadap uluran tangan dunia. Pernyataan semacam itu menyeret nomenklatur 
perang peradaban ke dalam taferil kesengsaraan yang paling hakiki dan 
mensubordinasikan kondisi kemanusiaan yatim piatu pada kepentingan kolektif. 
Untung tak ada pernyataan agar menerima bantuan kemanusiaan hanya dari 
Muslim.
Di Indonesia, nasib yatim piatu buruk. Jauh sebelum heboh perdagangan anak, 
lembaga adopsi telah dijadikan momok di Indonesia. Pada tahun 1960-an, 
beredar cerita bahwa anak Indonesia yang diadopsi orang Barat akan dilatih 
militer untuk kemudian dikirim kembali ke Indonesia dan melawan pemerintah 
Republik Indonesia yang sah. Tidak mustahil yang beredar sekarang adalah 
cerita horor bahwa anak Aceh akan diadopsi pendeta 
Evangelis-Fundamentalis-Baptis Selatan, akan dikristenkan dan dikirim 
kembali ke Aceh untuk mengkristenkan Aceh. Kumpulan dongeng buruk ini seakan 
dibenarkan oleh pengakuan seorang misionaris pembohong yang mengaku sudah 
mengadopsi 300 anak yatim dari Aceh. Semua ini dilatarbelakangi kecemasan 
berdasar akan maraknya perdagangan anak dan kanibalisasi tubuh manusia untuk 
tujuan pengobatan komersial. Iklim psikis lingkungan anak yatim piatu di 
Aceh tidak kondusif bagi pengentasan duka mereka secara tuntas.
PENGALAMAN saya dengan adopsi oleh orang Amerika baru tiga kali. Darto dan 
Harti, dua bocah gembel dari bawah jembatan penyeberangan, ditinggal lari 
ibunya dan ditinggal mati bapaknya. Mereka diadopsi pasangan suami-istri 
Amerika. Darto sudah menginjak tahun ketiga di suatu universitas terkenal di 
Texas. Kini ia sedang bekerja part-time sebagai penyelamat orang berenang. 
Ia menabung untuk bisa membeli mobil. Ia sempat diketahui mengidap ADD 
(attention deficit disorder), suatu kelainan dalam daya tahan fokus 
perhatiannya. Darto dimasukkan sekolah khusus, dan kini sudah "normal" 
kembali. Harti sudah sarjana dan bekerja di suatu perusahaan farmasi di 
suatu kota kecil, juga di Texas.
Menyaksikan mereka begitu bahagia, saya lupa bertanya tentang agama mereka. 
Ketika saya susulkan pertanyaan, "Ini nanti agamanya apa?", dua orangtua 
adopsi itu saling memandang terperanjat: "Oh, my God! We haven't thought 
about it..., we'll just leave it to her when she grows up." ("Ya, Allah; kok 
belum terpikir ya soal itu. Terserah anak kami inilah bila ia menjadi dewasa 
kelak.")
Aceh ditutup lagi. Tujuannya berada di luar penderitaan saudara-saudara kita 
di sana. Saya berdoa agar anak-anak yang kehilangan orangtua di seluruh 
dunia bisa berbahagia seperti Darto dan Harti.
Nono Anwar Makarim Ketua Badan Pelaksana Yayasan Aksara
Search :







Berita Lainnya :
ˇTAJUK RENCANA
ˇREDAKSI YTH
ˇAceh Tutup Lagi
ˇSeratus Hari SBY-Kalla
ˇInvestasi Swasta dan Infrastruktur
ˇPOJOK









 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to