Menanti ”Judicial Review” APBN


       
     
      
     

--------------------------------------------------------------------------
     
      Senin, 04 April  2005
     O P I N I No.  4965
     
              
           
           Halaman Utama 
           Tajuk Rencana 
           Nasional 
           Ekonomi 
           Uang & Efek 
           Jabotabek 
           Nusantara 
           Luar Negeri 
           Olah Raga 
           Iptek 
           Hiburan 
           Feature 
           Mandiri 
           Ritel 
           Hobi 
           Wisata 
           Eureka 
           Kesehatan 
           Cafe & Resto 
           Hotel & Resor 
           Asuransi 
           Otomotif 
           Properti 
           Promarketing 
           Budaya 
           CEO 
           Opini 
           Foto 
           Karikatur 
           Komentar Anda 
           Tentang SH 
      
            
           Menanti ”Judicial Review” APBN



            Oleh
            Sulistiono Kertawacana

            Banyak kalangan kecewa atas sikap pemerintah yang tidak menyambut 
baik tawaran debt moratorium (penundaan pembayaran utang) pascabencana tsunami 
di Aceh. Padahal gagasan itu diluncurkan Kanselir Jerman Gerhard Schroeder 
selaku salah satu negara kreditor dan didukung Inggris, Italia, Jepang, Kanada, 
dan Prancis. Kita mungkin gusar atas sikap pemerintah RI yang tak melakukan 
upaya sama sekali terhadap peluang emas senilai minimal Rp 20 triliun sampai Rp 
25 triliun pada tahun 2005 itu. 
            Awalnya pemerintah ragu meminta debt moratorium pada negara 
kreditor dengan alasan khawatir akan menurunkan peringkat utang Indonesia 
sebagaimana dinyatakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala 
Bappenas Sri Mulyani. Pendapat ini disangkal lembaga pemeringkat utang 
internasional yang menyatakan permohonan debt moratorium RI tidak akan 
menurunkan peringkat utangnya.
            Komentar yang semakin mengukuhkan Indonesia tidak memerlukan 
moratorium lebih tegas dikemukakan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie. 
Menurutnya, Indonesia tidak butuh moratorium utang karena kondisi anggaran 
cukup aman dengan adanya komitmen pinjaman dan hibah dari CGI senilai US$ 5,1 
miliar. Dan ternyata dampak ekonomi dari tsunami bisa diantisipasi (Bisnis 
Indonesia 7/2/05). Benarkah demikian? Mari kita teliti alokasi APBN 2005.
            Dalam APBN tahun 2005 dialokasikan untuk pembayaran utang berjumlah 
Rp 110,8 triliun (25,% dari belanja negara yang jumlahnya Rp 441,61 triliun) 
atau 29,33% dari pendapatan negara. 

            Pendidikan dan Kesehatan 
            Pembayaran utang terdiri dari (i) bunga utang dalam negeri Rp 38,84 
triliun, (ii) bunga utang luar negeri Rp 25,14 triliun, dan (iii) cicilan pokok 
utang luar negeri Rp 46,84 triliun. Pembayaran utang merupakan komponen 
terbesar dari defisit anggaran 2005 yang berjumlah Rp 63,73 triliun. 
            Utang luar negeri (ULN) baru yang akan diterima pemerintah Rp 26,64 
triliun, sedangkan pembayaran ULN Rp 71,98 triliun. 
            Untuk itu, selama ini pemerintah terus mengurangi alokasi pos 
belanja negara untuk berbagai sektor penting seperti pendidikan, kesehatan dan 
pelayanan umum. 
            Artinya, APBN lebih mengutamakan pembayaran utang dengan 
mengabaikan peme-nuhan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi.
            Lantas apa yang bisa dilakukan masyarakat jika tekanan politik 
tidak bisa mengubah kebijakan pemerintah yang tak kuasa menolak tekanan 
internasional? Dengan melihat produk hukum APBN dalam bentuk UU, maka upaya 
hukum yang tepat adalah mengajukan Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi 
(MK) terhadap APBN yang dinilai tidak berpihak pada hak-hak konstitusi rakyat.
            Berdasarkan Pasal 24C (amendemen) UUD 1945 diatur bahwa MK 
berwenang, di antaranya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang 
putusannya bersifat final untuk menguji UU (termasuk APBN) terhadap UUD. MK 
sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) akan menilai apakah 
APBN dengan potret sebagaimana di atas mencerminkan keberpihakan pemerintah 
terhadap hak-hak konstitusi rakyat Indonesia. 
            Apakah alokasi APBN yang jauh lebih besar untuk pembayaran utang 
ketimbang untuk alokasi pendidikan dan kesehatan tidak bertentangan dengan UUD 
1945? Apalagi upaya pemerintah meminta debt moratorium kepada kreditor sangat 
tak memadai.

            Tidak Didikte 
            Setidaknya ada beberapa hak konstitusi rakyat yang dijadikan dasar 
untuk me-review APBN. Satu, berkaitan dengan anggaran di sektor pendidikan. 
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menetapkan negara memprioritaskan anggaran 
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi 
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
            Dua, berkaitan dengan anggaran sektor kesehatan dan pelayanan umum. 
Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menetapkan negara 
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk 
fasilitas pelayanan umum yang layak, sehingga setiap orang berhak hidup 
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup 
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 
            Jika MK menilai APBN 2005 tidak berpihak pada hak-hak konstitusi 
rakyat Indonesia dan menyatakan APBN 2005 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga 
memerintahkan pemerintah untuk merevisi APBN. Putusan MK akan memaksa 
pemerintah menegosiasi ulang dengan kreditor (termasuk meminta debt moratorium 
dan rescheduling pembayaran utang). 
            Jika itu yang terjadi, tentu saja negara kreditor akan 
menghormatinya. Putusan MK akan memperkuat posisi tawar pemerintah RI di 
hadapan negara-negara kreditor. 
            Sebab, alasan yang mendasari negosiasi adalah menjalankan putusan 
MK RI selaku penjaga dan penafsir tunggal konstitusi RI. Ini terkait dengan 
sensitifitas kedaulatan sebagai bangsa yang memiliki konstitusi dan terhadap 
ini, negara kreditor pasti memakluminya. 
            Sudah saatnya kita merencanakan APBN secara berdaulat, tanpa 
mengurangi niat untuk melunasi utang. Sebab, yang berkehendak dan 
bersungguh-sungguh membangun bangsa ini adalah kita sendiri.
            Selayaknya, APBN tidak didikte oleh pihak manapun yang 
mengesampingkan kepentingan nasional. Kita harus mengutamakan peningkatan 
kualitas sumber daya manusia Indonesia – yang sangat merosot dibandingkan 
dengan negara berkembang lainnya - melalui keberpihakan pada sektor pendidikan 
dan kesehatan. 

            Penulis adalah advokat anggota Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia.
            
              
             
           Copyright © Sinar Harapan 2003 
           
              

           
           
           
           
            
        
            

             


            



     



[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke